Laporan LISMAR SUMIRAT, Pekanbaru lismar-sumirat@riaupos.co
Siapa yang tidak tahu lagu Iwak Peyek yang dipopulerkan diberbagai media televisi nasional. Ternyata tidak hanya lagu, bentuk aslinya berupa makanan cemilan itu juga sangat digemari oleh masyarakat Pekanbaru.
Hal itu ditandai dengan ramainya pedagang Iwak Peyek yang berjejer di Jalan Jendral Sudirman. Puluhan pedagang ini berjualan mulai dari depan perkantoran Sudirman Square hingga sampai di depan gedung PGRI Riau.
Pemandanga itu mulai tampak dari pukul 08.30 hingga sampai 17.30 atau menjelang Maghrib setiap harinya.
Bermodalkan sepeda motor dan sepeda, mereka berteduh di bawah rimbun pohon yang ada. Sepeda motor itu disulap menjadi kedai kecil, sebagai penopang kayu-kayu lat yang dibentuk menjadi tempat menyangkutkan bungkusan-bungkusan iwak peyek.
Kayu-kayu lat tersebut dicat sesuai dengan keinginan masing-masing pemilik, ada yang warna oren, kuning, biru yang kemudian diletakkan di bagian belakang.
Iwak Peyek dijual dengan aneka harga tergantung permintaan. Dalam kemasan plastik asoi besar terdapat 2 bungkusan plastik ukuran seperempat kilo dengan harga Rp25.000.
Sedangkan untuk pembeli yang hanya mau membeli satu bungkusan ukuran seperempat, Iwak Peyek dijual seharga Rp15.000. Ada pula sebungkus ukuran plastik setengah kilo yang tersidia dengan harga Rp25.000.
‘’Sebelum ramai saingan, harga sebungkus Rp30.000, tapi karena sekarang hanya dijual dengan harga Rp25.000, karena sudah sangat ramai,’’ kata salah seorang pedagang Puji Haryono (45) kepada Riau Pos, Selasa (14/1).
Diakui Puji, makanan cemilan ini sangat diminati masyarakat Pekanbaru. Usahanya itu tidak hanya dijajakan di Jalan Jenderal Sudirman, tetapi jika hari kerja, ia dan istrinya akan berjualan ke kantor-kantor dinas serta perusahaan yang ada.
‘’Kalau tanggal merah saja, saya berjualan di sini, kalau hari kerja saya mengantarkan pesanan ke kantor-kantor dan perusahaan bersama istri. Karena sudah berjualan lima tahun, jadi banyak langganan yang pesan,’’ kata Puji seraya menambahkan kadang tak sempat berjualan keliling saking banyaknya pesanan yang harus diantar.
Ditanyai mengenai berapa pendapatannya per bulan, Puji hanya tersenyum seraya mengatakan lumayan. Dan dengan usahanya itulah sekarang, ia menghidupi keluarganya bahkan menguliahkan anak tertuanya di kampus Guna Dharma-Jakarta.
‘’Insya-Allah kalau selagi sehat dan kuat menjalankan usaha ini, rezekinya lumayanlah,’’ kata Puji yang mengaku dulunya penjual kosmetik itu.
Menyikapi persaingan pedagang Iwak Peyek yang semakin hari bertambah banyak, bagi Puji itu tak menjadi persoalan. Karena ia percaya dengan rejeki yang diberikan Tuhan kepada umatnya.
‘’Yang penting, kita berusaha dan inilah perjuangan itu. Rejeki sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Ya, tetap jaga hati pelanggan dengan menjaga citarasa Iwak Peyek buatan kita,’’ ucap Puji yang kemudian terhenti karena harus melayani beberapa pembeli.
Pedagang lainnya Budhe (55) berjualan dengan menggunakan sepeda. Ramainya pedagang berjualan di Jalan Jenderal Sudirman ini juga tidak melemahkan semangatnya.
Perempuan paruh baya itu, tetap yakin dengan ketetapan rejeki yang dijanjikan Allah. Apalagi menurutnya, dialah yang dulu pertama berjualan di sana (Jalan Jenderal Sudirman,red).
‘’Yang lainkan cuma ngikut-ngikut dalam setahun belakangan ini,’’ ucap Budhe yang mengaku sudah 3 tahun berjualan Iwak Peyek di Jalan Jenderal Sudirman tersebut.
Seperti halnya Puji, Budhe juga mengatakan pendapatannya lumayan untuk menopang kehidupan keluarga. Dari hasil penjulannya itulah, dia mampu membeli keperluan dan kebutuhan rumah tangga meskipun suaminya sudah tidak bekerja lagi karena faktor usia.
‘’Anak saya dua orang, mereka setamat sekolah, tak kuliah lagi karena tak cukup biaya, jadi saya suruh mereka berjualan Iwak Peyek juga,’’ katanya lagi.
‘’Jualan di sini, harus hati-hati juga karena, kalau lewat keamanan, bisa kena tangkap,’’ jawabnya.
Ketika ditanya pernah tidak dilarang berjualan oleh pemerintah, Budhe juga menambahkan sebenarnya dia dan kawan-kawan cuma mencari rejeki. Lagipula menurutnya, berjualan di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman itu mereka tak membuat kotor dan menganggu ketertiban.
‘’Jalan pun kan tak sampai macet dikarenakan dagangan kami ini. Tapi kalau ada razia, saya cepat-cepat kayuh sepeda lari menyelamatkan diri kalau tak lari, semua dagangan kena bawa ke kantor, memang dikembalikan, tapi malu juga mau jemputnya di kantor,’’ ceritanya.(*6)