DARI PELUNCURAN BUKU OMBAK SEKANAK DAN ROSE

Dulu Gelisah, Kini tak Pernah Menyerah

Pekanbaru | Minggu, 13 Oktober 2013 - 10:58 WIB

Dulu Gelisah, Kini tak Pernah Menyerah
Rida K Liamsi foto bersama tamu undangan usai peluncuran buku Ombak Sekanak dan Rose, di Hotel Arya Duta, Pekanbaru, Sabtu (12/10/2013).Foto: DIDIK HERWANTO/RIAU POS

Dua helai kain biru, dimainkan empat gadis, terus diayun-ayun. Sinaran lampu temaram dari sudut kanan kiri panggung, semakin menegaskan, itulah gelombang laut. Ya, gelombang ombak laut Sekanak di Kampung Bakong, kampung kecil kelahiran Rida K Liamsi di Dabok Singkep, Kepulauan Riau.

Laporan KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

PANGGUNG berukuran 12x6 meter di Ball Room Hotel Aryaduta yang menjadi panggung utama peluncuran Buku Ombak Sekanak (sebuah memoar) dan Rose (kumpulan puisi), Sabtu (12/10), berubah menjadi Kampung Bakong dan berbagai lokasi tempat Rida kecil menjalani hidupnya.

Sosok Rida yang diperankan Jefry Almalay, terus mengisahkan perjalanan hidupnya. Sebuah mesin ketik tua terus berbunyi disudut kiri panggung. Itulah gambaran Rida yang terus mencatat, menulis dan menulis kisah hidupnya dan sajak-sajaknya.

Rida (Jefry), terus mengisahkan kehidupan masa kecilnya yang susah. Saat sekolah dengan sepatu koyak, Rida (diperankan Erik) hanya memiliki satu sepatu, berbau busuk. Sepatu itulah yang diganti dengan sepatu baru oleh gurunya, Gultom. Kisah itu, diceritakan dan  divisualkan dengan nyata. Perjalanan hidup yang susah menjadi klasi kapal juga dikisahkan sedemikian rupa. Lima pria terlihat lalu lalang di atas panggung dengan memikul goni di punggung. Itu gambaran Rida saat kerja sebagai klasi kapal.

Perjalanan hidup sebagai klasi kapal bukanlah berada di satu pulau saja, tapi dari pulau ke pulau. Bertahun lamanya. Hidup susah sebagai klasi kapal dituturkan jelas oleh Rida (Jefry). Sakit badan, tangan lecet, punggung mengelupas dan masih banyak lainnya, terungkap jelas. Gesekaan suara biola yang mengalun syahdu, menambah suasana haru semakin haru. Kisah demi kisah diceritakan dengan jelas. Bahkan saat menjadi guru dan hendak menikahi calon istri tercinta, Asmini Syukur. Rida terpaksa meminjam cincin milik makciknya untuk meminang sang calon istri.

Perjalanan menjadi seorang wartawan dan sampai akhirnya menjadi pengusaha media besar, juga terpapar. Puluhan spanduk kecil yang dibawa puluhan penari, berlalu lalang di atas panggung. Itulah simbol Rida masa kini yang sukses dengan usahanya; sosok pria yang taak pernah kenal kata menyerah.

Rida K Liamsi sesungguhnya,  duduk di bagian paling depan dari panggung. Rida duduk bersama Menteri BUMN Dahlan Iskan, tokoh masyarakat Riau Saleh Djasit dan masih banyak lainnya. Sesekali  Rida yang terlihat dari dua layar di kanan kiri panggung, terlihat tersenyum, mengangguk dan tercenung panjang.     Puluhan spanduk bertuliskan berbagai media itu menjadi pertanda peluncuran buku Ombak Sekanak. Kemudian dilanjutkan pembacaan puisi Rose yang menjadi pertanda peluncuran Buku Rose.

Persembahan teater, monolog, tari dan musik dengan durasi sekitar satu jam itu dibidani Marhalim Zaini sebagai Sutradara, Syafmanefi Alamanda sebagai penata gerak (koreografer), Arman sebagai komposer dan Alyusra sebagai penata multi media. Pastilah, kisah-kisah yang terlihat hanya sebagian besar dari beratus kisah yang tertulis dalam 300 lebih halaman yang ada dalam Buku Ombak Sekanak.

Ratusan penonton semakin tak beranjak dari ruangan Ball Room Aryaduta saat Murparsaulian, Cornelia Agata dan Sutardji membacakan puisi dengan gaya mereka masing-masing. Cornelia membacakan dua puisi Rose berujung lagu, sedangkan Sutardji membacakan dua puisi dengan terus dilagukan. Sorak sorai penonton terus bergemuruh hingga puisi berjudul Tempuling dibacakan Rida dengan iringan biola yang mendayu.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook