KEPUTUSAN Nomor 02/Pid.Sus/2013/PTR keluaran Pengadilan Tinggi (PT) Pekanbaru, Riau, terkait permasalahan hukum yang membelit terdakwa Zainuddin Masdit alias H Anshar alias H Guntur Bin H Abdul Rasyid merupakan satu dari sekian banyak surat dalam rekam jejak kasus ini. Zainuddin, pria Lombok kelahiran Jakarta 12 Mei 1970 dan beralamat terakhir di Perumahan Taman Marcelia Blok A Kecamatan Batamkota, Batam, entah di mana bersembunyi.
Sejak terjerat kasus penyeludupan manusia, Zainuddin tak merasakan bagaimana pengapnya bui. Betapa tidak, meski sempat dijebloskan penjara, namun penahanannya kemudian dialihkan dari Rumah Tahanan (Rutan) Klas II-A Batam di Baloi menjadi Tahanan Kota mulai 25 Juni 2012. Hingga akhirnya, Februari lalu perkara sang tekong imigran gelap atau tanpa dokumen sah keimigrasian itu bergulir ke tingkat banding, setelah dia divonis tujuh tahun kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Batam yang diketuai Sorta Ria Neva. Bahkan, belakangan diperoleh informasi telah keluar keputusan inkrah dari Mahkamah Agung (MA) RI yang menjatuhkan vonis menjadi lima tahun saja.
Kasus ini nyaris luput dari perhatian publik secara luas, apalagi ketika sepak terjang Zainuddin dikandaskan aparat kepolisian di Bandara Hang Nadim, Senin (27/2) sore tahun lalu. Zainuddin tidak sendiri, ada juga anak buah dia meliputi Mansur Bin Radiman, Muhammad Yudha Siambaton, dan Ujang Bin Jantan. Modus operandi mereka terlacak mulai, Sabtu (25/2) sore, semenjak menyewa speed boat milik H Sake. Ketika itu Zainuddin menyuruh Ujang, Amat, serta Herman agar berangkat ke Desaru Johor, Malaysia, untuk menjemput 11 orang imigran asal Srilanka dan dibawa ke Batam.
Malam itu sekitar pukul 21.00 WIB, Zainuddin mengontak Mansur agar bersiap-siap karena keesokannya rombongan imigran asing itu dijadwalkan tiba di Batam. Minggu (26/2) sekitar pukul 04.00 WIB, “para tamu” itu mendarat di pantai Nongsa. Zainuddin kembali menghubungi Mansur, dan memerintahkannya ke rumah ambil kunci mobil Suzuki APV hitam BP 1409 DC untuk menjemput kesebelas imigran itu dan diantar ke Marcelia. Esoknya sekitar jam sembilan, Zainuddin mengutus Yudha menarik uang Rp22,9 juta lebih, kiriman dari Malaysia di kantor Pos bandara.
Nah, begitu transferan duit sudah diambil, Yudha juga ditugasi mengirimi Rp5 juta kepada Khaliq Dad Rahmani di Jakarta, sedangkan sisanya jatah Zainuddin. Siangnya sekitar pukul 12.00 WIB, Zainuddin menelpon Mansur supaya bersama Yudha menjemput para imigran itu di rumahnya, Marcelia. Barulah sekitar pukul 15.00 WIB, mereka memboyong kesebelas imigran Srilanka itu ke Bandara Hang Nadim untuk diterbangkan ke Jakarta. Seiring mulusnya pergerakan imigran itu, Zainuddin juga menerima 22 ribu Ringgit Malaysia atau setara Rp61,6 juta dari Wahab yang dititipkan pada seorang imigran, dipotong Rp48,9 juta biaya pemberangkatan ke Jakarta. Maka Zainuddin meraup untung dari sisanya, yakni Rp12,7 juta.
Apes, ketika Mansur dan Yudha sampai di terminal keberangkatan Bandara Hang Nadim dengan kesebelas imigran itu, polisi dari Satuan Tugas People Smuggling Badan Reserse Kriminal Polri meringkusnya. Sepekan kemudian Zainuddin dibekuk di Jakarta, lalu diserahkan ke penyidik Direktorat Kepolisian Perairan (Polair) Polda Kepri di Batam. Dia diancam pidana Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang RI nomor 6 tahun 2001 tentang Keimigrasian junto Pasal 55 ayat (1). Tertangkapnya Zainuddin, rupanya tak sampai menyentuh kaki tangannya, Zulkarnain, yang kemudian “bermain” sendiri dengan “memingit” para imigran gelap di Hotel Minang Jaya, Pelita. Tapi aroma “busuk” jaringan itu tercium juga, polisi-pun menggerebek penampungan Zulkarnain.
Pengungkapan ini disoroti Australian Federal Police (AFP), termasuk polisi Malaysia dan Kanada. Namun, jajaran Ditpolair Polda Kepri mengalami kesulitan memberantas praktek tekong seperti mata rantai yang dilakono Zainuddin, lantaran ada 2.480 ribuan pulau tak berpenghuni yang 96 persennya laut dan ditambah 70-an pelabuhan tikus atau tak resmi di Batam. Kedatangan imigran liar di Kepri tak terlepas dari peran tekong memuluskan perjalanan ke negara ketiga seperti Australia. Dari keterangan para imigran asing yang ditampung di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Tanjungpinang, per kepala mereka dipatok tarif jasa 3 ribu Ringgit Malaysia oleh tekong. Biasanya, imigran dari timur tengah berkunjung ke Singapura atau Malaysia memakai dokumen perjalanan resmi. Tapi visa dan paspor mereka sengaja dibuang ketika menuju wilayah Indonesia, agar modus tak ketahuan. Dengan mengupah tekong, pengangkutan mereka lewat jalur gelap terjamin.
Tekong Kabur, Hakim Biangnya?
KEPALA Seksi Pidana Umum (Pidum) Kejaksaan Negeri Batam, Armen Wijaya, mengaku pihaknya kebingungan dengan kabar kaburnya Zainuddin. “Sekarang dia masih DPO (Daftar Pencarian Orang) kami, karena pada waktu itu dia di PN Batam bebas,” katanya saat menjawab POSMETRO (Riau Pos Grup), Rabu (30/10) sore lalu. Ia justru menepis soal status Tahanan Kota bagi Zainuddin. “Nggak, itu kan dikeluarkan. Kita kan nahan, tapi oleh hakim diizinkan dialihkan penahanannya. Kalau kita kan nahan, terus dikeluarkan sama hakim. Kemudian kalau nggak salah putusannya kemarin bebas atau apa lupa saya..” bebernya.
“Oh nggak, kita banding waktu itu, kemudian keluarlah penetapan itu untuk melakukan penahanan. Yang bersangkutan sekarang melarikan diri, kalau nggak salah yah, itu saja sementara,” sebut dia. Disinggung tentang apakah ada permintaan pencekalan Zainuddin kepada pihak Imigrasi, Armen belum memastikannya. “Nanti saya cek dulu. Rumah dia di Marcelia kalau tak salah sudah dijual,” tuturnya. Ketika disentil bahwa Tahanan Kota bagi Zainuddin dikabulkan hakim, dan disebutkan nama salah seorang hakim yang turut “membantu” lolosnya sang tekong, Armen kontan berujar, “Nah itu dia, itu yang biangnya. Makanya sampai sekarang kami bingung yang di lapangan,” tandasnya.
Hakim Sorta Ria Neva, yang mengetuai majelis hakim pada persidangan hingga vonis Zainuddin kala itu, hingga berita ini diketik belum bersedia memberikan jawaban. Dihubungi melalui ponselnya, hanya terdengar nada sambung tiada kunjung terangkat. Bahkan ketika dikirimi pertanyaan konfirmasi lewat SMS, juga belum ada balasan. Setali tiga uang dengan Sorta, hakim Thomas Tarigan selaku Humas PN Batam, sampai berita ini diketik masih bungkam. Melalui seorang wartawan yang ngepos liputan di kantornya, Thomas berdalih sibuk sidang sampai sore, dan berjanji akan mengecek terlebih dahulu atas perkara Zainuddin.
Ketua PN Batam, Jack Johannis Octavianus, pun belum bisa ditemui. “Bapak masih ada sidang, silahkan ke Pak Thomas saja,” ujar seorang staf di ruang kerja Jack sembari menunjukkan ruangan lain di gedung PN. “Sedari awal kami terus memonitor perkembangan kasus ini. Karena pada akhirnya kami mencurigai ada ketidakberesan atau tidak ada kejelasan begini, maka kami segera akan menyurati Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial untuk mempertanyakan sekaligus mendesak penegakkan hukum atas perkara ini,” tegas Ketua Umum LSM Gerakan Anti Trafficking (GAT) Kepri, usai menemui Rizky Rahmatullah, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara Zainuddin.(kau/pmb/rpg)