PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Antara benar atau tidak, percaya tidak percaya saat itu ada yang menganonimkan kuliner populer capucino cincau dengan kacau dan beberapa saat kemudian berakhir tragis, menghilang dibawa angin, kacau.
Peristiwa beberapa tahun yang lalu itu, tentu tidak akan lupa bahwa di Pekanbaru pernah ada minuman yang begitu menjadi booming dengan yang minuman capucino cincau yah, karena hampir setiap seratus meter ada saja orang yang berjualan dengan berbagai penampilan bahkan satu penampilan dengan sama produknya.
Setelah bertahun masa itu berjalan, barulah kita dapatkan sebuah teori yang bernama Me Too dan fomo-firsts out missing out. Ini, meski jika dikaitkan pada usaha pariwisata, khususnya kuliner dan menjadi populer adalah satu hal yang sangat diidamkan oleh pemilik usaha, terlebih di zaman digital saat ini, namun selaku pelaku usaha, tentunya perlu banyak pertimbangan, perlu banyak informasi, perlu banyak data-data yang harus ditemukan benang merahnya, mengapa, sebab adanya banjir penawaran usaha itu bukan hanya bisa memberikan dampak positif hingga menjadikannya keberlanjutan, tetapi juga permasalahan dikarenakan mudah didapat sehingga mudah murah dan mudah usang.
Mudah ditiru, mudah usang yang kemudian dengan meledaknya istilah capucino cincau, telah membuat sebagian orang memiliki penglihatan berbeda yang menjadi motif pelaku usaha. Si A mengatakan, berjualan untungnya banyak, modalnya sedikit, kenapa kita tidak buat seperti itu, terlebih di musim panas,…enaknya jualan es capucino cincau, bahannya murah, untungnya banyak, tumbuh bagai jamur di musim hujan, meski ada yang kreatif dengan menambah campuran baru. Tetapi sayangnya, tetap menjadi mudah ditiru hingga tetangga pun meniru ikut jualan.
Peristiwa-peristiwa seperti ini banyak terjadi di dalam bidang usaha, khususnya kuliner, mengapa karena ada anggapan yang berpendapat kuliner akan mendapat untung dua kali lipat, dapat uang dan juga numpang makan.
Penulis pada sisi seperti ini ingin bertukar pikiran sebagai sebuah wacana yang mungkin bisa dipertimbangkan sebagai informasi awal di dalam pengembangan usaha. Penulis sebelumnya juga pernah menulis kasus contoh betapa pentingnya konsep menganekaragamkan dengan diferensi atau beragam jenis dan ragam selera disertifikasi hingga memberi nilai kemanfaatan sebagai rejuvinasi agar konsep dasar usaha tetap mampu mempertahankan pasar di tengah persaingan yang mungkin bisa muncul dari sekitar kita.
Karenanya proses evaluasi hubungan antara pasar dengan kemampuan produk yang ditawarkan penting untuk selalu digali. Melalui tulisan ini penulis bermaksud untuk mengajak dan melakukan beberapa hal.
Pertama perlunya kita selalu menyisakan waktu lebih banyak guna menemukan nilai baru yang mungkin menjadi kebutuhan masa depan di tengah situasi saat itu, upaya ini bisa bersumber dari perkembangan usaha kita, melalui norma sosial budaya di masyarakat tentunya, dan ini pun bisa kita jadikan pasar baru. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya jenis usaha yang bermunculan bahkan dengan cepat untuk ditiru ada di sekitar kita sepertti kepal milo,boba, es corong, teh jumbo, smoothis dan sebagainya, bagaimana ya bisa terjadi.
Kedua, setelah mengetahui bagaimana kita mampu memberikan nilai kepada produk kita, maka yang kedua adalah kita perlu menerjemahkan nilai itu dalam sebuah daya cipta yang lebih konkret. Dalam beberapa literasi, kemajuan digital itu, ternyata berbanding terbalik dengan nilai “kebutuhan” dasar masyarakat.
Semakin banyak informasi di dunia digital maka semakin banyak perilaku sosial baru terjadi, dan ini membutuhkan pandangan akan nilai sosial lama berwajah baru. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh semangat atau bagaimana daya tahan kita menciptakan, mempertahankan kesederhanaan agar kondisi arus kas kita tetap bagus sebagai sebuah pondasi dalam mengembangkan daya cipta.
Ketiga adalah bagaimana kita bukan hanya mampu menciptakan nilai kebutuhan tetapi juga kelangkaan yang mampu mendorong daya cipta agar kita tetap mampu mengembagkan suatu bisnis dengan mengandalkan konsep orizinallitas, dengan demikian sebenarnya maka pesan inti dari sebuah produk adalah yang korelasi positif antara bagian inti dengan apa yang dibutuhkan.
Dalam menyambung konsep seperti ini maka kita harus menemukan atau rajin mencari celah apa yang menjadi objektif dari “komunikasi” yang mau kita berikan kepada masyarakat melalui semngat melayani usaha-usaha. Mengapa ini perlu karena tidak bisa kita pungkiri adalah bahwa manusia itu adalah mahluk emosi yang ingin mudah, padahal ada rahasia dibalik yang sulit.(nto/c)