Membangun Mindset Kepariwisataan

Pekanbaru | Senin, 06 Maret 2023 - 13:08 WIB

Membangun Mindset Kepariwisataan
Riyono Gede Trisoko. (ISTIMEWA)

BAGIKAN



BACA JUGA


PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Ada dua pemikiran menarik yang akan dikaji di dalam tulisan ini. Pertama adalah apa yang kita pikir dan lakukan saat kita selaku pelaku usaha pariwisata jika dihadapkan dengan pilihan  pertanyaan seperti, disukai, diminati, dikunjungi,  direkomendasikan dan apa hubungan dengan kita.

Tentunya pilihan kita terhadap pertanyaan itu mempunyai alasan sendiri,  namun demikian bagian penting yang perlu kita perhatikan sepatutmya tertujukan   kepada sumber dari sesuatu yang tidak pernah ada habisnya.


Mengapa? Karena dorongan untuk selalu dipilih merupakan harapan dari harapan  yang penting, dan  penulis yakini melalui tulisan yang lalu sebagai pertimbangan guna menemukan konten baru yang memperkaya suatu strategi dalam menghadapi pariwisata ditahun 2023 ini.

Sejatinya selaku pelaku pariwisata dan juga insan pariwisata, setiap pandangan pertama akan memberikan sebuah gambaran tentang  pengetahuan  kepariwisataan yang  membentuk  karakter produk yang ditawarkan, oleh karenanya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam mengembangkan produk pariwisata yang berkarakter, bukan mee to.  Atau memang yang musiman.

Pertama, yang penting keotentikan. Mengapa? Sederhananya teknologi telah menelurkan zaman KW yang populer, sementara keterpecayaan menekankan keaslian. Masa pada keadaan yang demikian membutuhkan kekuatan dan ketenangan batin agar konsep produk tetap terjaga dan tentunya marketable.

Kedua,  berciri keunikan, tidak bisa dipungkiri bahwa adanya pilihan yang didasarkan kalimat; hmm lucu aja dan seterusnya ternyata mencerminkan produk yang disukai, karenanya mencari makna ''keberadaan'' penting digali.

Ketiga, keberadaan yang langka, sederhananya dapat kita contoh, menariknya menara Eiffel tentu karena hanya satu di dunia, tempat kita? Keempat, keterbarukan, jika kita membaca banyak jurnal maka akan banyak asumsi dan teori yang menggoda, misalnya tentang bagaimana Gen Y, Gen Z yang merupakan pangsa potensial, tidak salah tetapi bagaimana dengan sumber daya kita.

Kelima,  keviralan, adanya godaan yang mengganggu, bahwa kekuatan viralitas mampu menjadi magnet, tentu karena hampir memengaruhi 80 persen keputusan, tetapi menjadi pasar dan keberlangganan pastinya tidak sebesar itu, demikian juga lamanya.

Tidak dapat dipungkiri tentang telah bergesernya perilaku masyarakat memilih dan menikmati, termasuk dalam berwisata. Tetapi hal ini sudah seharusnya tidak merubah karakter dasar produk kita, atau nilainya, mengapa, karena adanya anekdot, barangnya itu juga tetapi berbeda: nilainya, cara menikmati.  

Mengapa begitu, hal ini lebih dikarenakan telah bergesernya kebutuhan  kita dari human intensive menjadi digital intensive, dan sebagai peristiwa sosial proses ini lebih banyak dipengaruhi oleh tumbuh rasa simpati disaat sepi interaksi.

Keadaan yang demikian ini, secara fisik sesungguhnya memberi peluang besar kepada semaraknya industri kepariwisataan, dan ini sesuai dengan sifat dari bisnis ini, hanya saja kita sebagai pelaku perlu berhati-hati dalam menpelajarinya agar produk kita tetap bagian yang dibutuhkan.

Melalui penulisan ini kita semua dapat menggambarkan bahwa strategi yang baru tidak selalu merupakan jawaban akan kemampuan usaha untuk berkembang. Mengapa dikatakan demikian karena sebenarnya kebesaran sebuah produk pariwisata sangat ditentukan oleh bagaimana market itu mampu menerima nilai antara bagaimana karakter produk dengan bagaimana yang dibutuhkan oleh wisatawan melalui kemampuan kita jembataninya.

Dari tulisan ini,  dapat disimpulkan  pengembangan pariwisata  bukan melulu hanya pengembangan fisik tetapi yang lebih utama adalah bagaiman membangun rasa kebersamaan sebagai  modal untuk menciptakan nilai tambah bagi pariwisata. Strategi bisa saja nanti dulu dan nilai baru  itu barangkali merupakan jawaban.(nto/c) 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook