JUNAIDI (REKTOR UNILAK)

Cegah Flexing dengan Puasa

Petuah Ramadan | Rabu, 05 April 2023 - 11:48 WIB

Cegah Flexing dengan Puasa
Junaidi (Rektor Unilak) (ISTIMEWA)

Setiap manusia berpotensi untuk melakukan flexing. Kata flexing termasuk kosa kata baru yang berasal dari bahasa slank. Kata flexing bermakna show off atau pamer. Secara psikologis diri kita ingin dihargai dan diakui lebih dari pada orang lain. Cambridge Dictionary mendefinsikan flexing “that you are very proud or happy about something you have done or something you own, usually in a way that annoys people.”  

Kita merasa bangga dengan diri kita sehingga kita  ingin menunjukkan kelebihan kita baik secara fisik, harta atau kegiatan lain yang kita anggap lebih dari pada orang lain. Bukankah budaya pamer itu menjadi salah satu karakter dasar manusia? Kita ingin dipuji. Kita ingin ditempatkan pada tempat terhormat. Kita ingin dilebih-lebihkan. Kita ingin merasa lebih hebat, lebih kaya, lebih cantik, lebih soleh, dan lebih pintar.


Sebenarnya budaya fexing sudah ada dari zaman dahulu. Peran media sangat penting dalam menumbuhkan budaya flexing. Dahulu orang melakukan flexing dengan media cetak dan elektronik. Sekarang dengan kehadiran sosial media, budaya flexing sangat mudah dilakukan dan jangkauannya pun sangat luas.

Beragam fitur pada sosial media semakin memudahkan orang untuk melakukan flexing. Kekuatan kamera menjadi salah satu faktor penting untuk mendukung flexing. Fasilitas like, comment dan share yang terdapat pada smartphone memberikan peluang yang besar juga bagi setiap orang terlibat secara langsung untuk memberikan komentar terhadap aksi flexing.

Dahulu sebagian orang masih malu-malu untuk melakukan flexing karena masyarakat memandang itu sebagai perilaku yang berlebihan, sombong, dan narsis. Tetapi sejak muncunya sosial media budaya, flexing sepertinya tidak lagi dipadanag taboo atau terlarang. Flexing sudah dianggap biasa dan bahkan aksi flexing sengaja dilakukan untuk menunjukkan kelas sosial seseorang dalam masyarakat.

Sebagian orang sengaja menampilkan produk-produk bermerek yang berharga mahal untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki kekayaan yang lebih. Mereka ingin diidentifikasi orang lain sebagai orang yang berada pada kelas sosial tingkat atas. Akibatnya orang berlomba-lomba untuk melakukan budaya flexing.

Pelaku flexing tidak hanya dilakukan oleh kalangan artis dan anak muda untuk memperoleh popularitas, tetapi kalangan politisi, pejabat, akademisi dan pendakwah pun melakukannya. Orang berlomba-lomba untuk meraih popularitas dengan melakukan flexing.

Tampakanya hasrat menjadi popular adalah mimpi setiap orang masa kini. Popularitas bisa memuaskan diri sendiri dan juga bisa menghasilkan uang. Budaya flexing pada akhirnya melahirkan sikap sombong. Bukankah perilaku sombong itu dilarang oleh Allah SWT? Surat Lukman ayat 18 menyatakan, “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”

Karena potensi flexing itu ada dalam diri, kita perlu mengelolanya. Jangan sampai perbuatan flexing yang berlebihan menyebabkan gangguan mental. Aksi flexing juga bisa  merusak hubungan sosial sebab flexing bisa menyebabkan kecemburuan sosial bagi orang lain. Bahkan flexing bisa mengarah kepada perilaku riya jika dilakukan dengan kegiatan yang berkaitan dengan ibadah. Salah satu cara efektif untuk mencegah budaya flexing adalah dengan menjalankan ibadah puasa. Salah satu hikmah dari puasa adalah menahan diri. Ketika berpuasa kita melatih mengelola hawa nafsu.  Bila kita mampu mengendalikan hawa nafsu maka kita bisa menahan diri untuk tidak melakukan flexing.

Puasa melatih jiwa kita untuk mampu mengendalikan setiap tindakan dan perbuatan. Kita dilatih untuk melakukan sesuatu secara ikhlas.

Kita menjalankan ibadah puasa bukan karena ingin mendapatkan pujian dan pengakuan sebagai orang soleh dari orang lain. Kita berpuasa karena hanya semata-mata ingin mendapatkan ridho dari Allah SWT.

Ikhlas bermakna bahwa ketika kita tidak mengharapkan seseorang melihat apa yang kita kerjakan kecuali Allah, dan ketika kita berbuat suatu kebaikan dan kita tidak berharap kepada orang lain agar mereka memuji apa kita dikerjakan kecuali Allah SWT. Ini bermakna bahwa kita beramal bukan karena manusia, tetapi semata-mata hanya untuk Allah SWT.

Salah satu persoalan besar yang kita hadapi di dunia digital saat ini adalah kemampuan untuk menahan diri.

Maraknya budaya flexing juga disebabkan kegagalan kita menahan diri. Ketersedian perangkat teknologi memang sangat menggoda dan mendorong kita untuk lupa atau gagal untuk mengendalikan diri.

Oleh karena itu, mari dalam Ramadan kita benar-benar melatih jiwa kita agar mampu menahan diri untuk melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT. Mari kita jadikan  puasa sebagai pondasi keimanan dan membebaskan diri kita dari belenggu keserakahan, kesombongan dan pamer diri. Semoga dengan berpuasa jiwa kita semakin kuat, iman semakin mantap dan kita terhindari dari aksi flexing.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook