JAKARTA(RIAUPOS.CO)– Perppu untuk mencegah berlakunya revisi UU KPK tidak hanya berkaitan dengan nasib pemberantasan korupsi di Indonesia. Lebih dari itu, perppu juga menentukan tingkat kepercayaan publik terhadap presiden. Sebab, saat ini sikap presidenlah yang paling ditunggu untuk membendung revisi UU KPK.
Kemarin (6/10) Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei terkait revisi UU KPK serta desakan perppu. Juga terkait aksi demonstrasi mahasiswa beberapa waktu belakangan. Survei tersebut dilakukan pada 4–5 Oktober 2019. Hasilnya, mayoritas publik berpandangan bahwa revisi UU KPK melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Persentasenya mencapai 70,9 persen. ”Mayoritas mutlak ini,” ujar Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan. Hanya 18 persen yang berkata sebaliknya (lihat grafis).
Djayadi mengaku sebelumnya pernah menyampaikan bahwa janji presiden untuk menguatkan KPK tidak terlihat dalam revisi UU KPK. Ternyata, publik yang mengetahui revisi UU KPK berpandangan sama.
Pun demikian halnya dengan perppu. Mayoritas publik menginginkan presiden mengeluarkan perppu untuk membatalkan hasil revisi UU KPK. Sebab, produknya justru melemahkan, bukan menguatkan. ”Artinya, ada aspirasi publik yang sangat kuat,” lanjutnya. Perppu dianggap jalan keluar dari polemik tersebut. Publik percaya presiden akan lebih berpihak kepada masyarakat ketimbang politisi.
Djayadi juga menunjukkan hasil survei yang menyebutkan bahwa kepercayaan terhadap lembaga kepresidenan hampir sama tinggi dengan lembaga KPK. Sementara itu, kepercayaan terhadap DPR anjlok.
”Masyarakat jauh lebih percaya kepada KPK dan presiden dibanding kepada DPR,” ungkapnya. Padahal, survei dilakukan saat periode DPR baru saja berganti dan seharusnya publik menaruh harapan besar.
Karena itu, bisa disimpulkan, publik akan berada di belakang presiden bila mau mengeluarkan perppu. ”Kalau presiden tidak menerbitkan itu, ada kemungkinan presiden dianggap meninggalkan kehendak rakyat,” ujar peneliti kelahiran Plaju, Palembang, Sumatera Selatan, itu. Bisa juga muncul anggapan bahwa presiden mengingkari janji penguatan KPK.
Survei tersebut juga menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga kepresidenan berbanding lurus dengan kepercayaan terhadap lembaga KPK. ”Bila presiden tidak menunjukkan keberpihakan serius terhadap KPK, tingkat kepuasan publik terhadap presiden juga akan terkoreksi,” terang peneliti LSI Khoirul Umam.
Angka 67 persen itu, lanjut Umam, sebenarnya menunjukkan adanya penurunan tingkat kepuasan terhadap kinerja presiden. Sebab, pada Maret lalu tingkat kepuasan publik masih berada di angka 71 persen. Karena itu, konsekuensinya berat bagi presiden bila revisi UU KPK diberlakukan. ”Karena ada fakta politik yang tidak terbantahkan bahwa presiden ’berniat’ melemahkan KPK,” lanjutnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsuddin Haris menuturkan, hasil survei tersebut mampu mewakili kegelisahan publik. Khususnya kegelisahan mengenai KPK dan nasib pemberantasan korupsi di negeri ini. ”Mudah-mudahan hasil survei LSI ini menembus dinding istana,” ucap dia.
Artinya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membaca hasilnya yang menunjukkan bahwa mayoritas publik menilai revisi UU KPK justru melemahkan pemberantasan korupsi. Juga membaca aspirasi publik yang menginginkan revisi UU KPK itu dibendung lewat perppu yang merupakan hak subjektif presiden.
Sebagaimana para pakar lainnya, Syamsuddin juga meyakinkan bahwa presiden tidak perlu khawatir ada dampak politik bila mengeluarkan perppu. Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menegaskan bahwa yang dimaksud kegentingan memaksa untuk menerbitkan perppu adalah subjektivitas presiden. ”Jadi, presiden memiliki hak untuk menilai situasi yang genting,” lanjutnya.
Menurut Syamsuddin, subjektivitas presiden itu juga masih memiliki pilihan-pilihan. Yakni perppu yang membatalkan seluruhnya, menunda pemberlakuan, atau membatalkan sebagian pasal yang sudah disepakati. Dengan demikian, presiden tidak harus berpatokan pada pilihan pertama.
Berikutnya adalah kapan perppu itu sebaiknya diterbitkan. Syamsuddin menjelaskan, ada beberapa opsi. Namun tentu harus diawali dengan berlakunya UU tersebut pada 17 Oktober mendatang. Presiden punya opsi menerbitkan perppu setelah 17 Oktober. Bisa sebelum pelantikan atau sesudah pelantikan presiden-wakil presiden.
Bagi Syamsuddin, waktu yang paling tepat untuk mengeluarkan perppu adalah setelah Jokowi dilantik, tapi sebelum pembentukan Kabinet Kerja jilid II. Penerbitan perppu pada jeda waktu itu justru membuat posisi Jokowi sebagai presiden kian kuat.
Menerbitkan perppu setelah 20 Oktober akan menghindarkan presiden dari terganggunya pelantikan secara politis. Misalnya, ada fraksi yang memutuskan tidak hadir saat pelantikan. Karena itu, lebih baik presiden dilantik dulu, baru mengeluarkan perppu. ”Pak Jokowi sebagai presiden legitimasinya juga lebih kuat. Sebab, presiden mendapat mandat politik yang baru hasil pemilu,” tutur Syamsuddin.
Kedua, penerbitan perppu sebelum kabinet disusun akan menguatkan bargaining position (posisi tawar) Jokowi di hadapan partai-partai politik. Sebab, sudah tentu parpol menginginkan kursi menteri. ”Anda mau masuk kabinet atau tidak? Kalau mau masuk, jangan ganggu saya (baca: presiden, Red) menerbitkan perppu,” imbuhnya.
Karena itu, menurut Syamsuddin, publik memang harus lebih sabar menunggu perppu diterbitkan. Tidak sekadar menuntut presiden mengeluarkan perppu. Sebab, perppu harus dikeluarkan pada waktu yang tepat agar posisi presiden tidak terganggu.
Syamsuddin juga mengingatkan akan dampak bila presiden tidak berbuat apa pun untuk membendung berlakunya revisi UU KPK. Salah satunya, parlemen jalanan akan terus berlangsung ke depan. Bukan hanya mahasiswa, tapi juga kelompok masyarakat lainnya. ”Kalau parlemen jalanan tetap kencang, tentu itu akan mengganggu kinerja pemerintahan,” tuturnya.
Editor : Deslina
Sumber: Jawapos.com