Catatan Hary B Koriun
DI semifinal Piala Dunia 1998 yang dihelat di Prancis, Kroasia yang punya tim lumayan mewah ketika itu, kalah tipis 1-2 dari tuan rumah. Dalam pertandingan yang dihelat di Stade de France, Saint Denis, 8 Juli tersebut, dua gol bek Lilian Thuram ke jala Drazen Ladic, mengubur satu gol Davor Suker yang dibuat sebelumnya. Kroasia kalah dengan kepala tegak. Kalah oleh tuan rumah yang memiliki tim lebih megah. Vatreni kemudian berhasil meraih juara ketiga setelah mengalahkan tim kuat Belanda 2-1 lewat gol Robert Prosinecki dan Suker.
Baca Juga :
Trofi Pribadi Penutup 2023
Ketika itu, Kroasia punya pemain-pemain hebat dan terkenal seperti Davor Suker (Real Madrid), Zvonimir Boban (AC Milan), Robert Prosinecki (Croatia Zagreb), Robert Jarni (Real Betis), Igor Stimac (Derby County), Slaven Bilic (Everton), Mario Stanic (Parma), Aljosa Asanovic (Napoli), Zvonimir Soldo (VfB Stuttgart), dan sekian nama lainnya.
Sayangnya, nama-nama itu kalah mewah dibandingkan mereka yang ada di tim lawan. Prancis punta Thuram (Parma), Zinedine Zidane (Juventus), Patrick Vieira (Arsenal), Marcel Desailly (AC Milan), Youri Djorkaeff (Inter Milan), Fabien Barthez (Monaco), Emmanuel Petit (Arsenal), Christian Karembew (Real Madrid), Robert Pires (Metz), Thierry Henry (Monaco), David Trezeguet (Monaco), Didier Deschamps (Juventus), atau Stepanhe Guivarc’h (AJ Auxerre), atau Christophe Dugarry (Marseille).
Hari ini, kedua tim kembali bertarung. Bedanya, kali ini mereka bertemu di final. Prancis kini tak lagi dilatih Aime Jacquet. Yang maju mengendalikan Les Bleus adalah kapten Prancis ketika meraih juara 1998 yang di final menumbangkan Brazil 3-0, Deschamps. Di seberang, Kroasia juga tak lagi dilatih sang legenda Miroslav Blazevic. Zlatko Dalic, sang pelatih Kroasia sekarang, bukanlah mantan pemain terkenal –bahkan tak pernah memperkuat timnas Kroasia— dan bukan pelatih yang pernah menangani tim-tim besar Eropa. Dalic “hanya” pelatih yang melatih klub-klub dalam negeri dan beberapa klub Jazirah Arab. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).
Tetapi, dengan skuat yang lebih gemerlap plus pelatih dengan nama besar --baik saat jadi pemain maupun pelatih— Prancis tak boleh meremehkan Dalic dan pasukannya. Prancis harus belajar dari apa yang banyak ditulis media Inggris, termasuk pada pundit-nya di televisi, yang sangat yakin pasukan Gareth Southgate akan lolos ke final. Buktinya, mereka harus bertarung di perebutan tempat ketiga melawan Belgia setelah kalah 1-2 lewat perpanjangan waktu.
Seperti dikatakan kapten Luka Modric, apa yang ditulis media Inggris dan para pengamat di televisi itulah yang memberi semangat kepadanya dan teman-temannya untuk bermain spartan meski kelelahan luar biasa mereka alami karena dua kali harus menyelesaikan pertandingan lewat adu penalti. Yakni di babak 16 Besar melawan Denmark dan di perempatfinal menghadapi Rusia.
Modric “marah” Kroasia dianggap sebagai tim kecil oleh media-media Inggris meski di dalam timnya ada dirinya yang baru saja mengantar Real Madrid mencetak hattrick juara Liga Champions; ada Ivan Rakitic yang menjadi salah saltu roh Barcelona; ada Mario Mandzukic yang lumayan bermain baik di Juventus; ada Dejan Lovren yang meloloskan Liverpool ke final Liga Champions; dan masih banyak lagi pemain dengan kualitas baik seperti Ivan Perisic dan Marcelo Brozovic yang bermain untuk Inter Milan, dll.
Kini, lawan yang dihadapi Kroasia memang tak semewah skuat Prancis 1998, tetapi memiliki kekuatan merata di semua lini. Di jantung pertahanan, duet Madrid-Barcelona (Raphael Varane-Samuel Umtiti) jelas duet pertahanan yang sulit ditaklukkan. Mereka disokong Benjamin Pavard di kanan dan Lucas Hernandez di kiri. Empat bek ini terbukti tangguh selama ini. Hanya Argentina yang mampu membobol 3 gol saat di 16 Besar. Namun, 3 gol itulah yang kini menjadi analisa Dalic.
Artinya, tetap ada celah untuk membobol jala Hugo Lloris. Duet Modric-Rakitic yang selama ini menjadi katalisator dan otak Kroasia dalam menyerang, harus bisa menaklukkan pertahanan Prancis ini yang juga dilapis dua gelandang bertahan dengan tingkat permainan yang sangat baik: N’Golo Kante dan Paul Pogba.
Kante kuat dalam menjaga keseimbangan lapangan tengah, terutama dalam hal diven, sedang Pogba lebih dari itu. Dia seorang gelandang serba-bisa yang tiba-tiba sudah ada di posisi ketika harus dibutuhkan. Pogba seorang penjelajah yang baik, yang selama ini mampu menjadi alternatif serangan dari bawah. Pertarungan dua duet ini akan sangat menarik di lini tengah. Jika ingin menaklukkan Varane-Umtiti, Kroasia harus menaklukkan Kante-Pogba lebih dulu. Sebab, jika tidak, justru pertahanan Kroasia yang dikawal duet Demagoj Vida dan Lovren, yang akan kena teror, terutama dalam situasi bola mati. Umtiti dan Varane telah membuktikan mereka selalu ada di kotak penalti lawan saat terjadi tendangan bebas. Yang terbaru, gol tunggal ke jala Belgia yang meloloskan Prancis ke final berasal dari kepala Umtiti.
Dengan formasi 4-2-3-1, Deschamps menjadikan Antoine Griezmann yang berada di belakang striker utama Olivier Giroud, sebagai “playmaker” yang menentukan arah serangan Prancis. Ditulis dalam tanda kutip karena aslinya pemain Atletico Madrid ini adalah seorang penyerang yang mendapatkan servis geladang. Namun di tim Prancis, justru dia yang sering bertindak sebagai pengatur serangan dan menjadi pengumpan untuk pemain lain yang mencetak gol, meski dia juga sangat fasih dalam mencetak gol. Griezmann-lah yang akan menjadi metronom yang menentukan ke mana aliran bola di saat tim menyerang. Bahkan ketika menghadapi Argentina, Griezmann adalah orang yang selalu paling dekat dengan Lionel Messi yang membuat “Alien dari Camp Nou” itu kesulitan bergerak.
Tentu, Griezmann tidak sendirian dalam menjalankan tugasnya. Blaise Matuidi di kiri dan Kylian Mbappe di kanan, juga sangat berbahaya. Dua gol Mbappe ke jala Argentina adalah buktinya. Sementara Matuidi tipe pemain yang tak pernah berhenti berlari dari sisi kiri. Dalam pertandingan nanti, Matuidi akan dapat lawan sepadan, yakni bek yang juga rajin bergerak milik Kroasia, Sime Vrsaljko. Bek kanan Atletico Madrid ini punya kekuatan menyerang dan bertahan sama baiknya. Dia juga punya umpan lambung yang baik –salah satunya menjadi gol Perisic ke jala Inggris-- dan kemampuan menusuk dari sayap.
Yang akan menjadi masalah bagi Kroasia adalah sisi kiri pertahanannya. Saat menghadapi Inggris, Ivan Strinic sering kewalahan ketika diserang. Sering salah umpan, dan tak sebaik Vrsaljko dalam membantu serangan. Jika Strinic tak mampu memperbaiki permainannya, bukan tidak mungkin dia akan menjadi bulan-bulanan Mbappe yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Perisic nampaknya akan sibuk membantu Strinic mematikan Mbappe.
Secara keseluruhan, terjadi perimbangan kekuatan dengan keunggulan masing-masing tim di posisi tertentu. Dalam partai final seperti ini, pendekatan taktik yang detail akan sangat berpengaruh. Terutama dalam membaca “profil” pemain per pemain lawan. Kesalahan kecil saja akan fatal akibatnya. Namun, dari semua uraian itu, muaranya adalah pertarungan duet lini tengah antara Kante-Pogba versus Modric-Rakitic. Siapa yang menang dalam duel ini, kans untuk menang sangat besar. Tidak percaya? Kita buktikan bersama.***