JAKARTA(RIAUPOS.CO) – Ketentuan baru penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk gaji guru honorer ibarat buah simalakama. Di satu sisi, alokasi dana BOS untuk gaji guru honorer ditingkatkan dari maksimal 15 persen menjadi 50 persen.
Di sisi lain ada syarat lain, guru honorer yang bisa mendapatkan gaji dari dana BOS wajib memiliki nomor unik pendidik dan tenaga kependidikan (NUPTK).
Berdasar data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) per 18 Desember 2019, jumlah guru honorer yang memiliki NUPTK ada 708.963 orang. Jumlah ini setara dengan 47 persen jumlah guru honorer yang mencapai 1.498.344 orang. Artinya, ada sekitar 789 ribu guru honorer belum memiliki NUPTK sehingga tidak berhak menerima gaji dari dana BOS.
Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi menyambut baik adanya sejumlah penyederhanaan dalam penyaluran dana BOS. Begitu juga peruntukan dana BOS untuk gaji guru honorer yang mencapai 50 persen. “Bisa untuk membantu kesejahteraan kawan-kawan guru honorer,” kata Unifah Rosyidi di sela Konferensi Kerja Nasional (Konkernas) PGRI yang digelar di Jakarta 21-23 Februari.
Unifah mengatakan, petunjuk teknis atau juknis penggunaan dana BOS untuk gaji guru honorer harus diperbaiki. Sebab, syarat wajib memiliki NUPTK bagi honorer untuk bisa mendapatkan gaji dari dana BOS sulit dipenuhi. Alasannya, untuk bisa mendapatkan NUPTK, seorang guru wajib mendapatkan surat keputusan (SK) dari pemerintah daerah (pemda). “Sedangkan SK dari pemda itu sudah distop. Tidak boleh,” katanya.
Menurut Unifah saat ini pemda tidak mudah mengeluarkan SK untuk guru honorer karena ada peraturan pemerintah (PP) 48/2005 yang melarangnya. Unifah menegaskan masih banyak guru honorer yang belum ber-NUPTK.
Di dalam aturan yang lama, mereka masih bisa mendapatkan gaji dari dana BOS. Sebab tidak diatur ketentuan wajib memiliki NUPTK. Meskipun nominal gaji yang diterima kecil, karena dibatasi maksimal 15 persen dari dana BOS. Untuk itu, dia menegaskan aturan wajib memiliki NUPTK bagi guru honorer supaya bisa menerima gaji dari dana BOS itu untuk direvisi. “Kalau tidak, itu bisa menimbulkan problem baru,” pungkas guru besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Deslina