TURIN (RIAUPOS.CO) - Digadang akan menjadi salah satu bek terbaik di dunia, performa bek anyar Juventus, Matthijs De Ligt, sampai sekarang belum memenuhi ekspektasi publik. Dalam beberapa laga terakhir, pemain asal Belanda tersebut masih sering melakukan kesalahan yang merugikan klub.
De Ligt mendapatkan kritikan saat menjalani laga debutnya di ajang Serie A melawan Napoli. Saat itu, ia dianggap bertanggung jawab atas dua dari tiga gol yang bersarang ke gawang Juventus. Beruntung, sang juara bertahan Serie A tersebut menang dengan skor 4-3.
Kesalahan lain terlihat dengan sangat jelas saat Juventus bertemu Inter Milan di ajang Serie A beberapa pekan lalu. Ia melakukan aksi gegabah saat mencoba menghalau umpan silang pemain lawan yang berujung kepada penalti untuk Inter Milan.
Dengan situasi di mana Giorgio Chiellini sedang cedera parah, tentu De Ligt diharapkan bisa menggantikannya. Apalagi ia diboyong dari Ajax Amsterdam di musim panas kemarin dengan harga yang tidak sedikit, yakni 80 juta euro. Sayang, harapan itu belum tuntas terbayarkan.
Meskipun demikian, masih banyak orang percaya bahwa De Ligt adalah bongkahan batu berlian yang belum terasah. Pelatih Juventus, Maurizio Sarri, dan bos timnas Belanda, Ronald Koeman, tak pernah berhenti memberikan perlindungan kepada De Ligt.
Hal yang sama dilakukan oleh tandem sekaligus seniornya di jantung pertahanan Bianconeri, Leonardo Bonucci. Ia sama sekali tak ragukan potensi yang dimiliki oleh eks kapten Ajax itu dan meminta publik untuk tidak mengkritiknya lagi.
"Takdir De Ligt sudah ditentukan. Dia mengalami kesulitan seperti halnya kami, namun dia seharusnya dibiarkan sendiri. Dia punya kualitas untuk menjadi, jika bukan yang terbaik, salah satu bek terbaik di dunia," ujar Bonucci kepada Tuttosport.
"Dia membuat kesalahan, seperti yang saya lakukan di masa lalu dan semua orang secara umum: itu tak terhindarkan," lanjut pemain yang pernah memperkuat AC Milan tersebut.
Bonucci menganggap bahwa masalah De Ligt hanyalah kekurangan pengalaman saja, berhubung usianya masih terlalu belia. Ia yakin, cepat atau lambat, De Ligt akan segera memenuhi harapan yang disematkan publik terhadap dirinya.
"Menggunakan seragam ini memberi tekanan kepada Anda dan dia melakukannya di umur 20 tahun, bertahan secara zonal setelah menghabiskan seluruh karirnya bermain man-to-man. Hanya butuh waktu," tambahnya.
"Bahkan melawan Lokomotiv Moscow, dia bermain dengan sangat baik. Dia juga manusia. Namun, dengan pengalaman, dia akan menjadi bek terbaik di dunia," tambah kapten timnas Italia itu.
Musim lalu, peforma De Ligt sangat luar biasa. Di usia 19 tahun, dia menjadi kapten Ajax Amsterdam yang dihuni banyak pemain senior. Dia menjadi benteng kokoh di lini belakang dan sering menjadi pahlawan dengan gol-golnya saat berada di kotak penalti lawan. Bersamanya, Ajax dibawa lolos hingga ke semifinal Liga Champions, dan double winner di Liga Belanda. Di timnas Oranje, dia juga menjadi salah satu bintang hingga kini.
Permainan menawan itu membuat banyak klub besar kepincut kepadanya. Barcelona, Real Madrid, Manchester United hingga Bayern Muenchen menunggu tanda tangannya. Namun dia memilih terbang ke Turin dan bermain untuk Juventus. Alasannya satu. Dia ingin bermain dengan Cristiano Ronaldo.
Sayangnya, perubahan taktik dan strategi menjadi masalah baginya. Di Ajax dia terbiasa dengan strategi bertahan man to man marking (penjagaan per pemain lawan), sedang di Juventus Maurizio Sarri, sang pelatih, lebih mengutamakan sistem bertahan zona marking yang membuat para pemain bertahan tidak terfokus pada sosok pemain lawan, tetapi pada semua pemain yang masuk kotak penalti.
Akibatnya, De Ligt sering keteteran dan acapkali membuat kesalahan yang berbuah gol lawan. "Tak masalah dia melakukan kesalahan karena dia memang harus banyak belajar," kata pelatih timnas Oranje, Ronald Koeman.(footballitalia/mail/berbagai sumber)
Editor: Firman Agus