JAKARTA (RP) - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) curiga dengan bisnis penukaran uang (money changer) di Batam yang digunakan untuk kegiatan pencucian uang. Hal itu terkait dengan adanya dugaan uang dengan jumlah di atas Rp 100 juta yang dibawa dari Batam ke negeri tetangga namun tidak dilaporkan.
"Memang sangat mungkin money changer itu dijadikan sarana untuk melakukan kejahatan pencucian uang," kata Wakil Ketua PPATK, Agus Santoso kepada JPNN di Jakarta, Rabu (29/8) petang.
Agus menambahkan, pihaknya akan terus melakukan penelusuran tentang asal-usul uang yang keluar dan masuk Indonesia. Selain itu, PPATK juga bekerjasama dengan Bea Cukai untuk memantau pembawaan uang melalui kepabeanan.
"Karena kita memang tahu ada dugaan money changer dimanfaatkan untuk pencucian uang. Jadi kita mendorong supaya Bea Cukai bisa mempertanyakan uang yang dibawa," ucapnya.
Dalam UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, uang dengan jumlah di atas Rp 100 juta yang dibawa keluar ataupun masuk wilayah Indonesia harus dilaporkan. Namun Agus mengakui bahwa Bea Cukai memang tidak memiliki kewenangan menggeledah ataupun menanyakan asal-usul uang yang dibawa seseorang yang hendak keluar ataupun masuk wilayah hukum Indonesia.
"Kita sedang mengusulkan agar Bea Cukai diberi kewenangan melakukan penggeledahan, mempertanyakan, menyelidiki yang membawa uang yang memang mengundang kecurigaan," sambungnya.
Namun ada hal yang juga dikeluhkan PPATK, yakni bisnis money changer yang tidak diatur secara ketat oleh Bank Indonesia (BI). Selain itu, sambungnya, banyak jasa money changer liar yang tidak mengantongi izin dari BI.
"Money changer tidak diregulasi oleh Bank Indonesia secara ketat. Sekarang iniada authorized money changer (punya izin BI), tapi ada juga yang tdk berijin tapi dianggap legal dan beroperasi. Bahkan ada yang perorangan. PPATK sudah mengimbau BI untuk meregulasi dan mengawasi money changer," tuturnya.(flo/ara/jpnn)