(RIAUPOS.CO) - Puluhan orang yang tergabung dalam komunitas pecinta burung di Riau, melakukan aksi demo di Kantor Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Selasa (14/8). Mereka menolak kebijakan pemerintah yang menetapkan beberapa jenis burung sebagai satwa dilindungi.
Kebijakan pemerintah yang menetapkan beberapa jenis burung sebagai satwa dilindungi, tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Dalam peraturan menteri tersebut, ada tiga jenis burung yang kini tergolong sebagai satwa dilindungi. Antara lain, murai batu, cucak rawa dan anis merah. Atas dasar tersebut, mereka mendesak agar KLHK mencabut peraturan menteri itu.
Sekitar 50 massa itu, tergabung dalam komunitas Kicau Mania Riau, Komunitas Murai Batu Riau, Radjawali DPD Riau, dan Komunitas Pedagang Pasar Burung Palapa.
Joko Prayitno selaku koordinator aksi mengatakan, terbitnya peraturan menteri tersebut, dinilainya telah merugikan banyak pihak. Bukan hanya pemelihara burung, tetapi pedagang serta peternak burung.
“Ini merugikan kami. Sebab, burung ini bukan hanya sekadar hobi, melainkan banyak orang yang menggantungkan hidup di sini. Seperti pedagang di pasar burung, penjual pakan, dan pembuat kandang,” ujar Joko, usai aksi.
Jika diadakan iven kicau burung kata dia, juga akan menghidupkan perekonomian masyarakat. Seperti dengan diadakan iven nasional di Riau, maka banyak orang luar yang berkunjung. Kunjungan tersebut tidak hanya menghadiri perlombaan, tapi juga berwisata di Riau. “Tentu ini menguntungkan untuk pemerintah daerah,” ujarnya.
Saat ini kata dia, ada sekitar 8.000 lebih pecinta burung di Riau. Yakni pedagang burung di pasar ada sebanyak 3.000 lebih, pemelihara burung yang tergabung dalam grup media sosial Kicau Mania sekitar 5.000 dan peternak 400 lebih.
“Masih banyak lagi pecinta burung yang belum terdata. Artinya, animo masyarakat sebagai pecinta burung masih tinggi di Riau,” ujarnya.
Oleh karena itu, pihaknya menuntut agar Menteri LHK untuk mencabut peraturan menteri tersebut. Kalaupun tak dicabut, setidaknya kata dia, peraturan menteri tersebut dapat berpihak kepada para pecinta burung.
“Kami minta tidak ada pembatasan dalam peternakan burung. Harus memiliki izin boleh, tapi jangan ada biaya yang diberatkan. Pendataan juga boleh, tapi harus secara keseluruhan,” ujarnya mencontohkan.
Dia juga menyebut, alasan Menteri LHK menetapkan tiga jenis burung tersebut sebagai satwa dilindungi karena upaya pelestarian, dinilainya alasan tersebut tidak tepat. Sebab, pihaknya sangat berperan dalam pelestarian burung.
“Sebenarnya kami juga sudah membuat penangkaran burung. Burung yang bukan endemik Indonesia, juga sudah bisa kita tangkarkan di sini. Seperti Kendari. Murai batu juga sudah ada penangkarannya,” ujarnya.
“Kalau kementerian lihat ke bawah, sebenarnya kami inilah yang melestarikan burung,” sambung pria yang juga Ketua Pelestari Kicau Sumatera Independen.
Jefri, salah seorang pedagang burung mengatakan, jika peraturan menteri LHK ini diterapkan, maka dikhawatirkan hilangnya mata pencarian ribuan pegadang burung. “Entah apa yang akan terjadi nanti. Pasar Burung Palapa satu-satunya pasar burung di Pekanbaru akan tutup,” ujar dia.
Aksi mereka disambut oleh Kepala Bagian Tata Usaha BBKSDA Riau, Hartono. Terkait dengan aksi tersebut katanya, akan diteruskannya ke pusat. “Dari regulasi yang ada, pusat menentukan. Kami akan sampaikan itu,” ujarnya.
Dia juga mengucapkan terima kasih terhadap massa yang melakukan aksi. Sebab katanya, tuntutan tersebut menjadi masukan baginya. “Ini sebagai bahan masukan dari kami,” katanya.
Hartono menjelaskan, peraturan menteri tersebut, sudah disahkan. Ada tiga jenis burung yang ditetapkan sebagai satwa dilindungi. Antara lain, murai batu, cucak rawa dan anis merah.
Terkait dengan peraturan menteri tersebut kata dia, pihaknya akan bekerja sama dengan komunitas untuk mendata para pecinta burung di Riau. “Dari data itu, kami akan jadikan database kami pada saat pengajuan perizinan,” sebutnya.(yls)