PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Proyek galian Sistem Pembuangan Air Limbah Domestik (SPALD) yang telah berlangsung sejak 2019, hingga kini masih menjadi cecaran masyarakat. Pasalnya, sejak proyek berlangsung, belum ada tanda-tanda pengaspalan.
Lebih pada itu, jika hujan tiba, di daerah SPALD akan digenangi air. Belum lagi galian yang tak merata itu membuat adanya goncangan atau getaran pada kendaraan. Sehingga dapat jadi ancaman bagi keselamatan seperti tergelincir.
Menanggapi hal itu, pengamat perkotaan Mardianto Manan menyebutkan bahwa SPALD pembangunan gagal. "Artinya, pembangunan diciptakan untuk merubah, membangun, membuat dari yang buruk menjadi bagus. Berarti untuk membuat kota lebih baik dan lancar," sebutnya, Senin (10/2).
Katanya, jika didapati pembangunan yang merusak dan menghancurkan ataupun dapat membuat masyarakat tergelincir karena proyek itu, maka pembangunan belum tersentuh. "Maksudnya adalah jika SPALD itu membuat jalan licin, menggangu lalu lintas, maka secara hakiki SPALD itu dalam kontek pembangunan gagal. Jadinya perusakan jalan itu bangun SPALD," tukasnya.
Idealnya, Manan sapaan akrabnya melanjutkan, jika orang menggali jalan, maka minimal harus dikembalikan seperti dulu. "Jika tidak dikembalikan seperti semula, maka lebih baik lagi, barulah disebut membangun," tegasnya.
Namun, fakta di lapangan setelah membangun SPALD, jalannya hancur, becek dan rusak. Parahnya, pengendara seperti terlompat-lompat saat melintas. "Tandanya ada kegagalan dalam teori pembangunan itu. Ndak tersentuh tujuan akhir pembangunan itu," ucapnya.
Saat ditanya perihal berapa lama pembaruan jalan? Manan mengungkapkan, dalam teori ada namanya APBD. Di ujung APBD itu terdapat tahun anggaran yaitu APBD 2019.
"APBD 2019 dimulai dari Januari sampai Desember. Sekarang sudah 2020. Artinya sudah tertutup serah terimanya. Per 20 Desember selesai semua kegiatan, dipertanggungjawaban. Kalau tidak selesai didenda. Kalau tak selesai tak perlu dibayar, kalau tak selesai bila perlu disanksi atau diputus hubungannya," ujarnya.
Diutarakannya, jika anggaran itu 2019, harusnya tahun ini sudah rampung dengan segala apapun alasannya. Jika tidak terselesaikan secara tujuannya, Manan menyebutkan harus mengejarnya.
"Harusnya kan selesai 100 persen, dia baru selesai 80 persen. Sehingga 20 persen yang belum selesai dikembalikan lagi kepada negara jangan diserahkan ke dia (perusahaan SPALD). Pertanyaannya apakah, 20 itu tidak selesai dikembalikan ke negara atau dibayarkan 100 persen tapi pekerjaan ndak selesai? Itu perlunya BPK, konsultan pengawas dan instansi lain," ujarnya.
Dengan demikian, yang bekerja membangun SPALD itu kontraktor. Di sisi kontraktor terdapat konsultan pengawas. "Uang akan bisa dicairkan (estimasi, red) itu dinilai dari konsultan pengawas, mereka digaji juga. Menyusul dari uang untuk anggaran SPALD tadi. Jadi pembangun SPALD itu ada dua yang satu kontraktor sebagai pembangun dan konsultan pengawas yang mengawasi," ulasnya.
Maka dari itu, kontraktor lebih besar gajinya sementara konsultan pengawas 20 persen dari 20 persen nilai kontrak yang dibayar oleh SPALD. Nanti untuk menilai uang dicairkan 100 persen sudah selesai, yang mengawas itu konsultan. Ada data penilaiannya.
"Diteken oleh pengawas, diajukan oleh kontraktor, ditandatangani oleh kepala dinas dan dicairkan oleh keuangan. Lalu kalau sudah cair, tetap konsultan pengawas yang pegang. Itu serangkai semuanya. Jika fakta di lapangan sudah dibayar 100 persen, lalu tidak selesai, maka kesalahannya ada pada mereka," ungkapnya.
Mereka itu kata Manan, pertama kontraktor melakukan pemalsuan. Lalu pengawas meneken yang salah. Dan kepala dinas bersekongkol dengannya. "Jangan-jangan, jangan-jangan. Nah itu dia," tutupnya.(ade)
Laporan: SOFIAH