ALENIA - AH SUSANTO

Perlunya Penjaga Gawang Sastra Digital

Pekanbaru | Minggu, 13 Mei 2018 - 12:36 WIB

Perlunya Penjaga Gawang Sastra Digital
AH Susanto

DI era global seperti sekarang, media digital sangat berperan terhadap gerak langkah kehidupan masyarakat modern. Ini tidak lepas dari pengaruh semakin canggih dan mudahnya peralatan telepon pintar (smartphone), penghadir media digital itu untuk membentangkan dunia di atas tangan.  Menjamurnya aplikasi-aplikasi yang tinggal unduh dan pasang dalam smartphone  membuat masyarakat ingin lebih dekat untuk mencumbu dan menggeluti media digital dibanding dengan media cetak.  Pemburu informasi rela menghabiskan waktu dengan berlama-lama memegang gawai (gadget) karena ingin mendapatkan informasi secara cepat dan gratis. Di sisi lain, segala bentuk informasi produk cetak terbatas oleh proses produktif yang cenderung memakan waktu dan biaya. Tidak heran kalau masyarakat, pelan tetapi pasti, membuka mata pada media digital.  

Terbukti, Survei Nielsen Consumer & Media View hingga triwulan ketiga 2017 menyatakan bahwa kebiasaan membaca orang Indonesia telah mengalami pergeseran. Pada 2017, tingkat pembelian koran secara personal hanya sebesar 20%, menurun dibandingkan 2013 yang mencapai 28%. Peranan media digital dalam menggeser keberadaan media cetak cukup signifikan. Penetrasi media digital hingga 11% dengan jumlah pembaca 6 juta orang pada tahun ini. Jauh lebih banyak dibanding pembaca media cetak sebanyak 4,5 juta orang. Padahal, jumlah pembaca media cetak pada 2013 bisa mencapai 9,5 juta orang. Sementara, jumlah pembaca media cetak sekaligus digital hanya 1,1 juta orang.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Masyarakat yang membaca media cetak pun didominasi oleh orang-orang berusia 20-49 tahun dengan porsi sebanyak 73%. Hanya 10% anak muda berusia 10-19 tahun yang mengakses media cetak sebagai sumber informasinya. Artinya, media digital akan lebih mendapat hati untuk masyarakat generasi Z (10-19 tahun) di masa mendatang. Dengan demikian, media cetak harus mem-backup dirinya dengan media digital supaya pangsa pasar yang mulai beralih ke digital tetap loyal dengan media kesayangannya.

Kemudian, apa pengaruh kondisi ini terhadap perkembangan dunia sastra? Lepas ada tidaknya kolom sastra dalam media digital, sastra mempunyai perjalanan perkembangan sendiri di dunia digital. Istilah sastra digital berkembang seiring dengan perkembangan dunia digital itu sendiri. Mulai dari awal proses munculnya media ini, sastra lahir dan dipublikasikan tidak terbatas di halaman-halaman digital karena mereka lebih bebas memublikasikannya melalui blog pribadi, web, atau media sosial. Kemudahan ini menyebabkan banyak karya yang dihasilkan pengarang kemudian dipublikasikan secara latah di internet. Tentu dapat diprediksikan berikutnya, karya yang dihasilkan berasal dari pengarang yang berlatar belakang beraneka ragam. Bisa dari seorang yang benar-benar sastrawan dan bisa juga lahir dari seorang penulis yang secara dadakan sekadar sebagai curahan hati untuk memenuhi hasrat dikenal.

Hasilnya, lima tahun terakhir, pemublikasian sastra digital Indonesia mengalami eskalasi yang luar biasa melalui pemanfaatan secara intensif situs-situs jejaring sosial, dimulai dari perkembangan awal jejaring sosial seperti Friendster kemudian disusul Facebook, baik melalui notes maupun grup-grup yang dibentuk dengan tendensi memublikasikan karya sastra secara cepat, informal, tanpa harus mengalami proses ritual filterisasi dari redaksi atau editor. Yang penting karyanya dapat dinikmati pembaca dari kalangan sosial yang memiliki minat yang sama atau berasal dari latar belakang sosial yang berbeda. Efeknya, banyak sastra yang mentah, prematur, dan instan (kalau tidak dikatakan asal jadi). Hal ini muncul dikarenakan tuntutan kepentingan-kepentingan yang pragmatis di lingkungan kita yang akhirnya menelurkan budaya instan (cepat saji) dalam melahirkan karya.

Meskipun  tidak menutup mata, banyak juga karya yang lahir dari proses kreatif yang mendalam dan matang. Kemudahan proses pemublikasian secara digital juga memengaruhi pengarang-pengarang lama yang biasa berkarya di ranah media cetak terprovokasi untuk masuk meramaikan dunia daring ini. Mereka berkompetisi dengan pengarang-pengarang yang tidak terdeteksi latar belakangnya, entah itu berasal dari pengarang yang loyal terhadap sastra atau “pujangga baru” yang muncul secara melankolis karena jatuh cinta.

Dengan beraneka ragamnya partisipan di dalam sastra digital ini semakin melengkapi heterogitas karya sehingga warna karya digital semakin menarik. Banyak bentuk karya kreatif baru yang tidak kalah menariknya dari karya sebelumnya turut meramaikan jagad sastra, seperti pentigraf, penagraf, haiku, cerpen duet, dsb.

Indikator ini sebenarnya bisa menjadi barometer bagi media digital untuk turut berperan dalam mengarahkan supaya sastra digital tidak menjadi karya sastra yang  tidak terseleksi, liar tanpa batas, dan cenderung bersifat instan. Media digital sebagai salah satu bagian corong informasi ke publik, masih belum banyak yang menempatkan kolom sastra di halaman-halaman web-nya. Saat ini mereka masih fokus mengejar rating melalui berita-berita yang sifatnya sensasional yang di-like oleh warganet serta di-sharing sebanyak-banyaknya ke media-media sosial. Seharusnya, sebagai salah satu pemegang tanggung jawab moral untuk perkembangan sastra, dari awal sudah sadar dan bangun dengan menempatkan sastra secara serius di salah satu kolomnya.

Tidak dipungkiri, banyaknya rating pembaca sangat berpengaruh terhadap hidup matinya media digital, karena di situ juga banyak tidaknya iklan sebagai nafas kehidupan media itu sendiri ditentukan. Dan, sastra belum menjadi kue yang cukup  menarik selera untuk dinikmati sehingga benar-benar mampu mendongkrak banyaknya kuantitas pembaca. Hal ini yang menjadi alasan klise dari setiap terbitan, karena segmen pasar sastra digital yang loyal memang tidak banyak. Namun, ketidakberaturan karya sastra digital sudah perlu “penjaga gawang” yang selalu mengontrol, dengan menjadi kurator dan editor untuk tetap mempertahankan kualitas terbitan selayaknya sebuah karya yang matang dan berbobot.

Di sinilah peran media formal, dalam hal ini media digital, benar-benar dibutuhkan. Jangan sampai Generasi Z  yang begitu lekat dengan gawai di tangan tidak mengenal lagi sastra yang berbobot. Mereka justru lebih mengenal sastra yang ringan, populis, tanpa perenungan yang mendalam. Meminjam istilah Prof. Budi Darma, karya sastra yang sekedar menghasilkan sampah siap dibuang. Semoga ke depan semakin banyak media digital menampung karya sastra yang berkualitas dengan memberikan kolom-kolom khusus sastra.***

AH Susanto, Penggiat Sastra, tinggal di Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook