JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020 hingga 2024 terkait pertembakauan, dikritisi. Acuan bagi berbagai kebijakan pada banyak sektor tersebut dianggap perlu untuk segera ditinjau ulang.
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menilai, cara pandang pemerintah yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024 masih bersifat asimetris dan kurang membicarakan hal-hal yang strategis. Padahal, industri tembakau semestinya ditempatkan pada fokus yang luas.
"Seharusnya RPJMN membicarakan bagaimana tembakau itu menjadi produk pertanian strategis, membicarakan bagaimana penerimaan cukai itu menopang sekitar Rp200 triliun, dan memberikan dukungan yang sangat kuat terhadap penerimaan negara. Ingat, disaat kita mengalami kontraksi, pertumbuhan penerimaan cukai yang bisa mencapai 100 persen itu hanya di sektor penerimaan cukai tembakau," tegas Misbakhun.
Kebijakan menaikan harga rokok melalui sejumlah kebijakan terus terjadi hampir setiap tahunnya. Mulai dari simplifikasi golongan, kenaikan harga jual eceran (HJE), hingga kenaikan cukai rokok. Pemerintah memiliki harapan bahwa berbagai kebijakan yang diterapkan tersebut dapat mendukung tujuan pemerintah dalam menekan prevalensi perokok dewasa hingga 32,3 – 32,4 persen dan prevalensi perokok anak-anak dan remaja turun menjadi 8,8 – 8,9 persen pada 2021.
Fokus untuk pengendalian perokok anak ini tidak luput dicantumkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dimana Pemerintah berkomitmen untuk mengendalikan konsumsi tembakau bagi perokok anak usia sekolah dan remaja sebesar 8,7 persen pada 5 tahun mendatang. "RPJMN semestinya mengulas rencana strategis pembangunan nasional secara luas, bukan malah menempatkan industri tembakau pada fokus yang sempit," tandasnya.
Mantan pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan ini menginginkan RPJMN lebih obyektif. Terkait masalah kesehatan, misalnya. RPJMN semestinya tidak hanya sangat serius ketika membicarakan rokok sebagai penyebab sejumlah penyakit tidak menular.
"Seakan-akan rokok ini satu-satunya penyebab masalah kesehatan di Indonesia," cetusnya. Target untuk menurunkan prevalensi perokok yang tertuang dalam RPJMN ini seringkali dianggap tidak digunakan secara proporsional dan obyektif. Sebagai contoh, mengacu pada RPJMN, terdapat dorongan perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 (PP 109/2012) tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Rancangan perubahan atas PP 109/2012 itu oleh sebagian pihak dianggap diperlukan karena saat ini angka perokok anak dianggap masih tinggi. Karenanya, dibutuhkan aturan yang lebih ketat secara praktik kepada industri tembakau. Namun, data membuktikan bahwa tanpa adanya revisi atas PP 109/2012 angka prevalensi anak di Indonesia ternyata menurun.
Peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB UB) Imanina Eka Dalilah berpendapat, argumentasi menurunkan prevalensi jumlah perokok pemula tidak memiliki dasar yang valid karena tanpa adanya revisi PP 109/2012, prevalensi perokok anak telah mengalami penurunan dari 9,1 persen di tahun 2018 menjadi 3,81 persen di tahun 2020, tahun 2021 bahkan turun lagi menjadi 3,69 persen.(jpg)