SIDANG GUGATAN PILKADA DI MK DIMULAI

Minta Batalkan Hasil dan Pencalonan

Politik | Sabtu, 09 Januari 2016 - 09:42 WIB

Minta Batalkan Hasil dan Pencalonan
Proses sidang gugatan sengketa Pilkada Sumatera Barat di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (7/1/2016).

PADANG (RIAUPOS.CO) - Sidang perkara dugaan pelanggaran pilkada maupun perselisihan perolehan hasil pilkada serentak di Indonesia, sudah digelar Kamis (7/1), di Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana tersebut juga menyidangkan sengketa pemilihan bupati Limapuluh Kota, Solok Selatan dan Kabupaten Solok. Khusus Pasaman, dilaksanakan terpisah.

Dalam sidang yang digelar di ruang Sidang Panel 1, tiga calon bupati dan satu calon gubernur dari Sumbar mengajukan permohonan untuk membatalkan hasil rekapitulasi penghitungan suara KPU. Para pemohon masing-masing pasangan calon (paslon) bupati dan wakil bupati Limapuluh Kota Asyirwan Yunus-Ilson Cong (No. 7/PHP.BUP-XIV/2016).

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Lalu, paslon bupati dan wakil bupati Solok Selatan Khairunas-Edi Susanto (No. 72/PHP.BUP-XIV/2016), paslon bupati dan wakil bupati Solok Desra Ediwan Anantanur-Bachtul (No. 73/PHP. BUP-XIV/2016). Terakhir, paslon gubernur dan wakil gubernur Sumbar Muslim Kasim-Fauzi Bahar (No. 26/PHP.GUB-XIV/2016).

Dalam pokok permohonannya, duet Muslim Kasim-Fauzi Bahar (MK-FB) mendalilkan adanya pelanggaran yang dilakukan Irwan Prayitno-Nasrul Abit. Menurut pemohon, Nasrul Abit sudah menggunakan ijazah orang lain untuk gelar sarjana. “Ini nyata melanggar UU Pilkada dengan ancaman pembatalan atau cacat hukumnya pasangan calon,” ujar Ibrani selaku kuasa hukum pemohon.

Sebagai petahana, pasangan Irwan-Nasrul Abit dinilai menyalahgunakan kekuasaan guna memenangkan pemilihan. Pemohon mendalilkan adanya pemanfaatan program pemerintah, seperti pembagian bantuan 18 unit hand tractor dan pemberitaan tentang majunya petahana dalam pilkada.

“Ketentuan ini diatur pasal 71 Ayat 3 UU Pilkada. Mobilisasi PNS, wali nagari sebagaimana diatur pasal 71 Ayat 1 UU Pilkada. “Sanksinya sebagaimana bunyi pasal 71 ayat 4 UU, dalam hal petahana melakukan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten kota,” ujarnya.

Irwan Prayitno juga disebut melakukan mutasi pejabat dalam rentang waktu kurang 6 bulan sebelum masa jabatan berakhir. “Padahal, masa jabatan Irwan Prayitno berakhir pada 15 Agustus 2015, namun masih melakukan mutasi pejabat pada 25 Maret 2015. Ini pelanggaran nyata pasal 71 ayat 2 UU Pilkada,” jelasnya.

Menurut Ibrani, petahana itu adalah orang yang sedang menjabat. “Kalau orang sudah mendaftar dan mengundurkan diri, itu bukan petahana lagi namanya,” katanya.

Kemudian, tambahnya, ada pelanggaran yang diduga dilakukan penyelenggara pilkada, yakni tidak samanya jumlah pemilih antara pemilihan bupati di satu kabupaten dengan pemilih gubernur. “Padahal ketika datang ke TPS, pemilih diberi dua kertas surat suara, satu kertas pilbup, satu pilgub.

 Artinya, ketika orang memilih bupati, tentu juga pilih gubernur. Tapi, kenapa saat penghitungan jumlah pemilih pilbup berbeda dengan pilgub, salah satunya terjadi di Dharmasraya,” katanya.

“Mahkamah itu posisinya di atas UU. Dia akan menguji pelaksanaan UU. Bagaimana mungkin MK dibatasi oleh selisih suara. Kalau hanya selisih hasil, buat apa MK, dengan kalkulator saja bisa,” katanya.(zil/mng)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook