JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Seharusnya besok (13/7) adalah hari pertama masuk sekolah di tahun ajaran baru. Namun, pandemi Covid-19 membuat pembelajaran dilaksanakan dengan cara berbeda. Tidak semua sekolah boleh menggelar kegiatan belajar-mengajar (KBM) secara tatap muka alias datang langsung ke sekolah.
Hanya satuan pendidikan di zona hijau yang diperkenankan melaksanakan pembelajaran tatap muka. Itu pun hanya berlaku untuk jenjang sekolah menengah atas (SMA) sederajat, SMP sederajat, serta kejar paket C dan B. Syarat lain, menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, harus mendapat persetujuan dari pemerintah daerah (pemda) setempat. Artinya, tidak boleh diputuskan sendiri oleh pihak satuan pendidikan.
Orang tua siswa juga memiliki kewenangan untuk memilih: berkenan mengirim anaknya kembali ke sekolah untuk belajar tatap muka atau tidak. Sekolah tidak berhak memaksakan.
Saat ini setidaknya ada 104 kabupaten yang berada di zona hijau yang diperkenankan untuk membuka kembali aktivitas belajar-mengajar di sekolah. ’’Yang belum siap, belum nyaman, boleh bilang belum siap,’’ ujarnya dalam diskusi online kemarin (11/7).
Satuan pendidikan yang melaksanakan pembelajaran tatap muka wajib mematuhi segala daftar prasyarat yang berkaitan dengan protokol kesehatan. Mulai tempat cuci tangan, sanitasi, kerja sama dengan puskesmas terdekat, hingga pengaturan jarak. Seluruhnya bakal dicek pemda sebelum akhirnya memutuskan apakah satuan pendidikan tersebut layak untuk dibuka kembali.
Cara itu juga dapat digunakan untuk meyakinkan orang tua tentang kesiapan sekolah. Bahwa sekolah sudah sangat siap dalam penerapan protokol kesehatan. Namun, jika orang tua tetap tidak berkenan anaknya masuk sekolah, pihak sekolah dilarang menjatuhkan sanksi pada siswa. Baik itu berkaitan dengan kurikulum maupun dalam penilaian.
Siswa tetap wajib mendapat pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sekolah harus memfasilitasinya. ’’Karena ini berkaitan dengan kesehatan masing-masing,’’ tegasnya.
Selain itu, pada tahap awal, pembukaan sekolah hanya diperbolehkan untuk jenjang sekolah menengah. Yakni, SMA sederajat dan SMP sederajat. Jenjang SD baru diperbolehkan buka setelah protokol kesehatan saat pembelajaran tatap muka di SMA dan SMP berjalan dengan baik. Batasnya, minimal dua bulan setelah pembukaan tahap I.
Setelah tahap II dibuka, dua bulan kemudian atau sekitar November, giliran PAUD dan TK yang diizinkan melakukan aktivitas kembali di sekolah. Itu pun jika tak ada perubahan warna zona pada daerah tersebut. Jika ada, sekolah wajib langsung ditutup. ’’Kami mengutamakan dulu jenjang yang lebih tinggi untuk memastikan social distancing bisa terjadi,’’ papar mantan bos Gojek tersebut.
Nadiem mengatakan, pemerintah punya alasan tersendiri terkait pembukaan sekolah meski masih dalam masa pandemi. Menurut dia, jika pembelajaran tatap muka tidak dilakukan saat ini, itu akan menghukum secara tidak proporsional pada anak-anak. Padahal, kantor dibuka, perekonomian dibuka. ’’Lalu kenapa tidak diberi kesempatan secara bertahap tatap muka di sekolah,’’ katanya. Tentu dengan tetap memperhatikan segala aspek kesehatan.
Sekolah yang berada di zona merah, kuning, dan oranye diimbau untuk tidak membuka kegiatan pembelajaran di sekolah. Belajar-mengajar harus dilaksanakan jarak jauh. Dalam pembelajaran itu, sekolah harus memastikan peserta didik tidak terbebani kurikulum dan target angka.
Nadiem juga berpesan agar guru bisa terus berkreasi dan melakukan terobosan dalam mendidik murid-muridnya. Dengan begitu, pembelajaran jadi lebih menyenangkan. Untuk memfasilitasinya, Kemendikbud telah memberikan keleluasaan penggunaan dana BOS untuk pembelajaran di masa pandemi.
Penyederhanaan Kurikulum
Menghadapi tahun ajaran baru, Kemendikbud telah melakukan penyederhanaan kurikulum. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan (Balitbangbuk) Kemendikbud Totok Suprayitno mengatakan, pihaknya telah menyederhanakan cakupan materi per mata pelajaran. Disiapkan pula modul-modul untuk memudahkan siswa belajar mandiri. Terutama untuk mereka yang berada di zona 3T. ’’Modul ini nanti dibagikan oleh dikdasmen,’’ katanya.
Sementara itu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendorong pemerintah agar membuat kurikulum adaptif yang diterapkan di tengah situasi pandemi Covid-19 dengan memperhatikan tiga aspek. Yakni, kompetensi dasar, standar penilaian, dan standar proses. Dengan catatan, itu bukan untuk membuat kurikulum baru. ’’Bukan untuk mengganti Kurikulum 2013. Tapi, bagaimana Kurikulum 2013 bisa diadaptasikan atau disederhanakan di tengah kondisi darurat atau pandemi,” kata Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim kepada Jawa Pos kemarin.
Dia meminta kompetensi dasar (KD) dalam Kurikulum 2013 disederhanakan. Setidaknya separo dari ketentuan kurikulum yang digunakan saat kondisi normal. Bagi guru, sulit menyampaikan KD dalam satu tahun ajaran yang padat kepada siswa dengan kondisi serba terbatas. Baik keterbatasan waktu belajar, sarana, maupun tatap muka. ’’Jadi, kalau misal KD normal mungkin 15 atau 12 bab, itu bisa dikurangi. Setengahnya lah,” ucap Satriwan.
Begitu pula standar penilaian. Sulit menerapkan penilaian yang ideal, yakni kognitif, sikap, dan keterampilan. Sebab, tidak ada interaksi langsung. Pemerintah harus menyederhanakan rubrik-rubrik penilaian itu.
Lalu, kurikulum harus memperhatikan standar proses. Artinya, mampu mencakup dua kondisi siswa dan guru. Yakni, kondisi yang berkecukupan dan sulit. Kurikulum jangan hanya berpegang pada pembelajaran melalui tatap muka virtual. Namun, juga harus mengakomodasi guru dan siswa yang tidak memiliki akses untuk melakukan tatap muka virtual.
’’Bagaimana dengan anak-anak yang tidak memiliki gawai, tidak ada jaringan internet masuk ke daerahnya, dan tidak ada jaringan listrik masuk ke daerahnya?” kata dia. Bahkan, yang lebih parah apabila wilayahnya masuk zona merah. ”Jadi, kurikulum harus bisa mencakup dua kondisi tersebut. Itu yang kami minta,” lanjut guru SMA Labschool Jakarta itu.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman