ALI RAKHMAN PHD, (DOSEN PANDANGAN ALAM ISLAM, UNIVERSITAS ABDURRAB)

Puasa dan Makna Kebahagiaan

Petuah Ramadan | Minggu, 09 April 2023 - 09:48 WIB

Puasa dan Makna Kebahagiaan
Ali Rakhman PHD, (ISTIMEWA)


Kebahagiaan ialah sesuatu yang diinginkan, diharap-harapkan, dicari, hingga dikejar oleh setiap orang.

Pertanyaannya apakah makna “kebahagiaan”? Beragam jawaban dilontarkan. Keragaman ini dikarenakan orang yang satu tidak sama dengan yang lain dalam memaknai kebahagiaan.  Karena keragaman tersebut, maka para ahli psikologi dan ilmu-ilmu sosial, ketika membincangkan tema “kebahagiaan/happiness,” mereka menggunakan istilah "subjective well-being" untuk merujuk subjektifitas keragamaan dari orang-orang yang berbeda dalam mengekspresikan makna kebahagiaan (psychologists and other social scientists typically use the term "subjective well-being" when they talk about this emotional state).


Kalau kita mengintip kamus Bahasa Inggris (kamusnya orang Barat, yang merupakan representatif pikiran Barat terhadap kebahagiaan),  kebahagiaan diartikan dengan sukacita (joy), terpenuhinya keinginan (fulfilment), kepuasan (satisfaction), dan “nasib baik”, mujur, keberuntungan (good fortune).

Dalam pengertian di atas, tidak ada kayu ukur (standar) bagi kata kebahagiaan yang terkandung dalam kata happiness; apakah kebahagiaan itu diukur pada terpenuhinya hajat badani/materi atau terpenuhinya hajat ruhani.

Kata yang terkandung dalam joy atau fulfilment, misalnya, mengisyaratkan kebahagiaan ada pada aspek rohani (mereka menyebutnya emotional; sekalipun makna emotional berbeda dengan rohani). Sedangkan pada kata satisfaction, boleh jadi kebahagiaan merujuk pada kepuasan terpenuhinya keperluan badani dan sekaligus rohani. Namun dalam kata good fortune, kebahagiaan lebih ditujukan tercapainya hajat badani. Karena, kata fortune sendiri, dalam penggunaannya selalu berkaitan dengan keberuntungan materi berupa uang, harta,  dan kemakmuran (prosperous).

Dari penjelasan di atas, dapatlah diketahui bahwa kebahagiaan dalam konteks happiness lebih didominasi terpenuhinya kebahagiaan dari aspek materi. Selain itu, kebahagiaan yang terkandung dalam kata happiness, hanya bertumpu pada kebahagiaan yang manusia peroleh semasa hidup di dunia; dalam bahasa lain, kebahagiaan dalam happiness tidak ada kaitan langsung dengan kehidupan akhirat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan dalam konteks happiness mengandung dua unsur; pertama, kebahagiaan itu apabila terpenuhinya keinginan yang berorientasi pada materi, sebagaimana yang terdapat dalam kata fortune. Kedua, perbincangan kebahagiaan hanya berhubungan perkara-perkara pencapaian dunia, yang tidak ada hubungan langsung dengan akhirat.

Bagaimana Islam memandang makna kebahagiaan?

Sedangkan dalam Islam kebahagiaan merujuk kepada kata sa’adah, yaitu kebahagiaan yang disebabkan kemantapan diri seorang muslim dalam keyakinannya (keimanan) kepada Allah (Sang Hakikat Mutlak yang dicari-cari oleh manusia),  dan membuktikan keimanan tersebut dengan menunaikan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Dalam Islam, pusat kebahagiaan itu ada pada rohaninya; yaitu yang kekal menghadap Tuhan-Nya, yang dipuji dan yang dicela, bukan pada sifat badaninya.  Kebahagiaan pula bukan yang bersifat keduniaan sementara, melainkan kebahagiaan merujuk kepada kebahagiaan hakiki-abadi, yang berhubungan dengan akhirat yaitu pertemuan dengan Allah.

Lalu bagaimana hubungan puasa dengan makna kebahagiaan?

Pelaksanaan puasa adalah salah satu contoh ungkapan makna kebahagiaan. Puasa artinya menahan diri dari makan-minum dan bersetubuh, serta hal yang membatalkan puasa mulai terbit fajar hingga terbenam matahari. Nah, kita fokus pada makan-minum dan bersetubuh.

Pada umumnya, makan minum dan bersetubuh merupakan simbol kebahagiaan manusia; bila dua hal ini terpenuhi, maka mereka dianggap bahagia; karena terpenuhinya keperluan badani mereka. Namun, pada saat berpuasa, justru kedua simbol kebahagiaan ini diabaikan dan ditinggalkan.

Lalu apakah ketika mereka, dalam hal ini umat Islam yang beriman, meninggalkan dua simbol kebahagiaan badani, saat berpuasa, mereka serta merta tidak bahagia?

Mereka tetap bahagia. Kebahagiaan itu bukan terletak semata-mata pada pemenuhan (fulfilment/joy) hajat badani. Bagi seorang muslim beriman, sekalipun mereka tidak makan minum, lapar dan dahaga, yang secara fisik seakan-akan tampak tidak bahagia, namun pada hakikatnya mereka bahagia.

Melalui puasa yang diamalkan oleh seorang muslim, Allah ingin menyampaikan kepada seluruh umat manusia, bahwa puncak kebahagiaan itu bukan terletak pada pemuasan (satisfaction) hajat badani, tetapi sebaliknya pemuasan hajat rohani.

Adanya kehendak untuk memuaskan hajat rohani serta kemampuan meninggalkan kebutuhan badani ini, tidak terlepas dari kukuhnya keimanan yang tertanam dalam diri muslim, serta adanya “harapan untuk mendapatkan kebahagiaan yang abadi-hakiki” di akhirat kelak yaitu bertemu dengan Allah, Tuhan yang telah memerintahkan mereka berpuasa. Sebab itu Nabi Muhammad SAW menggambarkan dua kegembiraan (farhah), yang akan diraih oleh orang yang berpuasa. Kegembiraan di dunia, yang langsung tunai mereka dapatkan, dan kegembiraan akhirat yang abadi-hakiki (al-sa’adah) yang akan mereka peroleh kelak. Dua kegembiraan yang diperoleh ini merupakan indikasi dan ekspresi kebahagiaan.

“Orang yang berpuasa akan meraih dua kegembiraan. Kegembiraan saat berbuka puasa/berhari raya, dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya.” (HR Muslim).

Jadi makna kebahagiaan dalam Islam, dalam konteks puasa, mengandung tiga unsur. Pertama, puasa adalah sarana untuk memenuhi hajat rohani, sebagai bantahan bahwa kebahagiaan terletak pada hajat badani. Kedua, puasa sebagai bukti keimanan kepada Allah, sekaligus sebagai bukti bahwa kebahagiaan itu berkait erat dengan keimanan. Sebagaimana disinyalir al-Qur’an, yang mana perintah kewajiban puasa diawali dengan seruan, “Ya ayyuhalladzi na amanu (wahai orang-orang yang beriman)” diwajibkan atas Kamu berpuasa, yang menurut Hamka, ayat ini mengisyaratkan bahwa hanya dengan keimanan seseorang mampu menjalani ibadah puasa. Ketiga, puasa dimaksudkan untuk mencapai kebahagiaan abadi-hakiki, sebagaimana disinggung oleh hadis di atas, yaitu untuk bertemu dengan, di akhirat nanti.

Jadi, kebahagiaan (al-sa’adah) dalam Islam meliputi bahagianya rohani atas dasar keimanan dengan tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan hakiki-abadi di akhirat. Kebahagiaan inilah yang tidak ada dalam kamus bahasa Inggris, yang merupakan representatif pemahaman makna bahagia di kalangan orang Barat.***

Ali Rakhman PHD, (Dosen Pandangan Alam Islam, Universitas Abdurrab)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook