Laporan KUNNI MASROHANTI, Pekanbaru kunnimasrohanti@riaupos.co
Saat yang lain baru saja berjuang menyelesaikan jenjang Sekolah Dasar (SD) dengan mengikuti Ujian Nasional (UN), Mamat (11), sibuk dengan benang dan jarum sol sepatunya. Karena persoalan keluarga, Mamat berhenti sekolah.
Kini, selain bekerja sebagai tukang sol sepatu, Mamat juga ‘’dinas’ menjaga kedua adiknya.
Persis di simpang Jalan Durian-Palapa, Kelurahan Labuhbaru Timur, Mamat yang memiliki nama lengkap Ahmad Muhammad, menjalani pekerjaannya sebagai tukang sol sepatu.
Dia membantu bapaknya, Dasmuleri (49). Dengan bermodalkan lapak terbuat dari kayu berukuran 1x1 meter, anak beranak ini mencari keberuntungan rezeki setiap hari.
Hasilnya tidak pasti. Kadang Rp5 ribu, kadang Rp10 ribu, kadang Rp30 ribu, kadang tidak sama sekali. Rata-rata penghasilan setiap bulannya sekitar Rp800 ribu.
Saat Riau Pos menyambangi lapak tersebut, Rabu siang (8/5), Mamat sedang sibuk mengesol sepatu. Besar. Pastinya milik orang dewasa. Dia memasukkan tali, menarik dan mengikatnya tanpa canggung. Geraknya cepat. Lincah. Sepatu itu pun selesai dijahit dalam hitungan 7 menit saja.
‘’Sudah biasa bekerja seperti ini, Bu,’’ Mamat mengawali ceritanya. Mamat tidak hanya dengan bapaknya. Ada adiknya Rita Wahyuni (8) dan Cika (4).
Bapak Mamat sendiri sudah memulai pekerjaan sebagai tukang sol sepatu sejak 30 tahun silam. Bahkan, pekerjaan sebagai tukang sol sepatu tertulis jelas dalam KTP yang ditunjukkan bapak Mamat kepada Riau Pos.
Lapak tempat Mamat mengesol sepatu merupakan warisan dari neneknya. Sedangkan ibunya, tinggal di Kerinci, Kabupaten Pelalawan bersama kakaknya setelah resmi bercerai dengan bapaknya setahun silam.Sambil mengesol sepatu, kerap kali Mamat memanggil adiknya dan mengingatkan untuk tidak bermain jauh-jauh.
Ya, Mamat memang tidak hanya membantu bapaknya untuk menghidupi dirinya dan kedua adiknya, tapi juga membantu menjaga kedua adiknya supaya ayahnya lebih leluasa bekerja.
Siang kian terik. Aktivitas di jalan sekitar lapak Mamat juga semakin ramai. Anak-anak SD yang baru selesai mengikuti UN hari ketiga kemarin, juga sudah mulai pulang. Sebagian mereka berjalan kaki, berlalu di depan Mamat. Sekali-kali Mamat memperhatikan anak-anak itu.
‘’Pak, Mamat mau sekolah lagi. Seperti mereka (anak-anak SD, red) itu, Pak,’’ kata Mamat kepada ayahnya sambil terus memperhatikan anak-anak itu. Tanpa beban, kata-kata itu mengalir begitu saja dari mulutnya. Bapaknya tidak menanggapi serius. Tangannya terus mengesol sepatu. Bahkan tidak menoleh ke arah Mamat atau anak-anak SD itu.
‘’Ya, nantilah,’’ kata ayah Mamat singkat.
Sudah hampir setahun Mamat meninggalkan ruang Kelas II, SDN 018, Jalan Tanjung Datuk, Kelurahan Rintis, Kecamatan Limapuluh, tempatnya menuntut ilmu. Hal itu terjadi ketika orang tuanya resmi bercerai. Mamat sempat tinggal bersama ibunya di Kerinci, tapi akhirnya ikut bapaknya tinggal di Pekanbaru bersama kedua adiknya.
‘’Walau pun uang pas-pasan, bahkan kurang, saya masih sangguplah menyekolahkan Mamat.
Tapi masalahnya tidak hanya itu, adiknya tidak ada yang menjaga,’’ kata bapak Mamat. Bersama ayah dan kedua adiknya, Mamat tinggal di rumah kontrakan, Jalan Yos Sudarso Gang Payau, RT 05 RW 12, Kelurahan Meranti Pandak, Rumbai Pesisir. Rumah papan sederhana. Ukurannya 4x7 meter.
Di sanalah semua aktivitas seluruh keluarga ini berjalan. Sewanya Rp250 ribu per bulan. Gajinya yang hanya sekitar Rp800 ribu itu, masih bersisa Rp550 ribu. Semua kebutuhan hidup bertumpu di sini.
Mendengar perkataan ayahnya, wajah Mamat yang terlihat serius bekerja, langsung berubah ceria. Dengan bangga dia kembali berkata, ‘’Kalau begitu, Mamat boleh sekolah lagi, ya. Pak, Mamat sekolah lagi, ya.’’
‘’Ya, kita lihat nantilah,’’ jawab bapak Mamat. Lagi-lagi bapaknya kurang merespon dengan sungguh-sungguh. Mamat pun langsung tertunduk. Tak ada lagi keceriaan di wajahnya.
Hidup dalam serba kekurangan; ekonomi, perhatian dan kasih sayang seorang ibu, seolah membuat Mamat semakin jauh dari mimpinya, yakni sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi, Mamat masih punya cita-cita. Bukan jadi tukang sol sepatu, melainkan bekerja di bengkel otomotif.***