PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - "Ilmu itu luas, yang sempit itu diri kita. Kita memperbanyak ilmu jangan buat diri sombong, hiduplah seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk.
Saya mengingatkan, untuk paham radikalisme itu ada. Jadi mari perluas ilmu dan kita bersama-sama memberantas paham ini," demikian kutipan wawacara Riau Pos dengan MP, di Pekanbaru, Rabu (17/8).
MP merupakan seorang eks napi teroris (napiter) penyerangan Mako Brimob, Kelapa Dua, 8 Mei 2008. Perannya ternyata cukup besar dalam kerusuhan di sarang Brimob tersebut. Bahkan, sampai ia pun enggan mengenang kerusuhan yang terjadi dengan adegan sekap menyekap dan tembak menembak di sana.
Pada kerusuhan di Rutan Cabang Salemba Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, terdapat 155 narapidana kasus terorisme yang sempat menyandera anggota polisi selama sekitar 39 jam. Namun, mereka akhirnya menyerahkan diri pada 10 Mei 2018 pagi, atau dua hari berselang. Akibat peristiwa tersebut, lima anggota Polri gugur dan satu tahanan tewas.
Kronologi singkatnya, sekitar pukul 21:30 WIB, 8 Mei 2018 beredar kabar bahwa tahanan napi kasus terorisme di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, jebol. Sekitar kurang dua jam berselang, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri saat itu, Brigjen (Pol) M Iqbal membenarkan kerusuhan di dalam Mako Brimob yang melibatkan tahanan dan petugas.
Kemudian pada hari kedua, 9 Mei 2018 dini hari, aparat kepolisian melakukan pengamanan ketat di sekitar Mako Brimob dengan memasang kawat berduri. Akses jalan yang ada di depan Mako Brimob pun ditutup sementara. Personel Brimob dikerahkan untuk berjaga di sepanjang jalan tersebut.
Dalam pernyataannya, Iqbal mengungkapkan bahwa kerusuhan bermula dari cekcok antara tahanan dengan petugas perihal makanan pemberian keluarga yang terlebih dahulu harus melewati pemeriksaan petugas.
Di situ, ada narapidana yang tidak terima dan memicu keributan. Kemudian pada sore harinya, pihak kepolisian melaporkan bahwa ada lima anggota Densus 88 Antiteror dan satu napi teroris yang tewas dalam kerusuhan di Mako Brimob ini. Diketahui pula, para napi teroris berhasil merebut senjata petugas dan menyandera satu anggota Densus lainnya.
Sejumlah tuntutan diajukan para napiter, mulai dari protes soal makanan hingga minta bertemu terdakwa kasus bom Thamrin, Aman Abdurrahman. Hingga pada malam harinya, napi teroris berhasil menguasai seluruh rutan Mako Brimob. Polisi hanya bisa berjaga di luar gedung.
Kemudian pada 10 Mei 2018 sekitar pukul 00.00 WIB, polisi yang menjadi sandera terakhir berhasil dibebaskan dalam keadaan hidup. Ia mengalami luka lebam di beberapa bagian tubuh. Pembebasan personel bernama Bripka Iwan Sarjana tersebut merupakan hasil negosiasi dengan pihak napiter yang meminta makanan.
Pukul 02.18 WIB, satu unit mobil baracuda masuk ke dalam Mako Brimob untuk mengambil alih rutan. Sebelum melakukan penyerbuan, pihak kepolisian terlebih dahulu memberikan ultimatum kepada para tahanan agar menyerahkan diri. Ada 145 tahanan yang menyerahkan diri. Sementara itu, ada 10 orang lainnya yang sempat melawan. Namun, setelah beberapa saat, 10 tahanan itu akhirnya juga menyerahkan diri.
Pukul 07.25 WIB, terdengar bunyi ledakan keras dan suara tembakan dari arah dalam Mako Brimob Kelapa Dua. Polisi mengatakan, suara dentuman dan senjata itu sebagai tanda sterilisasi untuk memastikan operasi pengambilalihan berakhir.
Kembali ke MP (27), napiter asal Dumai Riau ini menceritakan ia memang terlibat dalam penyerangan dan kerusuhan di Mako Brimob dari tahun 2018 awal diamankan.
Ia mengalami langsung kerusuhan pada Mei tersebut. Namun sejak di tahan hingga kini sudah lepas, ia banyak diberikan pemahaman-pemahaman antiradikalisme oleh unit Identifikasi Densus 88 Antiteror Polri dan BNPT RI serta pihak lainnya.
"Kalau bisa jangan cerita kerusuhannya (di Mako Brimob, red) bang. Intinya, saya terjerumus paham radikalisme itu sekitar tahun 2016. Hingga ditahan dan ikut dalam aksi penyerangan Mako Brimob pada tahun 2018," kisah pria berbadan tinggi itu.
Saat ditahan, MP mengaku dirinya terpapar paham radikalisme setelah mengikuti kegiatan-kegiatan aksi baik secara langsung maupun dari ide dan pemikiran. Ia divonis 3 tahun penjara saat itu.
Selama ditahan, ia mengaku menjalani program radikalisasi dan mendapatkan pengurangan masa tahanan menjadi dua tahun dua bulan. MP juga menceritakan bahwa selama masa tahanan mereka dibagi dua kelompok, yakni kelompok yang belum NKRI dan kelompok yang sudah NKRI.
"Selama di dalam, kita banyak mendapatkan sosialisasi dari pihak BNPT dan Idensos yang mengunjungi kami. Kawan-kawan ada yang sudah dikelompokkan NKRI dan ada yang belum sehingga dikunjungi terus untuk mendapatkan sosialisasi antiradikalisme," tambahnya.
Selain enggan menceritakan apa saja peran yang selama ini dilakukannya dalam aksi terorisme di Tanah Air karena tidak mau mengenang masa lalu yang menurutnya kelam, MP pun mengajak masyarakat untuk sama-sama memberantas paham radikalisme. "Karena memang sebenarnya Bang, ilmu itu luas. Yang sempit itu diri kita," katanya.
Pada peringatan HUT ke-77 RI kemarin, MP diundang pemerintah, dalam hal ini Pemko Pekanbaru untuk mengikuti upacara perayaan hari kemerdekaan di Komplek Perkantoran Tenayan Raya. Menurutnya, undangan dimaksud merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. "Ya, ini merupakan suatu kebanggaan bagi kami dan saya pribadi untuk menghadiri upacara kemerdekaan," katanya.
MP menghadiri upacara kemerdekaan tidak seorang diri. Ia bersama 7 eks napiter lainnya yang hadir pada upacara di Komplek Perkantoran Pemko Pekanbaru di Tenayan Raya. Selain 8 orang di Pekanbaru, juga ada 3 eks napiter lainnya yang ikut apel upacara memperingati kemerdekaan di Kota Dumai.
Delapan eks napiter yang ikut apel upacara di Pekanbaru ini ialah RS, MP, RR, RA, AH, MR, OS, dan DR. Mereka dulunya berasal dari empat kelompok radikal yang berada di Provinsi Riau. Ke-11 eks napiter yang diajak apel upacara pada 17 Agustus 2022 ini, terdiri dari beberapa kasus berbeda. Ada yang melakukan penyerangan Mapolda Riau, ada yang terlibat kasus penyerangan Mako Brimob hingga berencana berangkat ke Jakarta untuk ikut terlibat membantu rekan-rekan mereka dalam kerusuhan di Mako Brimob tersebut.
Informasi yang dirangkum Riau Pos, ada empat dari delapan eks napiter yang mengikuti upacara kemerdekaan di Pekanbaru ikut dalam penyerangan di Mako Brimob Kelapa Dua. Di mana empat orang ini mendapatkan informasi dari sosial media bahwa pasukan teroris telah menguasai senjata dan peluru yang berada di Mako Brimob serta meminta bantuan dari kelompok-kelompok lain.
Lalu yang mendapatkan instruksi tersebut berangkat ke Jakarta. Namun pergerakan mereka yang telah tercium oleh petugas langsung dihentikan dan ditahan untuk di sidang dan divonis penjara. Eks Napiter lainnya yang berbincang dengan Riau Pos, adalah AS (32). Ia diamankan terkait penyerangan Mapolda Riau pada Mei 2018.
Menurut AS, dirinya mulai mengenal paham radikalisme sejak 2014. Di mana pada tahun 2013 sudah pernah disampaikan juga kepada dirinya, namun belum nyambung dan belum bisa menerima. Kemudian selang setahun, ia mulai rutin diajak berkumpul bersama lewat kegiatan-kegiatan keagamaan.
"Awalnya niat saya untuk menjadi lebih baik, lalu ikut berjemaah dan kumpul bersama. Sampai akhirnya saya merasa cocok, yang sama-sama mengamalkan sunah dan mulai terbiasa untuk gabung bersama jemaah," kata AS di Pekanbaru.
Seiring berjalan waktu, akhirnya ia diajak pertemuan pengajian yang membahas lebih dalam terkait banyak hal, termasuk paham-paham tentang jihad dan segala macamnya.
"Karena banyaknya ilmu yang diberikan, saya jadi mulai menerima apapun yang disampaikan. Dari pengamalam-pengamalam dasar, hingga masuk ke bab jihad. Di situ mulai dikenali ke thogut dan syariat khilafah secara perlahan," tambah AS.
Setelah masuk ke pengajaran khilafah pula yang mengharuskan mengamalkan syariat dan bukan hukum manusia serta mengingkari hukum yang bukan asal muasal dari tuhan, yang sesuai menurut Alquran dan sunah.
Hingga masuk semakin dalam, diungkapkan AS pada tahun 2015, disampaikan pula dalam jemaah bahwa ada negara yang menegakkan hukum syariah khilafah yakni ISIS. "Sehingga mulai diarahkan ke situ agar berhijrahlah. Namun untuk itu kita harus mempersiapkan fisik dan mental," kisahnya.
Setelah semakin dalam berlatih dan mengikuti jemaah, mulai timbul pertanyaan dalam diri AS. Di mana ia seolah seperti tidak menerima pertolongan dari Aallah dan menemukan jalan buntu. Sehingga hal inilah yang membuat dirinya menolak untuk dibaiat.
Meskipun menolak, namun AS masih berkecimpung dalam kelompoknya. Sehingga pada 2018, saat terjadinya penyerangan Mapolda Riau di Pekanbaru, AS turut diamankan karena menjadi orang yang mendukung segala bentuk radikalisme dan berperan sebagai pelatih para pelaku teror yang menyerang markas kepolisian di ibukota Provinsi Riau tersebut.
"Saya sebenarnya sudah mulai merasakan keraguan di hati, dan masih mengatakan tunggu dulu saat itu. Pasalnya saya belum menemukan hasil akhir yang pas di hati," kata AS yang mengaku tidak ikut dalam penyerangan, namun menjadi pelatih pada empat pelaku aksi yang membawa samurai saat itu.
Lebih lanjut, diungkapkan AS, setelah diamankan dan menjalani masa hukuman di lapas, AS merasa dirinya sadar bahwa yang dilakukan itu salah dan telah membenarkan ilmu yang sebelumnya ia pelajari secara individu tanpa adanya bertanya dan meminta saran dari guru-guru lain.
Dari sana ia mulai membuka diri, mulai berkomunikasi dengan ustaz-ustaz yang paham ilmi fiqih dan lain-lain. "Saya selalu meminta didatangkan ustaz untuk memperbaiki diri karena sebelumnya telah membenarkan ilmu yang telah dipelajari secara individu," beber AS.(egp)
Laporan Bayu Saputra, Pekanbaru