MOYA INSTITUTE GELAR DISKUSI VIRTUAL

Demokrasi Indonesia Masih di Simpang Jalan

Politik | Minggu, 07 Maret 2021 - 11:26 WIB

Demokrasi Indonesia Masih di Simpang Jalan
Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Anis Matta sebagai pembicara utama mengatakan, selama 20 tahun terakhir di Indonesia, perubahan sosial terasa lebih cepat dan besar daripada reformasi politik. (GELORA FOR JPG)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Proses demokrasi di Indonesia dan masa depannya hingga kini kerap menjadi sorotan berbagai pihak seperti akademisi, pengamat, politisi, cendekiawan sampai masyarakat. Isu demokrasi saat ini yang menjadi alasan Moya Institute menggelar diskusi virtual bertema “Demokrasi Indonesia di Simpang Jalan,” pada Jumat (5/3).

Dalam pembukaan diskusi, Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, memaparkan tentang situasi demokrasi di tanah air yang kini terus berubah ditandai dengan fenomena banyaknya partai politik baru muncul. “Oleh sebab itu sebetulnya turut memperkaya khasanah demokrasi di Indonesia dengan segala perisfiwa politik terjadi, apalagi pada saat pandemi Covid-19 sekarang yang membuat jadi terbatas,” ucap Hery.


Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Anis Matta, yang didapuk sebagai pembicara utama mengatakan, selama 20 tahun terakhir di Indonesia, perubahan sosial terasa lebih cepat dan besar ketimbang reformasi politik. Penyebabnya, menurut Anis Matta, kondisi struktural dengan bonus demografi, lalu terbentukya kelas menengah baru yang jumlahnya cukup banyak, tren pertumbuhan populasi urban, serta infiltrasi global.

“Meski begitu, reformasi ketatanegaraan juga bisa menciptakan keseimbangan baru dan stabilitas politik Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia,” ujar Anis Matta.

Sementara itu, Wakil Ketua Parta Gelora Indonesia yang juga narasumber diskusi, Fahri Hamzah, menjelaskan sekarang ini elit di Indonesia tidak menunjukkan keseriusan berdemokrasi. Menurut Fahri, kondisi begitu terjadi sebab telah terlalu lamanya Indonesia dalam kungkungan sistem politik kerajaan sekaligus mengalami masa kolonialisme imperialisme.

“Cita rasa, kebebasan melemah, dan harus mengikuti maunya negara sedang terjadi di Indonesia. Itu sama saja dengan kudeta yang harus dicemaskan,” kata Fahri.


Narasumber lainnya, pengamat politik sekaligus Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, Komaruddin Hidayat, mengungkapkan, proses demokrasi di Indonesia terasa terlalu mengikat dan normatif karena menerapkan referensi dari Barat. “Jadinya demokrasi di Indonesia lebih dekat ke informasi untuk mempengaruhi opini masyarakat, jadi market. Informasi bertemu dengan realitas masyarakat yang pluralis dan relijius membuat kadang sinkron, kadang benturan,” ujar Komaruddin.

Kemudian, Direktur Eksekutif NetGrit dan mantan Komisioner KPU 2012-2017, Ferry Kurnia, menuturkan, bila merujuk pada indeks demokrasi, Indonesia masih belum memberikan harapan baik sebab hanya memiliki skor 65.

Realita tersebut, bagi Ferry, di satu sisi membuat demokrasi Indonesia telah terlaksana, namun juga mash muncul kontraproduktif. Bahkan berdasarkan indeks demokrasi tersebut, Ferry membandingkan kualiitas demokrasi Indonesia yang di bawah Timor Leste, Malaysia, serta Filipina.

Sedangkan pakar politik internasional, Imron Cotan, menuturkan, demokrasi sepatutnya mengirimkan apa yang menjadi kepentingan rakyat. Imron mengatakan, meski seluruh sistem politik tidak ada yang sempurna, kendati begitu demokrasi adalah yang terbaik.

“Saat ini Indonesia baru dalam eksperimen demokrasi. Harus hati2 dalam eksperimen begitu. Cita rasa demokrasi harus terus dilembagakan supaya tidak kembali seperti masa lalu saat Orde Lama dan Orde Baru,” ungkap Imron.

Imron mengingatkan, jangan sampai menganggap pula demokrasi adalah jawaban dari semua masalah poilitik negara. Indonesia, saran Imron, harus berada di tengah guna terus melakukan moderasi.(jpg)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook