IN MEMORIAM SASTRAWAN RIAU HASAN JUNUS

Paus Sastra Indonesia Itu Telah Pergi

Pekanbaru | Minggu, 01 April 2012 - 07:38 WIB

Paus Sastra Indonesia Itu Telah Pergi
Jenazah sastrawan Riau Hasan Junus saat di rumah duka sebelum diberangkatkan ke TPU Kertama, Kelurahan Simpang Tiga, Kecamatan Marpoyan Damai, Pekanbaru, Sabtu (31/3/2012). (Foto: defizal/riau pos)

Dia memiliki pengetahuan luas, terutama tentang kebudayaan Melayu sehingga banyak yang menggelarnya dengan sebutan beragam seperti ‘’Pohon Kebudayaan’’, ‘’Pohon Pengetahuan’’, ‘’Pendeta Sastra’’, ‘’Bhiksu Sastra’’, ‘’Kamus Berjalan’’, bahkan ‘’Ensiklopedi Sastra’’. Kini pohon itu telah tumbang. Di mana kan dicari ganti?

Laporan TIM RIAU POS, Pekanbaru
redaksi@riaupos.co

NAMANYA tak hanya dikenal di Riau atau Indonesia. Kegigihan dalam menulis dan tak pernah keluar dari koridor sastra, maka ramailah orang-orang di level internasional, terutama Prancis, Inggris dan Belanda menghormatinya. Karena itu, saat mendengar kepergiannya menghadap Yang Kuasa, Jumat (23/3) malam sekitar pukul 23.55 WIB kemarin, banyak yang merasa kehilangan dan menyampaikan rasa belasungkawa. 
Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Sastrawan besar yang lahir di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, 14 Januari 1941 itu bernama Hasan Junus. Seorang jenius yang tak kunjung berhenti menuangkan gagasannya melalui karya tulis berupa karya sastra hingga ajal menjemput. Dia juga telah memberi contoh pada banyak seniman/budayawan Riau untuk konsisten dan serius menjalani profesi sebagai seorang penulis sejati.

Karya-karyanya berupa cerita pendek (cerpen), novel, esai, buku sejarah dan berbagai catatan penting soal kebudayaan dan seni terserak di banyak tempat, termasuk negeri-negeri Eropa. Buah manis dari pupuk yang baik membuatnya takkan pernah mati. Bahkan karya-karya itulah yang akan ‘memperpanjang’ usianya sebagai seorang penulis yang tersohor.

‘’Sebagai orang yang memiliki pengetahuan luas, terutama kebudayaan Melayu, kami merasakan betul telah kehilangan seorang tokoh budaya. Pohon kebudayaan, keilmuan itu telah tumbang, ke mana nak dicari gantinya?’’ ungkap Sastrawan Riau Rida K Liamsi, di sela-sela acara pemakaman Hasan Junus di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kertama, Pekanbaru. 

Dikatakannya, beliau memberi kontribusi besar perkembangan kebudayaan Melayu. Pengetahuannya pada kebudayaan Melayu cukup luas terutama pada abad 18-19-20 M. Beliau juga orang yang rajin membaca dan menguasai banyak bahasa. Inilah yang membuatnya sangat dihargai orang-orang di Eropa seperti Belanda dan Prancis. ‘’Kami Riau Pos sangat kehilangan apalagi ia tonggak dari majalah Sagang dan setiap minggu menulis rubrik ‘Rampai’,’’ ujar Rida.

Dua orang pembantunya di majalah Sagang yakni Dantje S Moeis dan Zuarman Ahmad mengatakan sangat kehilangan atas kepergian almarhum. Ketiganya dijuluki sebagai ‘’Tiga Serangkai’’ dalam mengelola majalah budaya itu. Dikatakan Dantje, Hasan selalu menganggap sebuah teks sangat penting dan beliau selalu mengingatkan agar berhati-hati dalam merealisasikan teks tersebut karena akan dibaca publik. Begitu pula Zuarman yang menyebut almarhum sebagai orang berpengetahuan luas dan menguasai banyak bahasa. ‘’Bapak itu orangnya blak-blakan dan langsung terus terang jika tidak suka atau sekadar mengingatkan pada kami yang sudah bersama 15 tahun ini,’’ katanya. 

‘’Dia adalah salah satu tokoh yang saya kagumi selama ini. Hobinya banyak membaca membuatnya memahami semuanya, baik budaya luar maupun lokal khususnya Melayu. Belum lagi dengan pemikirannya yang jauh dalam segi kebudayaan yang diresap dari bacaan buku-buku bahasa asing yang dia kuasai. Dia juga memiliki pendirian yang kuat dan tegas, ke manapun dia pergi selalu membawa sastra Melayu sebagai acuannya. Jadi saya kira sangat sulit mencari pengganti sosok HJ di manapun di dunia ini,’’ terang salah seorang tokoh budaya Melayu, Tenas Effendy. 

Hal senada juga diungkapkan budayawan Riau, Yusmar Yusuf. Menurutnya, Riau dan Kepulauan Riau mengalami sebuah kehilangan besar. Mungkin 50 tahun kemudian akan terjawab kehilangan itu. HJ mewarisi segala khazanah kebudayaan dunia: Timur setimur-timurnya, Barat sebarat-baratnya, dengan tidak meninggalkan setitik pun sumber mata air Melayu itu. Dengan jangkauan pengetahuannya, Hasan laksana telaga teduh namun menghanyutkan bagi orang yang gairah ilmu dan kedalaman kebijaksanaan filosofia. ‘’Dia adalah samudera pengetahuan bagi Melayu. Dalam diri HJ bertemu segala sayap bumi: tak Barat, tak Timur. Semua berjalin menjadi satu jahitan mengukuhkan identitas Melayu. Tulisannya dalam dan menukik, memikul tradisi profetik tinggi dan menyajikan hermeneutika menjulang dan lemak untuk disantap,’’ ujarnya. 

‘’Kita sangat kehilangan. Beliau tak tergantikan di era abad 21 ini. Apalagi jika menulis tentang budaya Melayu dan sejarahnya, sungguh berwarna dengan narasumbernya. Beliau sastrawan budaya Melayu yang tak ada bandingnya di Indonesia,’’ timpal sastrawan Taufik Ikram Jamil. ‘’Beliau sulit digantikan dan pengetahuan yang diambil secara otodidak itulah yang menurut saya yang paling luar biasa,’’ tutur Ketua LAM Riau, Al azhar.

Di mata Gubernur Riau HM Rusli Zainal SE MP, berpulangnya Hasan merupakan duka yang mendalam bagi masyarakat Riau. Untuk itu, masyarakat Riau diajak untuk bersama mendoakan tokoh yang telah banyak berjasa di dunia sastra tersebut. ‘’Kita tentunya ikut berbela sungkawa atas kepergian beliau. Semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT,’’ ujar Gubri. Untuk terus mengenang jasa dan perjuangan tokoh sastra tersebut, dia mengajak masyarakat memetik ilmu dan pengalamannya yang tunak dalam berkarya. Kepergian penulis rubrik ‘’Rampai’’ di Riau Pos itu diharapkan jadi cerminan berkarya bagi generasi muda.

Meski Hasan telah pergi meninggalkan masyarakat Riau, Gubri menilai jasa dan karyanya tetap akan dikenang bagi seluruh masyarakat di Bumi Lancang Kuning. Sehingga dapat menjadi pemacu untuk pengembangan karya sastra dan budaya di Provinsi Riau. Hasan Junus adalah pewaris darah pengarang besar Riau nan piawai, Raja Ali Haji. Ayahnya Raja Haji Muhammad Yunus Ahmad, masih terbilang anggota pengarang Rusydiah Klab. Rusydiah Klab adalah perkumpulan pengarang Riau yang berdiri pada penghujung abad ke-19, berjaya pada awal abad ke-20, lalu surut kegiatannya pada tahun 1920-an. 

Setelah aktor intelektualnya yakni Raja Ali Kelana, terpaksa pindah dari Riau ke Johor, karena Kerajaan Riau-Lingga dibubarkan oleh Belanda tahun 1913. Para pengarang Rusydiah Klab, disamping menulis berbagai kitab agama, bahasa, sastra, sejarah dan sebagainya, juga sempat menerbitkan majalah budaya dan masyarakat dengan tajuk Al Imam, yang diterbitkan di Singapura tahun 1906. Karyamu akan selalu hidup untuk masyarakat Melayu dan dunia.  
  
Sastrawan Riau Syaukani al Karim menegaskan, Hasan adalah contoh yang tiada bandingan. Orang yang konsisten dan tak pernah keluar dari koridor sastra hingga akhir hayatnya. ‘’Dia juga memiliki wawasan dan informasi sejarah Riau dan itu terbukti saat kami bekerja sama dalam menyusun sebuah buku sejarah Riau bersama Taufik Ikram Jamil dan Griven H Putra,’’ ujar Syaukani.

Hasan Junus, yang lebih akrab dipanggil HJ yang lahir di Pulau Penyengat, 12 Januari 1941 itu wafat di kediamannya Jalan Inpres Kecamatan Marpoyan Damai. Almarhum dikebumikan di TPU Kertama yang tak jauh dari kediamannya dan diantar oleh kerabat, sanak saudara, cucu serta para rekannya sesama seniman. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, pria 71 tahun ini sempat dirawat di RS Santa Maria karena penyakit gula darahnya yang sudah makin parah. Selama tiga pekan di rumah, Hasan Junus (HJ) nyaris tak pernah mengeluarkan satu kata pun sampai ajal menjemputnya.

Pukul 11.30 WIB, jasad sastrawan Riau yang memahami setidaknya enam bahasa itu baru saja selesai dimandikan di kediamannya yang berada tak jauh dari markas TNI-AU Pekanbaru. Rekan-rekannya sesama budayawan sudah berkumpul di sana. Di antaranya Tenas Effendy, Rida K Liamsi, Yusmar Yusuf, Taufik Ikram Jamil, Al azhar, Armawi KH, Kazzaini Ks, Yoserizal Zen, Edi Yatim dan lain-lain. Tampak hadir mantan Wagubri Rivaie Rachman dan RA Azis.

‘’Dia hanya diam. Kondisinya juga menurun dan diam aje, mengeluh tidak, apa tidak. Apalagi dalam seminggu ini dia hanya melihat ibu. Ada memang terlihat dia ingin mengatakan sesuatu kepada ibu, tapi tidak bisa dia berbicara. Sempat juga kemarin malam ibu mencoba mengajak dia mengucap dan sedikit-sedikit bisa, sampai dia menghembuskan nafas terakhir dengan tenang,’’ terang istrinya Tengku Arfah pada Riau Pos di rumah duka, Sabtu (31/3).

Sang istri menjelaskan, HJ merupakan orang yang kuat. Bahkan saat dirawat beberapa waktu lalu karena tekanan darah tinggi, jantung, gula darah rendah, dia masih menyatakan dirinya sehat dan tak pernah mengeluh. 

Penyayang Keluarga
Di mata sang istri, Hasan adalah sosok suami yang humoris dan penyayang keluarga. ‘’Abang orangnya penyayang dan suka bercanda,’’ kata Tengku Arfah. Menurutnya, sebelum Hasan jatuh sakit sekitar tahun 2009, ia dan sang suami sering bersenda gurau dan bercanda. Setelah tahun 2009, kondisi kesehatan Hasan makin menurun karena saat itu ia terkena stroke ringan. ‘’Semenjak itu, empat kali dibawa ke ke dokter,’’ lanjutnya.

Awal tahun 2012, Hasan sempat mendapatkan perawatan di RS Santa Maria Pekanbaru. Almarhum dirawat selama dua bulan lebih sebelum akhirnya di bawa ke rumah. ‘’Seminggu setelah dibawa pulang, kondisinya semakin menurun. Sempat mendapat tambahan darah juga satu kantong,’’ kata Arfah.

Sebagai istri, Arfah ikhlas dengan kepergian sang suami, selama 27 tahun berumahtangga, ia sudah merasakan manis getirnya kehidupan bersama almarhum. ‘’Kami kenalan tiga bulan, setelah itu menikah,’’ ujar Arfah mengenang perkenalan mereka di Pekanbaru yang berlanjut ke pelaminan. Menurut Agus, pria yang biasa merawat almarhum saat sakit, ia sempat bercerita mengenai buku dengan Hasan, sepekan setelah almarhum keluar dari rumah sakit. ‘’Saya tanya dengan bapak, sastra itu apa pak? Karena saya lihat bapak punya banyak buku sastra. Tapi bapak menjawabnya dengan bahasa Belanda, saya yang tidak mengerti jadinya,’’ kenang Agus.

Selalu Memotivasi
Riau Pos sempat menjenguknya di RS Awal Bros dan RS Santa Maria tempat dia dirawat. Ketika itu, dia sangat marah jika dikatakan dirinya sakit dan mengaku sehat yang ditunjukkannya dengan berusaha duduk dari tempat tidurnya meski infus terpasang di tangan kirinya. Dalam kondisi sakitnya tersebut juga, mantan guru di Kundur Karimun Kepulauan Riau ini tetap memberi motivasi pada generasi muda untuk terus berkarya. 

Tak sedikit karya yang sudah dilahirkan lelaki yang dikenal periang di kalangan sastrawan Riau dan dunia khususnya sastrawan Melayu tersebut. Di antaranya Jelaga (1979), Antropology of Asean Literature-Oral Liteture of Indonesia, karyanya bersama Iskandar Leo (Rida K Liamsi) dan Eddy Mawuntu (1983), Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX (1988), Burung Tiung Seri Gading (1992), Peta Sastra Daerah Riau, karyanya bersama Edi Ruslan Pe Amarinza (1993) dan Tiada Mimpi Lagi (1998).

Sekuntum Mawar Untuk Emily diterbitkan Unri Press (1998), Cakap-cakap Rampai-rampai dan Pada Masa Ini Sukar Dicari, diterbitkan Unri Press (1998), Kematian yang Lain diterbitkan Unri Press (1999), Dari Saudagar Bodoh dan Fakir yang Pintar Menuju yang Mendunia, diterbitkan PPBKM Unri (1999), ‘’Pengantin Boneka’’ (cerpen), diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Jeanette Linagrd dan diterbitkan Oxford University Press (1995).

Mencari Junjungan Buih Karya Sastra di Riau (1999), Tiga Cerita Sandiwara Melayu diterbitkan Cindai Wangi Publishing, Batam (2001), Raja Haji Fisabilillah Hannibal dari Riau (2000), Cerita-cerita Pusaka Kuantan Singingi karyanya bersama Fakhri, diterbitkan Unri Press (2001), Pelangi Pagi, diterbitkan Yayasan Pusaka Riau (1999). Furu’al-Makmur, diterbitkan PPBKM Unri (1996) dan Pohon Pengantin dan Cermin Nyiyin Almayer (dalam Riau Pos). Tak hanya itu, berbagai penghargaan juga dibawanya pulang sebagai bentuk pengakuan eksistensinya sebagai seniman besar yang dimiliki Riau. 

Beberapa penghargaan juga diraihnya. Di antaranya Anugerah Sagang Kategori Seniman dan Budayawan Pilihan Sagang dari Yayasan Sagang (1999), Seniman Pemangku Negeri (SPN) dari Dewan Kesenian Riau (2001) dan Anugerah Seniman Perdana, Dewan Kesenian Riau (2003). 

Karena eksistensi dan konsistensinya sebagai budayawan, sastrawan Taufik Ikram Jamil menyebut Hasan sebagai satu dari tiga tungku bersama Sutardji Calzoum Bachri. Tak hanya itu, ketekunannya membaca membuatnya memahami budaya dulu dan bagaimana ke depannya bisa lebih baik. Karena untuk memahami kebudayaan, harus melintasi zaman, adanya zaman akan datang itu karena ada zaman sebelumnya.  Bukti pengakuan dunia atas karyanya adalah dengan diterjemahkannya cerpen ‘’Pengantin Boneka’’ ke bahasa Inggris oleh Jeanette Linagrd dan diterjemahkan dalam Diverse Lives-con-temporary Stories from Indinesia (Oxford Universitas Press, 1995). Dalam kepribadiannya yang tegas dan lugas serta ditopang kemampuan ilmu yang didapatnya dari banyak buku yang dibaca membuat Hasan selalu disegani tokoh-tokoh lainnya.(fed/eko/ilo/ali/rio)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook