Kaki kita baru saja menjejak di bulan Ramadan. Bulan mulia yang sarat dengan keutamaan. Tak tertandingi dari bulan lainnya. Sebelas bulan lamanya kita geluti dunia. Kerap lupa, tak indahkan rambu Tuhan. Kencang memacu diri di jalur kehidupan, tak jarang menerabas palang penghadang jalan. Tak heran jika jiwa berlumur noda, berpeluh dosa, dan bermandikan alpa.
Maka Sang Penggenggam Segala Nyawa menghadirkan Ramadan guna menepis segala nista, menyirna segala alpa. Ibnul Jauzi rahimahullahu ta’ala menggambarkannya dengan tutur yang teramat indah. “Demikian itulah bulan Ramadan. Kita berharap Ramadan dapat menutupi apa yang terluputkan oleh kita padanya di bulan-bulan yang lain. dan kita dapat memperbaiki padanya hal-hal yang rusak. sehingga ditutupkan bagi kita dengan kebahagiaan dan kegembiraan.”
Ramadan adalah gerbang hijrah. Momen para hamba shalih bangkit dari lumpur kemaksiatan. Saat yang pas untuk meninggalkan labirin sesat yang membuat penat jiwa. Waktu yang baik untuk menjatuhkan diri dalam pelukan hangat cinta Sang Rahman. Masa yang tepat untuk mentransformasi diri menjadi semakin baik.
Bulan mulia ini ibarat tungku dengan panas api yang menyala. Seperti makna akar katanya Ramadan, membakar. Ramadan membakar habis karat-karat yang menempel kuat di potongan besi. Mengkonversi kotor dan rongsok besi menjadi bersih dan baru kembali.
Maka penting bagi kita untuk selalu panas dengan api konversi. Terus meniti tangga peningkatan kualitas diri. Agar mencapai puncak prestasi dunia yang menghantarkan pada ketingggian prestasi akhirat.
Awali konversi diri dengan melakukan perbaikan cara pandang kita terhadap kehidupan. Karena ia adalah bakan bakar utama. Sebagai karunia Ilahi, kekuatannya teramat dahsyat. Apapun isinya, akan menggesa tindakan dan hasil yang kongruen.
Di dunia neuro science pikiran dipandang sebagai “mental magnet.” Seperti metal magnet yang akrab dengan kita, cara pandang dan pikiran kita merupakan magnet besar yang menarik semua yang ada di semesta. Bedanya adalah metal magnet yang menarik semua yang berlawanan, sedangkan mental magnet justru menangkap dengan jitu setiap hal yang memiliki kesamaan frekuensi.
Mereka yang gemar mengisi pikiran dengan hal-hal buruk, ternyata menunjukkan pola sikap dan pola perilaku yang juga buruk. Sebaliknya juga terjadi bagi mereka yang mengisinya dengan yang baik dan positif.
Begitulah jadinya dengan cara pandang dan sikap kita dalam berekonomi. Selama ini kita didoktrin dengan pandangan bahwa keinginan itu tidak terbatas, sementara sumber daya yang ada dalam keadaan terbatas.
Akibatnya perilaku serakah menggejala dalam kehidupan manusia modern. Seperti yang dikatakan Adam Smith, tindakan mementingkan kepentingan diri sendiri menjadi lumrah. Menghalalkan segala cara menjadi metode dalam mencari kekayaan.
Maka wejangan Mahatma Gandhi menjadi relevan. “The world has enough for everyone’s need, but enough for everyeverynone’s greed.”. Dunia ini cukup untuk semua orang, namun tak kan pernah mencukupi satu orang yang tamak.
Akhirnya, tak heran jika dahaga akan kepuasan hidup tak kunjung sirna. Karena direguk adalah air laut. Semakin diminum, semakin kering tenggorokan terasa, semakin dahaga mendatangi.
Oleh karena itu, sempena spirit konversi diri di bulan ini menggebu, saatnya kuatkan tekad untuk masuki gerbang hijrah dalam cara pandang terhadap kehidupan ekonomi. Sejatinya, karunia Tuhan tak mengenal garis batas. Semuanya diberikan untuk kesejahteraan manusia. “…dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya tidak mampulah kamu menghitungnya…” (QS. Ibrahim: 34)
Akhirnya syukur, pengendalian diri, hemat, dan efisien menjadi perilaku utama manusia. Spirit yang diajarkan Ramadan. Allahu a’lam.***