DALAM sebuah kesempatan berdiskusi santai mengenai bahasa, kadang mencuat pertanyaan yang membuat saya harus lebih banyak diam berpikir. Pertanyaan seperti, "Untuk apa ada namanya bahasa baku dan apa dasarnya? Mengapa harus ada bahasa standar?" Kemudian dilanjutkan lagi dengan sebuah pernyataan, "Orang berbahasa tidak perlu diatur mengenai mana yang baku dan tidak baku. Biarkan masyarakat berkreativitas memproduksi bahasa mereka."
Pertanyaan di atas memang sempat mengganjal di pikiran saya. Bisa jadi seorang guru atau pengajar bahasa memiliki "kerisauan pikiran" yang sama akan pertanyaan tersebut. Mengenai pandangan kreativitas berbahasa, memang tidak ada salahnya, masyarakat memiliki kebebasan untuk berbahasa. Namun, di sisi lain, perlu juga ada kepatuhan/ketaatan dalam berbahasa. Jadi, perlu ada keseimbangan antara kepatuhan dan kebebasan. Sebelum lanjut mengenai kebebasan dan kepatuhan dalam berbahasa, kita kembali ke pertanyaan mengenai bahasa baku.
Dalam tulisan ini, saya sedikit mencukil dan mengembangkan pendapat dari Abdul Khak (Badan Bahasa) untuk menyelisik soalan tersebut. Awal mula penentuan sebuah bentuk kata atau kalimat, baku atau tidak baku, adalah korpus bahasa yang diusahakan oleh seorang peneliti. Korpus tersebut merupakan realisasi penggunaan bahasa dalam masyarakat. Data itu kemudian dianalisis oleh peneliti/pakar bahasa, dan dari sinilah kemudian ditemukan dan dibuat sebuah pola sehingga membentuk kaidah yang abstrak. Jadi, kaidah yang dibuat dan dipelajari dalam bahasa Indonesia sampai saat ini adalah bersumber dari bahasa yang dipakai oleh masyarakat.
Kaidah-kaidah yang dibuat dan ditemukan tersebut kemudian dijadikan rujukan oleh lembaga otoritas sebagai kaidah bahasa baku. Penentuan adanya bentuk dan pola baku dan tidak baku dalam upaya "memenuhi" tuntutan rencana pembelajaran dan pemerolahan bahasa. Hal itu diperlukan agar perjalanan bah asa ke depan mengikuti pola yang sudah teratur atau berkaidah. Untuk menuju kepada sebuah bahasa yang mantap tentu perlu perencanaan yang matang. Pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam sebuah negara memiliki wewenang untuk itu.
Coba kita bayangkan seandainya di Indonesia dengan berbagai dialek bahasa Indonesia yang beragam dari Aceh sampai Papua tidak ada bahasa Indonesia baku. Apakah setiap daerah akan mengajarkan bahasa Indonesia sesuai dengan dialek yang berkembang dalam daerah tersebut? Tentunya, kondisi itu dapat menimbulkan "kekacauan" dan "kesimpangsiuran" dalam pembelajaran. Bahkan, bisa jadi memunculkan persaingan antardaerah dalam hal pembelajaran bahasa Indonesia yang mereka pakai.
Andaikata tidak ada kepatuhan pada kaidah tata bahasa, dengan kata lain tiada ketaatan pada aturan main, hubungan di antara kita akan sering terganggu. Gangguan itu dapat muncul dari adanya orang yang tidak merasa terikat pada suatu konvensi yang diterima secara umum. Bahasa nasional dibentuk berdasarkan konvensi dari masyarakat suatu bangsa yang membutuhkan sebuah alat komunikasi resmi yang menjadi benang pengikat keberagaman yang diterima oleh seluruh lapisan masyarakatnya. Selain itu, bahasa nasional umumnya dilahirkan untuk menjadi identitas suatu bangsa.
Kembali ke bentuk baku dan tidak baku. Di luar dari situasi formal/resmi, tidak ada aturan mengenai larangan, baik individu, kelompok, maupun lembaga, penggunaan bentuk tidak baku. Dalam KBBI, bentuk tidak baku tetap dicantumkan sebagai variasi dari bentuk baku yang sudah ada. Namun, bukan berarti bentuk tidak baku dilarang untuk digunakan. KBBI hanya menawarkan pilihan agar masyarakat mengetahui bentuk baku dan bentuk tidak baku, kemudian dalam situasi apa harus digunakan dua bentuk tersebut. Pun paling jauh otoritas kebahasaan menyarankan penggunaan bentuk baku dalam situasi resmi.
Pembakuan bahasa bukan ditujukan untuk mencapai keseragaman bahasa, melainkan untuk memantapkan fungsi berbagai ragam. Pemantapan norma, yang juga disebut pembakuan, berpraanggapan adanya keseragaman. Proses pembakuan sampai taraf tertentu berarti penyeragaman kaidah. Namun, penyeragaman kaidah tidak berarti penyamaan ragam bahasa. Berbagai hal yang dilakukan oleh otoritas kebahasaan yang bertujuan memantapkan kaidah tata bahasa di dalam situasi ketidakserasian tersebut oleh sebagian orang dapat dianggap usaha dari sumber yang berwenang menafsirkan norma tata bahasa yang berlaku. Oleh sebagian lagi, dianggap usaha yang sewenang-wenang karena tidak cocok dengan perangkat kaidah yang diyakininya.
Sebagai bahasa yang sedang berkembang dan terus mengalami perubahan, bahasa Indonesia tentu memerlukan sebuah perencanaan bahasa yang mantap. Harus dapat diarahkan kepada pertumbuhan yang tepat, dikendalikan sebatas kemungkinannya, dan bukan menghambat perkembangannya dengan memberi harga mati. Bahasa yang hidup akan terus berkembang dan berubah sampai pada satu ketika ia tiba pada titik puncak perkembangannya, lalu seakan-akan berhenti, tetapi tidak dalam arti yang nyata dan mutlak. Pengembangan bahasa juga mempertimbangkan berbagai hal, seperti gejala sosial, sejarah penyerapan, kebutuhan konsep baru, dan perubahan kebijakan.
Mengenai kebebasan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Anton M. Moeliono bahwa bahasa mengakui akan adanya kebebasan para pemakai. Bahasa Indonesia dapat berkembang dengan pesat karena adanya kebebasan untuk berubah. Apa yang dulu tidak ada, sekarang sudah ada, yang dulu disukai sekarang dibuang, yang dulu dianggap salah, sekarang sudah dibenarkan. Jadi, kita patuh pada kaidah tata bahasa sekaligus juga menikmati kebebasan. Untuk dapat menikmati kebebasan itu sebaik-baiknya, kita harus tahu dulu apa yang harus dipatuhi. Itulah sebabnya, mengapa pada masa awal bersekolah lebih ditekankan pada soal kepatuhan itu daripada kebebasan. Karena seorang anak itu harus belajar apa yang harus dipatuhi agar ia dapat bergaul sebaik-baiknya dengan masyarakat.
Tidak sedikit orang yang menganggap dirinya tidak terikat pada kaidah bahasa. Tidak sedikit juga yang berpandangan bahwa bahasa Indonesia itu hanya satu ragamnya. Dari sekian banyak ragam, salah satunya ragam baku, yang jadi acuan. Jenis ragam lain berkaitan dengan pekerjaan, usia, pendidikan, agama, dan lain-lain. Pemilihannya diserahkan kepada selera setiap orang yang berdasarkan kelayakan dan kepantasan saat digunakan. Semua itu masih termasuk dalam bahasa Indonesia.
Menutup diskusi, saya biasanya mengemukakan ide bahwa masalah bahasa dan perencanaan bahasa selayaknya diserahkan kepada ahli dan pakar bahasa. Mungkin kita tidak akan selalu setuju dengan kebijakan mereka, tetapi kita sadar bahwa mereka lebih paham tentang masalah tersebut. Kita semua terlibat dalam penggunaan bahasa. Namun, masalah pembakuan bahasa hendaknya diserahkan kepada ahli bahasa yang cendekia dan berwawasan sosial luas. Setiap orang dapat membicarakan masalah bahasa. Namun, kepada para ahli bahasalah dibebankan tugas untuk menjadi pandu tentang kebahasaan.***
Firman A.D., Aktif meneliti dan menulis artikel ilmiah dan esai kebahasaan serta mengelola Komunitas Rumah Buku Firza di Kota Kendari