NASIB PENDATANG KORBAN LETUSAN GUNUNG MERAPI JOGJAKARTA

Membeli Beras dengan Gelas Minuman Bekas

Pekanbaru | Senin, 13 Mei 2013 - 10:58 WIB

Membeli Beras dengan Gelas Minuman Bekas
Suminah (38) menggendong anaknya Rafi (2) sambil menenteng goni berisi gelas minuman bekas di kawasan Car Free Day, Ahad (12/5/2013). Foto: teguh prihatna/riau pos

Laporan Kunni Masrohanti Pekanbaru

Namanya Suminah. Umurnya baru 38 tahun. Tapi, jika dilihat dari wajahnya, usianya sudah lebih 45 tahun. Dia pendatang asal, Jogjakarta. Baru enam bulan tinggal di Pekanbaru.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Tidak ada pekerjaan yang tepat, Suminah pun memilih jadi pemulung, mengumpulkan bekas minuman gelas dan menukarnya dengan beras.

Hari menjelang siang. Jalan Diponegoro atau kawasan Car Free Day, Ahad (12/5), disesaki ribuan orang. Mereka adalah orang-orang yang memanfaatkan fasilitas umum ini untuk berbagai aktivitas olahraga, berkesenian, menyosialisasikan berbagai kegiatan baik pribadi mau pun kelompok, hingga melaksanakan iven besar. Suminah, merupakan salah satu dari ribuan orang yang sedang beraktivitas itu.

Suminah perempuan berjilbab. Memakai baju dan celana panjang. Sandal jepit warna merah yang dipakainya mulai berubah warna cokelat. Tipis dan kendor.

Rafi (2) anak semata wayangnya, tenang dalam gendongan. Ya, gendongan dari bekas sepanduk yang lumayan panjang. Sedikit koyak di bagian tengahnya.

Di sudutnya, masih ada sedikit sisa tali plastik. Pastilah sisa tali setelah dipasang di pagar atau tiang oleh pemiliknya. Sesekali, Suminah terlihat menarik nafas panjang dan membetulkan gendongannya.

‘’Permisi ya, Bu. Saya mau ambil gelas minuman bekasnya,’’ kata Suminah saat masuk ke lokasi ‘Kejutan Beruntung Frisian Flag Riau Pos. Tanpa canggung Suminah mengambil beberapa gelas minuman bekas di aspal dan rumput lalu memasukkan ke dalam goni yang ditentengnya.

Goni dan gelas minuman bekas itulah kehidupan Suminah saat ini. Sejak rumahnya di Desa Cangkringan, Kabupaten Sleman, hancur digempur letusan Gunung Merapi akhir 2010, Suminah dan suaminya hidup menumpang di rumah saudara.

Bulan demi bulan, tahun demi tahun, tidak ada pekerjaan pasti. Sawah ladang tak ada lagi. Suminah akhirnya memilih merantau ke Riau.

Suaminya tidak memiliki keahlian. Buruh bangunan menjadi pekerjaan pilihan. Bukan tukang, tapi hanya buruh pembantu. Gajinya masih jauh dari cukup. Itu pun diterima dua pekan sekali.

Dalam waktu dua pekan itu, kerap kali dapur Suminah tidak berasap. Belum lagi sewa rumah Rp150 ribu per bulan yang harus dibayar.

Suminah bersama suami dan anaknya tinggal di rumah petak Jalan Pepaya, Gang Buntu, Kecamatan Sukajadi, tidak jauh dari Jalan Ahmad Yani. Rumah itu hanya memiliki satu kamar saja.

Di sinilah Suminah tidur, memasak dan meletakkan barang-barang lainnya. Sedangkan kamar mandi, berada di luar rumah bergabung dengan penghuni dua rumah petak lainnya.

Gelas minuman bekas yang sudah dikumpulkan, kemudian dijual Suminah kepada penampung dengan harga Rp1.500 per kilogram.

Dalam sehari, Suminah hanya bisa mengumpulkan maksimal 3 kilogram saja. Uang hasil penjualan, kerap kali tidak langsung diambil. Suminah memilih menukarnya dengan beras setelah tiga atau empat hari kemudian.

‘’Mau kerja lain tidak bisa. Anak saya masih kecil. Mau mencari bekas minuman gelas sampai sore, tak bisa juga. Panas. Kasihan Rafi,’’ katanya lirih.

‘’Ini bu, sedikit uang untuk anak ibu,’’ tiba-tiba seorang lelaki yang lewat di depan Suminah dan Riau Pos memberikan uang Rp20 ribu dan langsung berlalu pergi. Entah siapa lelaki itu, yang jelas dia mendengarkan cerita Suminah.

‘’Waduh, Mas. Sampean baik sekali. Terimakasih, Mas. Terimakasih ya, Mas,’’ jawab Suminah setengah mengejar lelaki itu. Wajahnya yang semula lesu, tiba-tiba berubah ceria. Bahkan lembaran uang Rp20 ribu itu diciuminya berkali-kali sambil tersenyum gembira.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook