Dikatakannya, hal itu memerlukan konsep yang jelas dari Pemko. Memang kedalaman parit yang ada perlu penambahan. Akan tetapi, keamanan dan keselamatan juga perlu dijaga.
“Sampai sekarang belum ada rambu-rambu di spot yang berbahaya. Kalau ada rambu, tidak mungkin orang tegak di tempat yang berbahaya kan. Karena masyarakat bisa baca, saya pikir itu bisa membantu mencegah,” jelasnya.
Selain itu, banyaknya daerah rawa yang ditimbun untuk dibangun ruko maupun perumahan juga menjadi penyebab banjir. Ia mengutarakan sejak 1998 telah memberikan konsep pembangunan kepada wako sebelumnya untuk membuat empat kanal penampung waduk saat hujan. “Ketika air dikumpul, maka bisa difungsikan untuk berbagai kehidupan. Di samping tanaman, penghijauan dan perikanan,” imbuhnya.
Dikatakan Arizul, untuk mengatasi banjir dan kekeringan hanya dapat dilakukan dengan tiga cara. Pertama, perlu adanya merevisi ulang tata ruang kota. “Bisa dilihat saat ini, telah terjadi penggundulan di mana-mana. Pembangunan yang sifatnya semenisasi, gedung-gedung semakin tinggi, namun tidak diimbangi dengan penghijauan,” sahutnya.
Kedua, perlu adanya keselarasan pola pembangunan di bantaran sungai. Dijelaskannya, infrastruktur kini langsung bersentuhan dengan tanah. Yang mana, seharusnya pembangunan yang berdekatan dengan bantaran sungai itu tidak diperbolehkan bangunan langsung menyentuh tanah. Pondasinya harus memiliki pola rongga, artinya tetap menerapkan pembangunan bertiang hingga 2,5 meter dari muara harus tetap dikosongkan.
Ketiga, sikap masyarakat juga tidak membuat sistem itu kondusif. Kenapa demikian, kesadaran masyarakat dalam aspek lingkungan hidup sangat rendah. Misalnya, masyarakat membuang sampah plastik, sungai dan selokan dijadikan tong sampah.(nda/ali/*1)