MEMBELA DIRI DI SIDANG MKD

Kata Setya Novanto, Justru Bos Freeport yang Tak Beretika

Politik | Selasa, 08 Desember 2015 - 00:34 WIB

Kata Setya Novanto, Justru Bos Freeport yang Tak Beretika
Setya Novanto melambaikan tangan saat dikerubungi wartawan, Senin (7/11/2015). FOPIN A SINAGA

JAKARTA  (RIAUPOS.CO) - Berhari-hari dituding melanggar etika sebagai anggota DPR RI, Setya Novanto justru balik menuding tindakan bos PT Freeport sebagai tindakan kriminal, sangat jahat dan sangat tidak beretika.

Banyak hal menarik dalam dokumen berjudul Nota Pembelaan Setya Novanto terkait skandal Papa Minta Saham yang disidangkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Senin (7/12/2015). Salah satunya terkait perekaman oleh Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PTFI) Maroef Sjamsoeddin yang disebut politikus Golkar itu tindakan yang sangat jahat.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

"Bahwa tindakan saudara Maroef Sjamsoeddin yang melakukan perekaman/penyadapan adalah tindakan kriminal, sangat jahat, dan sangat tidak beretika," tulis Novanto dalam Nota Pembelaannya yang beredar di kalangan wartawan di Parlemen Jakarta, Senin.

Bahkan, Novanto menyebut alat bukti yang illegal bukan alat bukti (Illegal Evidence is not Evidence). Itu karena dia berpendapat rekaman yang dimiliki oleh Maroef Sjamsoeddin diperoleh secara melawan hukum, tanpa hak, tanpa izin serta bertentangan dengan UU, sehingga tdiak boleh digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan etik MKD.

"Bahwa dasar pengaduan yang dilakukan oleh saudara pengadu Menteri ESDM Sudirman Said adalah rekaman illegal. Bahwa saya sangat keberatan apabila rekaman illegal tersebut dijadikan alat bukti dalam persidangan ini," tegas Waketum DPP Partai Golkar itu.

Menurut Novanto, lembaga sekelas KPK, Kejaksaan Agung, Badan Intelijen Negara, maupun kepolisian, kalau ingin melakukan perekaman atau penyadapan tetap harus dilakukan sesuai dengan ketentuan UU. Sementara Maroef sebagai pegawai swasta perusahaan asing (PTFI), bukan penegak hukum yang diberi kewenangan oleh UU untuk merekam/menyadap pembicaraan pejabat negara atau WNI atau siapapun di bumi Indonesia.

"Jika rekaman yang ilegal tersebut digunakan sebagai alat bukti akan merusak tatanan kepastian hukum, keadilan dan perlidungan terhadap hak asasi manusia dan akan dianggap sebagai tindakan penegakan hukum secara melawan hukum," tegasnya.(fat)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook