BAGI kalangan sastrawan atau penulis, tetap mempertahankan nyala api kreatif, bukanlah persoalan mudah. Banyak sastrawan yang pada suatu masa menjadi sangat produktif, tiba-tiba mengalami stagnasi dan karya-karyanya tak lagi bisa dinikmati masyarakat. Banyak hal yang mempengaruhinya. Ada yang sibuk dengan pekerjaannya di luar dunia kepenulisan, ada yang karena sudah makmur sehingga kehilangan ide-ide kreatif, atau masalah lainnya yang lebih beragam.
Saya ingin bercerita tentang Joni Ariadinata, salah seorang cerpenis kuat yang pernah dimiliki Indonesia. Menurutnya, ada beberapa cara atau tips untuk tetap menyalakan api kreativitas tersebut. Dia mencontohkan dirinya sendiri. Di tahun 1990-an ketika dia baru masuk di dunia menulis (sastra) yang dianggapnya sudah sangat terlambat, dia harus bersaing keras dengan Agus Noor, salah seorang cerpenis asal Yogyakarta yang juga sangat produktif ketika itu. Semua orang tahu, Joni dan Agus adalah dua sahabat kental, namun persaingan mereka di dunia menulis juga diketahui publik sangat keras.
Pernah suatu saat, kata Joni, Agus Noor datang ke rumahnya membawa sebuah majalah terkenal dan bergengsi di kala itu, Matra, yang di dalamnya memuat cerpennya. Agus tidak mengatakan kalau cerpennya dimuat, tapi hanya bilang “Jon, Matra… Matra…” Hati Joni jengkel betul ketika itu. Yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana supaya Agus juga merasakan sakit hatinya itu. Untuk itu dia harus berjuang keras agar menulis yang lebih baik dari Agus.
Lelaki yang terkenal dengan cerpen “Lampor” --menjadi cerpen terbaik Kompas tahun 1994-- ini juga mengisahkan, setiap dia membaca koran Ahad dan di sana ada karya Agus Noor, dia langsung merobek koran itu dan meremas-remas karya Agus. Tetapi, katanya, itu hanya persaingan kreatif. Di kehidupan sebenarnya, tetap berteman. Joni tak punya rokok, minta Agus. Agus tak punya kopi, datang ke rumah Joni dan mereka ngopi dan saling berbagi cerita dan berbagi ide. Hal-hal seperti ini perlu untuk menyalakan api kreatif. Yang tidak bagus kalau persaingan itu masuk ke hati dan membuat kedua orang teman saling bertolak belakang pandangan dan malah berseberangan secara pribadi.
Tahun 2007, Joni yang sedang berkunjung ke Pekanbaru karena menjadi pembicara dalam sebuah pelatihan menulis sastra bagi guru-guru bahasa dan sastra di LPMP, secara mendadak didaulat oleh Komunitas Paragraf untuk berbicara dalam sebuah diskusi tentang proses kreatif. Sekitar 40-an penulis Pekanbaru datang dalam acara itu. Di antaranya sastrawan senior Fakhrunnas MA Jabbar, Olyrinson, Budy Utamy, Griven H Putra, M Badri, Jefry Malay, Hang Kafrawi, Murparsaulian, Gde Agung Lontar, Faris Iksan, Syafrini Nofitri bersama rekan-rekannya dari UIR, dan beberapa penulis dari berbagai komunitas di Pekanbaru.
Menurut Joni, persaingan antarpenulis di daerahnya, Yogyakarta, sangat ketat. Persaingan kreatif ini tak jarang melibatkan sesama teman baik. Dia mencontohkan, Marhalim Zaini, sastrawan Riau, pernah bersaing kreatif sangat tajam dengan Raudal Tanjung Banua, rekannya sesama mahasisa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan sama-sama teman satu komunitas penulis. Setiap cerpen atau puisi Raudal dimuat di koran, Marhalim akan bekerja keras untuk melakukan hal yang sama, juga sebaliknya. Hal yang sama juga terjadi antara Putut EA dengan Satmoko Budi Santoso dan beberapa sastrawan lainnya. Yang terjadi, persaingan ketat antarteman itu membuahkan hasil. Semuanya jadi. Setelah itu, taka da redaktur budaya media yang “berani” menolak karya Raudal, Marhalim, Satmoko atau Putut.
Dalam bagian lain, Joni juga menjelaskan bagaimana “permusuhannya” dengan kritikus sastra UGM, Faruk HT. Pernah suatu kali, kata Joni, ketika peluncuran kumpulan cerpennya, Kali Mati, Faruk diundang oleh Penerbit Bentang Pustaka. Dan ketika maju ke depan, Faruk mengatakan bahwa cerpen-cerpen Joni adalah karya yang buruk dan tidak menawarkan apa-apa. Faruk mengambil buku Kali Mati dan kemudian membuangnya. Joni sedih sekali ketika itu. Tetapi, sekali lagi, secara pribadi dengan Faruk, dia tetap akrab sebagai teman.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Marhalim dan cukup menarik tersebut, Fakhrunnas juga membenarkan apa yang dikatakan oleh Joni. Fakhrunas memaparkan bagaimana persaingan kreatifnya dengan koleganya, Taufik Ikram Jamil (TIJ). Tahun 1987, kata Fakhrunas, dia ke Pusat Dokumentasi HB Jassin bersama TIJ. Dia meminta kepada petugas untuk mencarikan file kliping tulisannya. Ternyata karya dia banyak di sana. TIJ juga meminta kepada petugas untuk dicarikan file kliping karyanya. Dan ternyata tidak ada. TIJ kesal sekali ketika itu.
Dan ternyata, kata Fakhrunas, kejadian itu telah memacu TIJ untuk menghasilkan karya yang lebih baik. Terbukti, setelah itu TIJ menjadi sastrawan asal Riau yang sangat produktif, jauh meninggalkan yang lainnya, termasuk dirinya.
Menanggapi banyak hal yang berkembang dalam diskusi, Joni menjelaskan, hal yang dilakukan oleh para penulis pemula untuk tetap eksis adalah selalu berkarya dan berkarya, tak peduli hasilnya seperti apa. Tahun 1990-an, katanya, setiap hari Kompas menerima 80 lebih naskah setiap harinya atau lebih 500 cerpen setiap pekannya, dan yang dimuat hanya satu. Ketika “Lampor” menjadi cerpen terbaik Kompas, dia senang karena akan dengan mudah bisa menembus Kompas, minimal setiap bulannya. Tapi ternyata salah. Hampir setahun setelah itu cerpen Joni ditolak Kompas. Tetapi dia terus menulis dan menulis.
Artinya, para penulis muda harus terus bekerja keras mengasah karyanya. Sebab, jika sudah terbiasa menulis, feelling akan muncul dan suatu saat pasti akan lahir karya-karya terbaik. Yang menjadi persoalan, kalau baru dua sampai sepuluh karyanya ditolak media dan kemudian patah hati, ya sudah, tak akan pernah maju. Tetapi, menurutnya, kalau kita tak berbakat menjadi penulis, untuk apa kita memaksakan diri? Toh masih banyak pekerjaan yang lainnya.***