Laporan HARY B KORI’UN, Pekanbaru hary.bk@gmail.com
Sajak-sajak Raudal Tanjung Banua memotret persoalan-persoalan sosial dan kultural yang ditemuinya di banyak perjalanan yang dilakukannya.
Bertempat di aula Dewan Kesenian Riau (DKR), Bandar Serai, Ahad (22/12) lalu, buku kumpulan puisi Api Bawah Tanah karya Raudal Tanjung Banua didiskusikan. Alvi Puspita, master sastra lulusan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gajah Mada (UGM) tampil sebagai pembedah.
Beberapa sastrawan, akademisi, dan peminat sastra hadir dalam diskusi tersebut. Antara lain penyair Syafruddin Saleh Sai Gergaji, Drs Fauzi (Pembantu Dekan I FIB Unilak), Sudirman Shomary (Pembantu Dekan II FKIP UIR), Suharyoto Sastro Suwignyo, Indra Maha, Rian Harahap, Marhalim Zaini, Herlela Ningsih, Olyrinson, Sunlie Thomas Alexander (sastrawan Bangka Belitung), Yetti AKA (cerpenis asal Padang), Zelfeni Wimra (cerpenis/penyair asal Padang), dan lain-lain.
Dalam bacaannya atas sajak-sajak Raudal, Alvi menemukan benang merah tentang perjalan si aku lirik, baik perjalanan secara fisik maupun batin. Alvi berangkat dari sebuah sajak berjudul “Pulang Aku ke Pantun Lama” yang “berkisah” tentang perjalanan seseorang yang meninggalkan kampung halaman ke tanah rantau sebagai “anak dagang”.
Tetapi, perjalanan dan pengembaraannya itu tak pernah bisa melunturkan ingatannya pada kampung halaman, pada ibu, pada apa-apa yang pernah ditinggalkannya.
“Mayoritas puisi dalam buku ini menjelaskan tentang perjalanan: meninggalkan kampung, gamang di tempat baru, menempa diri di sana, mencoba beradaptasi, menemukan sesuatu yang berbeda dengan kampung yang ditinggalkan, tetap rindu kampung halaman, ibu, keluarga, teman-teman dan sebagainya,” ungkap Alvi.
Alvi melihat, Raudal sebagai sosok penyair yang menulis sajak-sajak di buku itu, sebagai aku lirik yang memang melakukan perjalanan tersebut, menjadi “anak dagang”, menjadi perantau, sebuah tradisi khas anak muda Minangkabau.
Pemahaman “anak dagang” dalam konteks ini bukan berarti pemahaman verbal suku Minangkabau yang dikenal sebagai pedagang, tetapi lebih pada sebuah pemahaman spiritual tentang perjalanan. Perjalanan dalam konteks apapun.
Syafruddin Saleh mengaku menyukai sajak-sajak Raudal karena memiliki bahasa ungkap yang menarik, baik yang tersirat maupun tersurat.
“Saya tertarik untuk ikut diskusi ini karena suka dengan sajak-sajak Raudal. Sajak-sajaknya menjelaskan pemahamannya tentang kultur-kultur yang berbeda, baik dirinya sebagai anak darat yang tinggal di pesisir, tentang kultur kepulauan, dan sebagainya,” jelasnya.
Di bagian lain, Sudirman Shomary berpendapat, pemahaman perantau sebagai “anak dagang” bukan berarti si aku lirik hanya datang, tinggal, dan kemudian pergi mencari tempat baru. Dalam sajak-sajak Raudal, menurut Sudirman, ada kecenderungan bahwa tanah baru yang ditinggali, akan menjadi kampung si aku lirik, dan bukan menjadi tanah rantau.
“Dalam hal ini, saya merasakan sendiri ketika saya tinggal di Malaysia misalnya, saat kuliah di sana. Saya menganggap tanah yang saya tinggali di sana sebagai kampung saya, dan selalu ada keinginan untuk kembali ke kampung itu,” jelas Sudirman.
Pemahaman berbeda disampaikan Marhalim. Menurutnya, selain persoalan-persoalan perjalanan tersebut, mengapa Raudal memberi judul Api Bawah Tanah pada buku terbarunya itu, pantas dicurigai dan ditelisik lebih mendalam.
Sebab, menurutnya, frasa “api bawah tanah” selama ini identik dengan gerakan-gerakan sosial yang muncul dalam masyarakat. Dan, menurut Marhalim, selama ini Raudal dikenal sebagai penyair dan sastrawan yang santun, baik dalam pembawaan sehari-hari maupun dalam karyanya.
“Maka, ketika judul itu yang dipakai untuk buku puisi ini, harus ‘dicurigai’, ada apa?” ungkap dosen sastra di beberapa perguruan tinggi di Pekanbaru ini.
Menjawab Marhalim, Alvi menjelaskan, di balik “ketenangan” karya-karya Raudal, menyimpan magma tersirat yang bisa jadi akan membangkitkan pemahaman banyak orang tentang ketidakadilan dalam banyak hal.
Dalam sajak “Api Bawah Tanah” yang menjadi judul buku tersebut, misalnya, Raudal menulis tentang penindasan-penindasan yang dilakukan oleh si kuat terhadap si lemah —baik manusia terhadap manusia, maupun manusia terhadap lingkungan alamnya— yang suatu saat bisa menjadi api bawah tanah yang siap membakar kapan saja.
“Makna tersebut disampaikan secara tersirat dan tidak dengan bahasa verbal atau pamflet seperti sajak-sajak Wiji Tukul atau yang lainnya. Dengan metafor-metafor yang diciptakannya, sebenarnya potensi gerakan sosialnya juga terlihat nyata,” jelas Alvi.
Di bagian akhir diskusi, Raudal menjelaskan, sajak-sajak yang ada dalam buku terbarunya memang banyak terinspirasi dari perjalanan dirinya ke banyak tempat. Lelaki kelahiran Lansano, Pesisir Selatan (Sumatera Barat) yang pernah tinggal di Bali —berguru pada penyair Umbu Landu Peranggi— dan kini menetap di Jogjakarta itu memang sering melakukan perjalanan di kampung-kampung kecil yang tak ada dalam peta atau kota-kota di berbagai daerah di Indonesia.
Ia pernah berada di Barus (Sumatera Utara), Palaihari (Kalimantan Selatan), beberapa kampung di Sulawesi, Maluku Utara, Bali, dan yang lainnya.
Hampir semua kota besar di Indonesia juga pernah disinggahinya. Maka jangan heran kalau nama-nama tersebut tertulis di bawah sajak-sajaknya seperti nama Barus, Palaihari, Dumai, Pekanbaru, Barus, Banjarmasin, Makassar, dan sebagainya.
“Kampung-kampung dan kota-kota yang pernah saya datangi itu, bagi saya adalah kampung halaman baru yang selalu membuat saya ingin kembali ke sana. Saya memang selalu berjuang untuk kembali ke sana, dan di beberapa tempat saya berhasil kembali. Ini menjadi inspirasi saya dalam sajak-sajak maupun cerpen yang saya tulis,” jelas sastrawan yang sudah menerbitkan beberapa buku seperti Parang Tak Berulu, Gugusan Mata Ibu, dan beberapa buku lainnya ini.***