Laporan Lismar Sumirat, Pekanbaru lismar_sumirat@riaupos.co
Sejumlah lokasi di Jalan Jenderal Sudirman Pekanbaru diramaikan dengan aktivitas jualan berbagai aneka produk makanan. Salah satunya adalah makanan khas, Lemang.
Matahari sedang terik-teriknya, letaknya seperti tidak jauh dari ubun-ubun, namun Nemi tengah duduk dengan takzim menunggui lemang dagangannya.
Sesekali ia berdiri dan melambai-lambaikan tangan memanggil pengendara motor atau mobil yang lewat disamping tempat duduknya. Beruntung tempat ia menunggui dagangannya yang berupa lemang dan tapai terletak dibawah rerimbunan dahan pohon peneduh ditepi jalan.
Lemang, merupakan makanan khas yang terbuat dari ketan putih dicampur dengan santan, sementara tapainya terbuat dari ketan hitam yang dimasak melalui teknik peram selama beberapa waktu.
Lemang yang di tawarkan kepada pengendara motor dan mobil ini dikemas dengan rapi dengan dimasukkan dalam bambu yang berukuran tiga jengkal, lalu dibalut dengan kertas koran, untuk mengencangkannya diikatkanlah karet gelang pada ujung-ujung tabung bambu tersebut.
Cara memasaknya yang dibakar dan bukan dikukus membuat makanan ini bisa bisa bertahan selama tiga hari tanpa basi.
Kedua jenis makanan tersebut menjadi andalan Nemi dan belasan penjaja lainnya di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman arah dari Jalan Nangka hingga jembatan layang Harapanraya. Belasan penjaja tersebut rata-rata adalah perempuan paruh baya berjajar dan hanya berjarak empat meter satu sama lain.
Meski persaingan terjadi sangat nyata namun Nemi sudah 10 tahun tidak beralih ke dagangan lain selain lemang dan tapai.
“Lemang dan tapainya yang buat orang tua saya, kami jualan sudah lama sudah cocok dan enak saja jualan lemang ini,” tutur Nemi yang pernah menjanda sebelum menikah lagi ini, Rabu (8/1) kepada Riau Pos.
Hal serupa juga terlontar dari mulut Evi, perempuan paruh baya dengan 3 orang anak ini juga sudah lebih dari 10 tahun berjualan di tepian Jalan Jenderal Sudirman tersebut.
Meski tinggal jauh di Kubang setiap hari ia selalu ke Sudirman dan menjajakan lemang. Jika Nemi menjual lemang milik orang tuanya, Evi mengaku menjualkan milik orang lain.
“Setiap pagi menjemput lemangnya di Jalan Letkol Hasan Basri, disana ada yang memasak dan mengemas lemangnya, saya tinggal menjualkan saja,” ujar Evi.
Menurut Evi, lemang yang dijajakannya ditawarkan kepada calon pembeli dengan harga Rp30 ribu perbatang.
Sementara ia mengambil lemang dari pemiliknya seharga Rp20 ribu, kadang lemang dagangannya ini ditawar oleh pembeli dengan separuh harga, ia biasa melepas jika harga yang ditawar mencapai Rp25 ribu.
“Untuk satu batang lemang, untungnya sangat kecil, makanya kami juga memperbolehkan pembeli yang hanya membeli setengah batang saja,” kata Evi.
Evi, Nemi dan belasan pedagan lemang lainnya biasanya memulai aktivitas pada saat hari beranjak siang. Nemi karena rumahnya tidak jauh dari jalan Sudirman biasa mengawali aktivitasnya pada pukul 13.00 Wib.
Nemi juga sempat mengeluh jualan lemang pada saat-saat seperti ini sepi konsumen.
Apalagi ketika musim durian sudah mulai berakhir, tidak banyak lagi pengendara mobil atau sepeda motor yang mampir membeli dagangannya.
“Sekarang ini sepi, sampai sore hampir pukul 15.00 begini belum ada yang laku,” keluh Nemi.
Nasib Evi juga tidak jauh berbeda dengan Nemi, sampai matahri sudah agak bergeser ke arah barat, dagangannya juga baru laku setengah batang.
Jika dagangannya tidak laku, Evi mengaku harus mengembalikan lemang-lemang tersebut ke pemiliknya. Selain itu para perempuan penjual lemang tersebut harus bertahan menunggu dagangannya hingga pukul 23.00 WIB jika sedang sepi pembeli.
Berbeda jika sedang lebaran, usai Salat Id, Nemi sering langsung berjualan, dan penjualan lemangnya akan meningkat drastis bahkan mencapai 50 batang. Bahkan pada saat hari raya tersebut.(*7)