PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Aksi kriminal masih jalanan sering terjadi. Bahkan ada yang melihat langsung atau bahkan merasakannya. Hal itu terntunya menjadi traumatis lebih bagi yang pernah merasakan. Aksinya itu ada yang dilaporkan masyarakat ke pihak berwajib, bahkan tak sedikitnya tidak melapor dengan alasan barang yang dijambret atau dicolong kembali di tangannya, meski sudah babak belur.
Di dalam conventional crime atau kejahatan konvensional seperti jambret, rampok dan maling, menurut pengamat kriminolog UIR Syahrul Akmal, hal tersebut berkaitan dengan ekonomi. Dimana, pelaku-pelakunya sudah menikmati profesi itu.
“Hal yang demikian itu masuk dalam klasifikasi penjahat yang dinamakan profesional crime atau orang menjadikan kejahatan seperti sumber perekonomian,” jelasnya pada Riau Pos kemarin.
Maka, momen-momen seperti itu menuntut seseorang untuk melakukan kewaspadaan terhadap properti. Baik harta benda maupun barang lainnya yang harus dijaga secara police comuniting. “Masyarakat harus menjadi polisi bagi dirinya sendiri,” sebutnya.
Kemudian, belum maksimalnya tindak terhadap para pelaku kriminal karena belum terciptanya kemitraan polisi dengan masyarakat untuk menjadi garda terdepan dalam mengantisipasi kerawanan itu.
“Selanjutnya karena minimnya fasilitas yang dimiliki oleh aparat kepolisian itu sendiri. Apakah dari kemampuan SDM, transportasi, digital dan keterlibatan masyarakat dalam pelaporan masyarakat secepat mungkin,” imbuhnya.
Lebih lanjut, modus operandi, motif, sasaran dan lainnya sudah bukan lagi porposif namun rundown. Apapun dan kapanpun bisa dilakukan oleh pelaku kriminal jika ada kesempatan. Sehingga membuat masyarakat tidak nyaman dalam beraktivitas.
“Dari tidak nyaman itu kan tidak serta merta melaporkan ke pihak kepolisian. Namun harus bisa menjadi mitra baik dari kepolisian itu sendiri. Karena kepolisian juga memiliki keterbatasan dalam melakukan penguasaan lingkungan itu,” ujarnya.
Lalu, adanya tindakan beringas dan sadis tertera dalam lawyer class culture atau menciptakan budaya takut. Arti lainnya menciptakan budaya kekerasan untuk diakui. Syahrul mencontohkan jika terjadi jambret yang tertanam dalam pikiran pasti akan adanya terjadi kekerasan padanya, pembunuhan misalnya.(*3)