JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Kepala sekolah maupun tim bantuan operasional sekolah (BOS) reguler tidak bisa menggunakan dana BOS seenaknya. Mereka terikat aturan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 80 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler.
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat (Humas) Kemendikbud Ade Erlangga Masdiana menjelaskan, Pasal 12 Permendikbud 8/2020 mengatur batasan penggunaan dana oleh kepsek dan tim BOS.
Erlangga menjelaskan salah satunya adalah dana BOS tidak boleh digunakan untuk membayar guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS).
"Supaya tidak ada kepala sekolah yang nakal, saya bacakan biar gamblang. Dana BOS tidak boleh untuk guru PNS. Nanti kena (hukuman) kepala sekolahnya, atau pengelola BOS atau tim BOS-nya," kata Erlangga dalam diskusi "Skema Dana BOS, Kenapa Diubah?", di Jakarta Pusat, Sabtu (15/2).
Pasal 12 Ayat 1 Huruf a sampai n lebih lanjut mengatur hal yang tidak boleh dilakukan kepsek dalam menggunakan dana BOS. Yakni tidak boleh disimpan di bank dengan maksud dibungakan, dipinjamkan kepada pihak lain, membeli perangkat lunak untuk pelaporan keuangan dana BOS Reguler atau perangkat lunak lainnya yang sejenis, sewa aplikasi pendataan atau aplikasi penerimaan peserta didik baru dalam jaringan.
Kemudian, membiayai kegiatan yang tidak menjadi prioritas sekolah, membiayai kegiatan dengan mekanisme iuran, membeli pakaian, seragam, atau sepatu bagi guru atau peserta xidik untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah).
Berikutnya, tidak boleh digunakan untuk pemeliharaan prasarana sekolah dengan katagori kerusakan sedang dan berat, membangun gedung atau ruangan baru, membeli saham, membiayai kegiatan dalam rangka mengikuti pelatihan, sosialisasi, pendampingan terkait program BOS Reguler atau perpajakan program BOS Reguler yang diselenggarakan lembaga di luar dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota, dan/atau kementerian.
"Kemudian, dana BOS tidak boleh digunakan untuk membiayai kegiatan yang telah dibiayai secara penuh dari sumber dana pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau sumber lainnya. Melakukan penyelewengan penggunaan dana BOS reguler untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, dan atau bertindak menjadi distributor atau pengecer pembelian buku kepada peserta didik di sekolah yang bersangkutan," paparnya.
Ketua PB PGRI Masa Bakti XXI Didi Suprijadi menyatakan bahwa skema lama penyaluran dana BOS reguler sering membuat uang terlambat sampai ke sekolah.
Kegiatan sekolah dimulai Januari, tetapi kadang-kadang dana BOS baru sampai ke sekolah pada Maret. Akibatnya, kepala sekolah sering mencari dana talangan. Menurut Didi, kondisi seperti ini sangat rawan.
"Lebih rawan lagi kalau kepala sekolah mencari dana talangan. Kadang-kadang ke rekanan. Kata rekanan boleh dibayar dulu, tetapi harganya yang maksimal sesuai plafon di e-budgeting. Akhirnya uang lari ke sana semua," kata Didi dalam kesempatan itu.
Ia menambahkan, lebih gawat lagi bila ada kesepakatan antara kepala sekolah dan rekanan. Misalnya, Didi mencontohkan, kepala sekolah menyepakati mentransfer ke rekanan harga Rp 10 juta, padahal yang sebenarnya Rp 8 juta. Jadi, ada cash back Rp 2 juta untuk kepala sekolah dari rekanan.
Dalam kesempatan itu, Didi menyarankan sebaiknya istilah BOS diubah, dari bantuan operasional sekolah menjadi biaya operasional sekolah.
"Kalau bantuan itu wajar, namanya juga bantuan jadi semau-maunya yang bantu. Kalau pemerintah betul-betul mau mencegah kekurangan guru, meningkatkan mutu, memerdekakan itu, jangan dibantu tetapi langsung dibiayai. Maka BOS jadi biaya operasional sekolah," katanya.
Seperti diketahui, pemerintah mengubah skema penyaluran dana BOS, yakni dari rekening kas umum negara (RKUN) langsung ke sekolah. Tidak lagi seperti skema lama yakni dari RKUN ke rekening umum kas daerah (RKUD) baru ke sekolah. (boy/jpnn)
Sumber: Jpnn.com
Editor: Erizal