PEKANBARU (RP) - Pertumbuhan ekonomi masyarakat dalam pembelian kendaraan menyebabkan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) meningkat, sementara pemerintah tak lagi mampu untuk memberikan subsidi BBM pada masyarakat, sehingga membuat ketahanan energi Indonesia masih riskan. Hal tersebut diperparah dengan produksi minyak bumi yang menurun per harinya.
Hal ini terungkap dalam diskusi terkait sosialisasi kenaikan harga BBM yang digelar Mahasiswa UIN Suska Riau, Selasa (2/7).
‘’Indonesia pernah memproduksi minyak sampai 1,6 juta barel per hari sekitar tahun 1977 dan 1995. Saat ini daya beli masyarakat semakin tinggi dalam hal pemilikan kendaraan, namun masalah muncul sementara produksi minyak mengalami penurunan. Produksi minyak kita saat ini hanya 800 ribu barel, dengan konsumsi 1,4 juta barel per hari ini menjadikan ketahanan energi kita sangat riskan,’’ papar Kasi Hukum Direktorat Jenderal Migas, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Bambang Sujito yang hadir sebagai narasumber.
Selain hal tersebut di atas, Bambang menjelaskan kenaikan harga BBM dengan pemotongan subsidi juga dilakukan karena elastisitas energi Indonesia berada pada angka 1,8 saat ini.
‘’Artinya jika nilai di atas satu, maka konsumsi energi lebih besar dari produksi,’’ lanjutnya.
Sebelum kenaikan harga BBM diberlakukan, terangnya lagi, pemerintah harus mensubsidi per liter BBM yang digunakan masyarakat dengan jumlah yang tinggi.
Bambang mencontohkan, saat premium masih di harga Rp4.500, subsidi yang harus diberikan pemerintah per liter itu adalah Rp4.000.
‘’Secara umum, harga BBM di Indonesia adalah yang terendah di ASEAN,’’ katanya.(ali)