SERIE A ITALIA

Masalah Milan: Krisis Kepemimpinan

Olahraga | Minggu, 27 Januari 2019 - 17:21 WIB

Masalah Milan:  Krisis Kepemimpinan
Lucas Paqueta, harapan baru AC Milan. (Calciomercato)

CATATAN SEPAKBOLA
Oleh Hary B Koriun

APA yang membuat tim sebesar AC Milan berubah menjadi semenjana atau malah medioker seperti hari ini? Pertanyaan ini memang sangat menyedihkan jika ditujukan kepada para Milanisti –sebutan bagi pendukung setia tim yang bermarkas di San Siro ini. Sebab, jika merujuk pada sejarahnya, sangat tidak pantas bagi salah satu klub terbaik Eropa, bahkan dunia, ini, saat ini berada di level rendah sepakbola Eropa, bahkan juga di kompetisi dalam negeri Italia, Serie A.

Baca Juga :Lenglet Takkan Dilepas Aston Villa ke AC Milan

Untuk pentas dunia (termasuk di dalamnya kejuaraan Eropa dan internasional yang diakui FIFA), bersama Boca Junior (Argentina), Milan berada di posisi kedua di bawah Real Madrid, dengan perolehan 18 trofi. Ini termasuk 7 Piala/Liga Champions, 3 Piala Toyota/Piala Dunia Antarklub, 5 Piala Super Eropa, dan 3 Piala Winners Eropa. Satu-satunya gelar tingkat Eropa yang belum pernah diperolehnya hanyalah Piala EUFA/Liga Eropa. Di Italia, Milan meraih 18 kali scudetto, 14 kali runner-up, 5 kali Coppa Italia, dan 6 Supercoppa Italiana.

Milan mengalami masa emas di Serie A di tahun 1950-1960-an. Ketika itu mereka memiliki trio fantastis asal Swedia, yakni Gunnar Nordahl, Gunnar Gren, dan Nils Liedholm. Ketiganya dikenal dengan Trio Grenoli. Mereka bersinar dan kemudian membnuat Milan kepincut saat membawa Swedia merebut emas Olimpiade London tahun 1948 dengan mengalahkan Yugoslavia di final. Ditangani secara bergantian oleh pelatih Lajos Czeizler (1949-1952), Mario Sperone (1952-1953), Bela Guttmann (1953-1954), Hector Puricelli (1954-1956), Giuseppe Viani (1957-1960),  Paolo Todeschinni (1960-1961) hingga Noreo Rocco (1961-1963), Milan meraih lima juara Serie A, satu Piala Champions, dan  sekian trofi lainnya.

Setelah era lumayan gelap di tahun 1970-an, Milan mulai bangkit lagi di akhir 1980 hingga 1990-an. Di masa ini, Fabio Capello memulainya dengan membangun tim yang kuat, yang kemudian diteruskan secara bergantian oleh Arrigo Sacchi, Oscar Tabarez, Alberto Zaccharoni, Cesare Maldini, Fatih Terim, hingga ke generasi Carlo Ancelotti dan Massimiliano Allegri. Tentu, di samping memiliki amunisi lokal yang hebat pada diri generasi emas Franco Baressi, Ancelotti, Paolo Maldini, Demitrio Albertini,  Mauro Tassotti, Allesandro Costacurta, dan yang lainnya, pembelian trio Belanda, yakni Ruud Gullit, Marco van Basten, dan Frank Rijkaard adalah awal dari lahirnya AC Milan sebagai kub besar yang sulit digusur.

Sejak itu, atau setelah Dekrit Bosman diberlakukan, Milan mengikuti era baru yang tak membatasi penggunaan pemain asing di Uni Eropa yang memungkinkan pemain-pemain bintang mengalir ke Italia sebagai kiblat kompetisi terbaik dunia. Milan kemudian kedatangan talenta-talenta terbaik seperti Dejan Savicevic, George Weah, Zvonimir Boban, Marcell Desaily, hingga generasi Andriy Shevcenko. Di era ini, Milan bersaing dengan Juventus dan Inter Milan dalam pertarungan perebutan juara Serie A per musimnya. Milan meraih scudetto pada musim 1987–88, 1991–92, 1992–93, 1993–94, 1995–96, 1998–99, 2003–04 sebelum kemudian Allegri menutupnya pada 2010–11 sebagai scudetto terakhir Milan hingga kini.

Tak hanya di kompetisi dalam negeri, Milan juga menjadi sangat gemilang di Eropa. Mereka meraih Piala/Liga Champions 1999, 1990, 1994, 2003, dan 2007. Selain itu, Milan juga tiga kali masuk final pada tahun 1993, 1995, dan 2005. Seluruh pencapaian itu tak diimbangi oleh Juventus, saingan abadinya ketika itu. Bahkan, untuk Liga Champions, dengan 7 gelar yang diraihnya, Milan hanya kalah dengan Real Madrid yang sudah mencapai angka 13.    

Tetapi, kondisi itu kini tak terlihat bekasnya lagi. Bahkan untuk sekadar lolos ke zona Liga Champions saja, Milan amat sangat kesulitan. Sejak Italia banyak ditinggal bintang besar yang lebih suka bermain di Premiership dan La Liga, klub-klub Italia memang kesulitan menembus Liga Champions. Hanya Juventus yang mampu beberapa kali lolos hingga ke final, namun tak mampu juara. Sebaliknya, Milan justru kepayahan bertarung di Serie A dan tak mampu berbicara di Liga Champions. Tim-tim yang sebelumnya sulit bersaing seperti Napoli dan AS Roma malah konsisten lolos ke Liga Champions, sementara Milan hanya mampu lolos ke Liga Eropa, tapi tak mampu juara.

Apa yang salah? Jelas, keringnya pemain bintang yang punya pengaruh kuat dalam tim, menjadi masalah utama. Sejak Silvio Berlusconi “bangkrut” dan Milan berada di tangan orang lain, kebijakan transfer Milan tak seambisius di zaman Berlusconi. Milan hanya mampu membeli pemain-pemain kelas medioker, bukan bintang besar setara Gullit, Basten, Rijkaard, Boban, Shevcenko, Maldini atau bintang masa lalu yang lain. Kehadiran bintang besar itu langsung berpengaruh pada tim, pada prestasi. Dulu, Milan punya semboyan: pemain terbaik dunia harus bermain di Milan. Sama dengan semboyan Madrid selama ini, bahwa pemain terbaik dunia harus bermain di Madrid, sebelum Cristiano Ronaldo menyeberang ke Juventus. Filosofis itu yang tak dimiliki Milan lagi.

Selama dua musim ini, Milan banyak melakukan pembelian pemain dengan harapan bisa bersaing lagi. Mereka antara lain Hakan Chalanoglu (Bayer Leverkusen), Richardo Rodriguez (Wolfsburg), Andre Silva (FC Porto), Gonzalo Higuain (Juventus), hingga Lucas Paquita yang baru saja didatangkan dari Flamengo pada Januari ini, dan sekian nama lainnya. Tapi, apakah mereka berpengaruh dalam tim? Milan masih kesulitan menembus papan atas Serie A, sebelum menang 2-0 di kandang Genoa dan masuk 4 besar klasemen sementara. Kekalahan 0-1 dari Juventus di Supercoppa Italia, menjelaskan bagaimana sulitnya Milan saat bertarung dengan tim-tim besar. Tersingkirnya mereka di Liga Eropa sangat menjelaskan bagaimana Milan hari ini. Bayangkan, menghadapi klub-klub biasa saja seperti Real Betis atau  Olimpiakos, Milan juga kalah dan tak mampu bersaing.

Selain kebijakan transfer yang  tak serius, Milan juga mengalami krisis kepemimpinan, baik di kursi manajer/pelatih maupun di lapangan. Sejak Alegri meninggalkan tim, Milan banyak mencoba pelatih yang baru “berlatih” menangani tim seperti Fillipo Inzaghi, Clerence Seedorf, Vicenzo Montella, Sinisa Mihajlovic atau pelatih saat ini, Gennaro Gattuso. Jelas, kelas mereka jauh di bawah Capello, Ancellotti, Sacchi, Tabarez dan mereka yang pernah memberi gelar untuk Milan. Gattuso  bukan pemimpin yang ideal untuk tujuan menaikkan Milan ke puncak, meski sebagai pelatih dia juga tak buruk amat.

Di lapangan, sejak Maldini pensiun, tak ada lagi pemain berkharisma dan menjadi pemimpin yang sesungguhnya di lapangan. Riccardo Montolivo sebenarnya pilihan yang tepat. Namun seringnya cedera dan kemudian tersingkir dari tim utama, membuat Milan benar-benar tak memiliki pemain yang benar-benar memiliki karakter pemimpin. Kini Milan dikapteni anak muda, Allesio Romanogli. Secara signifikan, belum kelihatan perannya dalam tim, yang bisa menjadi pemain panutan, baik dalam hal teknis maupun leadership.

Jika kebijakan transfer masih sekelas pemain-pemain  semenjana, dilatih pelatih yang masih “berlatih” dan tak adanya kepemimpinan yang kuat di lapangan, mau sampai kapan Milan menjadi tim medioker seperti sekarang?***

    









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook