FINAL LIGA CHAMPIONS 2018

Pengalaman Madrid vs Ketajaman Firmansah

Perca | Sabtu, 26 Mei 2018 - 15:36 WIB

Pengalaman Madrid vs Ketajaman Firmansah

Catatan Hary B Kori’un

DI luar semua espektasi tinggi yang dibuat Liverpool di Liga Champions musim ini, pengalaman barangkali yang membedakannya dengan Real Madrid. Hampir semua pemain inti Madrid yang akan bertarung malam nanti, adalah pemain-pemain yang sudah memberikan tiga trofi Liga Champions sebelumnya. Sebaliknya bagi Liverpool, seluruh skuad yang ada sekarang adalah pemain-pemain yang belum pernah merasakan sekalipun final Liga Champions.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Pemain-pemain yang kini masih ada dalam tim  Madrid ketika juara di tahun 2014 di bawah Carlo Ancelotti (Zinedine Zidane jadi asisten) adalah Dani Carvajal, Sergio Ramos, Raphael Varane, Luka Modric, Karim Benzema, Gareth Bale, Cristiano Ronaldo, dan Marcelo. Sedangkan tim yang juara 2016 dan 2017, nyaris identik. Selain nama-nama di atas, ada tambahan darah baru dari Toni Kroos, Casemiro, Isco, dan Keylor Navas yang menggantikan Iker Casillas.

Dengan pengalaman seperti ini, ada dua kemungkinan yang bisa menjadi kekuatan sekaligus kelemahan yang bisa dilihat dan dianalisa oleh lawan Madrid. Dengan komposisi nyaris sama, pendekatan taktik dan strategi juga nyaris sama, lawan bisa melihat celah di tim Zidane sekarang. Atau justru sebaliknya, dengan komposisi sama dan identik ini, kepercayaan diri terus tumbuh dan semakin kuat yang akan menyulitkan lawan-lawanya.

Pada kenyataannya, musim ini, Madrid memang tetap kuat dan spartan di lini tengah dan depan, meski flop di kompetisi domestik. Nyaris tak ada tim yang bisa mendikte Madrid di tengah dan depan. Kroos-Isco-Casimero-Modric adalah poros yang sudah saling memahami. Ibarat kata, dengan memejamkan mata, mereka sudah tahu di mana si kawan berada untuk diberi umpan. Selain Juventus yang menang 3-1 dan menguasai permainan di semifinal yang dimainkan di Santiago Bernabeu, tak ada lagi tim yang bisa mendikte Madrid secara keseluruhan permainan.

Yang menjadi persoalan adalah lini belakang yang mudah ditembus dari berbagai sisi penyerangan. Duet Varane-Ramos  plus dua bek-sayap Carvajal-Marcelo yang dalam tiga final sejak 2014 selalu bermain bersama, sudah dipahami sisi lemahnya. Namun, hal ini bisa dipahami karena keempat bek ini juga sering membantu serangan. Carvajal-Marcelo adalah mesin cepat di kanan-kiri yang membuat lini tengah dan belakang lawan harus ekstra waspada. Pada saat-saat tertentu keduanya malah mirip pemain sayap murni, dan sering berada di kotak penalti untuk mencetak gol.

Persoalan gampang kebobolan inilah yang harus dipikirkan Zidane menghadapi trio maut Liverpool yang punya determinasi tinggi: Roberto Firmino, Saido Mane, dan Mohamed Salah. Mestinya Casimero yang bertugas “mencuci piring” sebelum bola masuk ke jantung pertahanan lewat sisi tengah. Namun, Casimero sering keteteran sebagai gelandang bertahan seorang diri. Di masa lalu, Madrid sering menggunakan double pivot (dua gelandang bertahan sejajar) yang membuat nyaman sisi pertahanan. Namun, dengan seorang gelandang bertahan murni, sementara Modric dan Kroos diformulasikan untuk lebih menyerang, keseimbangan di lini belakang menjadi timpang.

Pada kondisi ini Liverpool bisa memanfaatkannya. Dengan formasi 4-3-3 yang dikembangkan Juergen Klopp, plus gegenpressing yang tak memberi ruang kepada lawan untuk memegang bola terlalu lama, The Reds punya daya ledak yang sulit ditandingi. Di Liga Champions musim ini, Liverpool adalah tim tersubur dengan 46 gol. Sebuah rekor Liga Champions yang mematahkan milik Barcelona (45 gol musim 1999/2000). Yang menarik, trio Firmansah (Firmino-Mane-Salah)  memborong 29 gol. Jumlah ini juga memecahkan Rekor BBC (Benzema-Bale-Cristiano) milik Madrid tahun 2013/2014 dengan 28 gol.

Trio Firmansah ini bisa menjadi mimpi buruk sepanjang final dinihari nanti bagi Madrid. Mereka didukung fisik yang kuat, sama-sama cepat, penyelesaian akhir yang mematikan, dan perubahan posisi yang cepat dan dinamis. Mereka juga didukung trio gelandang yang sama-sama punya kecepatan khas Inggris yang ada pada diri James Milner, Jordan Henderson, dan Georginio Wijnaldum. Sembuhnya Adam Lallana dan Emre Can juga membuat sisi gelandang Liverpool lebih dalam. Plus pertahanan yang lumayan kokoh sejak masuknya Virgil van Dijk yang bekerja lumayan baik dengan Dejan Lovren, Liverpool menjadi tim yang membuat menderita semua lawannya sejak babak kualifikasi.

Hanya AS Roma yang bisa mengalahkan Liverpool 4-2 di leg kedua semifinal. Tetapi dari dua pertandingan melawan Roma itu (termasuk kemenangan 5-3 di leg pertama), mestinya Zidane bisa menemukan kelemahan The Reds. Gegenpressing yang dikembangkan Klopp dengan permainan cepat --transisi dari menyerang ke bertahan atau sebaliknya juga dengan cepat-- ternyata belum mampu dilakukan dalam 90 menit. Paling kuat sekitar 50-60 menit, setelah itu Liverpool bermain dalam level normal. Dalam level normal  inilah Roma bisa mencetak 3 gol di leg pertama, dan kemudian menang besar di leg kedua.

Di luar semua itu, final dinihari nanti akan menjadi suguhan menarik bagaimana etos kerja Jerman dikombinasi kekuatan dan kecepatan ala Inggris di tubuh Liverpool, akan bertarung melawan pengalaman dan keutuhan sebuah tim yang matang ala Real Madrid. Keduanya punya sisi unggul dan kelemahan masing-masing. Liverpool punya niat mengulangi kemenangan 1-0 di final tahun 1981 di Paris dengan skuad yang dibangun Klopp dalam dua musim ini. Mereka juga sedang haus gelar. Terakhir Liverpool meraih Liga Champions tahun 2005 lalu setelah menang adu penalti lawan AC Milan di Istanbul.

Di sisi lain, Madrid yang sudah 12 kali juara –sulit dikejar klub lain-- dan sedang menatap gelar ke-13 plus 3 kali beruntun, tentu punya motivasi yang lebih dari biasanya. Satu lagi, dengan tanpa gelar di liga domestik, gelar ini akan menjadi pelipur lara tim terkuat dunia ini.

Ayo nonton dengan gembira. Jagoanmu siapa?***

 

 

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook