PEKANBARU (RIAUPIS.CO) Kejahatan yang silih berganti terjadi di wilayah hukum Polresta Pekanbaru, seakan-akan membuat masyarakat memilih jalannya tersendiri dalam menghadapi pelaku kejahatan. Salah satunya menghakimi pelaku kejahatan hingga sampai menghilangkan nyawanya.
Hal ini dikatakan Dr Kasmanto Rinaldi SH MSi, kriminolog Riau menyikapi kasus kematian Beni Zurianto (39), korban yang tewas yang diduga diamuk massa, akibat dituduh sebagai pelaku jambret. Dinamika ini bisa jadi berkembang, dikarenakan faktor tingkat kebencian yang tinggi dari masyarakat terhadap penjahat dan juga faktor proses pengungkapan kasus selama ini.
"Dilihat dari aspek kebencian terhadap penjahat, untuk kejahatan tertentu memang tak bisa dipungkiri tingkat kekejaman para pelaku terhadap korbannya memang sulit diterima akal sehat," kata Kasmanto.
Menurutnya, hampir semua kejadian, pelaku tidak hanya berorientasi terhadap target barang curiannya, namun juga sering melukai bahkan menyebabkan nyawa si korban melayang.
"Mungkin saja kegeraman ini yang menyebabkan ketika ada penjahat yang tertangkap, masyarakat tanpa dasar yang kuat langsung main hakim sendiri," bebernya.
Dalam konteks ini, menurutnya, kondisi ini sangat berbahaya sekali, mengingat kebenaran bahwa yang bersangkutan adalah penjahat masih minim sekali. Sesungguhnya, meskipun si pelaku adalah benar yang tertangkap, masyarakat tidak punya hak atau kewenangan untuk menghakimi para pelaku tersebut.
"Apalagi seandainya yang bersangkutan bukan merupakan pelakunya, ini akan menimbulkan kerugian yang besar terhadap korban dan keluarganya. Kerugian yang mereka alami, tidak hanya kehilangan sosok ayah atau suami, namun juga penyebab kematiannya akan menjadi pergunjingan di tengah tengah masyarakat," paparnya.
Oleh sebab itu, tindakan main hakim sendiri apapun latar belakangnya tidak bisa dibenarkan baik dari aspek kemanusiaan maupun dari perspektif hukum positif.
Selanjutnya, faktor lainnya yakni proses pengungkapan kasusnya.Dalam beberapa kasus kriminal, tidak semua kejadian yang terjadi maupun yang dilaporkan terungkap dengan maksimal. Kesulitan bukti kerap kali menjadi kendala dalam pengungkapan kasus.
"Selanjutnya, proses di kejaksaan maupun di pengadilan, masyarakat menganggap sanksi yang diterima pelaku sangatlah ringan. Sehingga beberapa hal ini membuat masyarakat kurang percaya bahwa setiap kejadian akan terungkap dengan cepat dan terang benderang," katanya.
Oleh sebab itu, dikatakannya, sebagai pintu masuk dari criminal justice system (sistem peradilan pidana) di Indonesia, harus mampu memberikan informasi terkait kasus-kasus yang sedang ditangani, terutama kepada pihak yang dirugikan.
"Informasi ini penting untuk memberikan rasa empati kepada masyarakat yang mengalami kerugian, sehingga masyarakat memandang bahwa negara peduli terhadap mereka," ujarnya lagi.
Selanjutnya, proses di kejaksaan dan pengadilan, turut serta memberikan rasa adil bagi keluarga korban. Jangan sempat masyarakat yang sudah menjadi korban, pada saat proses di driminal justice system mengalami korban yang lain lagi atau dalam kriminologi dikenal dengan istilah reviktimisasi.(lin)
(Laporan Sakiman, Kota)