Laporan Joko Susilo, Pekanbaru jokosusilo@riaupos.co
Permasalahan pedagang kaki lima (PKL) di Pasar Jongkok Jalan HR Soebrantas masih belum tuntas. Tiga lokasi yang pernah ditawarkan untuk relokasi para pedagang pun tak menyelesaikan kisruh.
Tak selesainya masalah tersebut membuktikan Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru tak serius turun tangan menyelesaikan permasalahan pasar jongkok.
Sekitar tahun 2011 lalu, pedagang pasar jongkok telah memenuhi Jalan Soebrantas. Awalnya pertambahan pedagang yang terus terjadi dibiarkan berkembang oleh Pemko Pekanbaru, karena saat itu dinilai pedagang belum mengancam keindahan Kota Pekanbaru. Itu karena operasi pasar jongkok pada malam.
Namun kemudian perkembangan pedagang semakin banyak saja sampai sekitar 400 pedagang yang menggelar lapaknya. Kesemrawutan lahan parkir yang mengganggu lalu lintas awal masalah yang timbul di pasar jongkok tersebut.
Parkiran kendaraan pengunjung yang memakan badan jalan menyebabkan kemacetan yang kerap terjadi setiap malam. Petugas pun semakin kesulitan untuk mengatasinya karena berbagai kepentingan menjadi lawan utama serta premanisme.
Akhirnya kondisi pasar sampai tahun 2012 semakin tak terkendali dan mengancam keindahan kota serta penilaian Adipura.
Berniat untuk merebut kembali penghargaan Adipura serta antisipasi kepentingan penataan kota, maka Pemko Pekanbaru meminta secara pendekatan terhadap pedagang agar bersedia pindah ke tiga lokasi.
Ketiga lokasi tersebut yakni Pasar Seni Arifin Ahmad, belakang giant dan terakhir di Jalan Purwodadi. Meski ada penentangan, akhirnya sebagian pedagang pasar jongkok mau direlokasikan ke belakang giant.
Namun saat itu tidak semua pedagang yang mau dipindahkan di lokasi yang baru tersebut. Hanya sekitar 150 pedagang yang mau pindah.
Sisanya para pedagang masih menempati Jalan Soebrantas, ternyata jumlah mereka terus bertambah. Awalnya hanya tersisa sekitar 250 pedagang, sejak 2013 pedagang yang menggelar lapak di Jalan Soebrantas telah mencapai sebanyak 850 pedagang. Mereka berdatangan entah dari penjuru mana saja.
‘’Kebanyakan pedagang berasal dari luar,’’ kata pedagang yang mengaku bernama Imam.
Imam sekarang sudah menempati salah satu lapak di belakang giant. Banyaknya pedagang nomaden yang ada di pasar jongkok dibenarkan teman Imam. ‘’Benar, pedagang dan kawan-kawan juga banyak dari luar Pekanbaru,’’ sebut pedagang lain yang mengaku bernama Yandra.
Data Dinas Pasar (Dispas) Pekanbaru hingga awal tahun 2013 pedagang pasar jongkok pun naik drastis sampai 850 tersebut dan meresahkan pemerintah yang akhirnya memutuskan agar para pedagang ditegaskan supaya segera pindah dari lokasi Soebrantas, karena semakin mengganggu lalu lintas dan keindahan kota.
Pedagang pun bersedia dipindahkan ke Jalan Purwodadi, namun karena persiapan kurang memadai dari pengelola dan ingin segera direlokasikan alias dikosongkan daerah Soebrantas, maka kesiapan Pasar Purwodadi bermasalah.
Becek dan 900 kios Pasar Purwodadi yang tidak layak menjadi alasan pedagang akhirnya melakukan pertentangan alias tidak mau pindah. Ini membuat masalah lagi.
Akhirnya Wali Kota Pekanbaru H Firdaus MT mengintruksikan Dispar agar segera berkoordinasi dengan pengelola Pasar Purwodadi untuk memfasilitasi pedagang dan keiinginan agar lokasi yang becek sera tidak layak diselesaikan.
Sekretaris Dinas Pasar Kota Pekanbaru Dedi Damhudi AP MSi kepada Riau Pos, Jumat (31/5) mengaku sudah memanggil pengelola pasar. Pemanggilan itu untuk membicarakan kesiapan pengelola Pasar Purwodadi tersebut.
‘’Untuk pedagang pasar jongkok tetap harus pindah ke tempat yang sudah kita arahkan di Pasar Seni Arifin Ahmad, pasar senggol dan Jalan Purwodadi. Pasar yang ada di bawah pengelolaan Dispas, lokasi Jalan Purwodadi hanya merupakan salah satu alternatif dan kepada pengurus, kemarin kita minta untuk memaksimalkan persiapan penerimaan para padang, karena lokasi tersebut yang terdekat dengan lokasi Soebrantas,’’ kata Dedi.
Menolak Pindah
Pasca penertiban yang dilakukan tim gabungan yang terdiri dari Satpol PP, polisi dan TNI Selasa dan Rabu lalu, aktivitas di pasar jongkok terhenti selama dua hari terakhir. Meski begitu, para pedagang mengatakan tidak akan pindah dari lokasi yang telah ditertibkan tersebut.
Seperti yang dituturkan Ketua Pembina Pasar Jongkok Ir Irwanto MSi kepada Riau Pos, kemarin. Menurutnya, tempat relokasi yang ditawarkan pemerintah tersebut belum layak digunakan pedagang untuk berjualan, apalagi kondisi yang berlumpur dan tidak berlistrik.
‘’Karena pedagang memerlukan tempat yang ramai pengunjungnya, dan keramaian itu ada di tepi jalan raya, bukan di belakang ruko. Kami tidak ingin nantinya malah tidak berkembang seperti yang terjadi di Pasar Seni Jalan Arifin Ahmad,’’ ujar Irwanto.
Selain itu, Irwanto menuturkan, tarif sewa yang diminta oleh pengelola masih terlalu tinggi bagi para pedagang, sedangkan kondisinya tidak sesuai dengan harga sewa.
‘’Daripada menyewa dengan harga mahal seperti itu, lebih baik kami menyewa kios di mal. Karena sewanya sebanyak Rp500 ribu per bulan, sedangkan untuk lapak di bagian depan harus dipesan dengan harga Rp2 juta dan selanjutnya membayar uang sewa Rp500 ribu per bulan,’’ terang Irwanto.(*4/rnl)