JAKARTA (RP) - Para saksi yang dihadirkan dalam sidang dugaan korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat (24/5) malam, mementahkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Saksi ahli, Sri Haryati Suhardi, yang dihadirkan mengatakan bahwa tenggat waktu 14 hari tidak dapat dijadikan ukuran keberhasilan proses bioremediasi.
“Empat belas hari bukan acuan, karena tingkat keberhasilan diizinkan hingga delapan bulan,” kata Sri Haryati, yang bersaksi untuk terdakwa Koordinator Tim Environmental Issues Seatlement SLS Minas PT Chevron, Kukuh Kertasafari.
Penegasan ahli bioremediasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu menyanggah dakwaan JPU yang mematok waktu 14 hari untuk menentukan berhasil tidaknya proses bioremediasi.
Dalam dakwaan disebut karena tidak terjadi penurunan TPH dalam 14 hari dan tidak ada mikroorganisme pendegradasi minyak, proses bioremediasi dinyatakan nihil.
Sri menjelaskan, 14 hari merupakan waktu bagi mikroba bekerja mendegradasi limbah minyak pada tanah tercemar.
Kepmen 128/2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi, juga tidak mengatur batas minimal proses bioremediasi. “Dalam prakteknya, maksimumnya delapan bulan,” tegasnya.
Menurut Sri Haryati, Kepmen 128/2003 mewajibkan pemeriksaan persentase kandungan minyak mentah pada tanah tercemar atau Total Petroleum Hydrocarbon per dua pekan. Pengecekan minimal dilakukan 3 kali untuk melihat konsistensi hasil uji. “Kalau TPH sudah di bawah 1 persen, kita bisa nyatakan bioproses bisa dihentikan,” ujarnya.
Seperti diketahui, CPI bersama Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan instansi-instansi pemerintah terkait serta ahli-ahli di bidang lingkungan merintis program bioremediasi di Indonesia sebagai metode pembersihan tanah yang aman dan ramah lingkungan.
Program yang dijalankan sejak 1994 itu digelar untuk mendukung pemerintah RI mencapai target produksi minyak nasional.
PT Chevron telah mengklaim biaya bioremediasi kepada pemerintah Indonesia melalui BP Migas sejak tahun 2003, karena program itu termasuk dalam cost recovery.
Tetapi pada 2006, proyek ini dituding fiktif, karena perusahaan subkotraktor (PT Green Planet Indonesia dan PT Sumigita Jaya), pelaksana proyek ini, hanyalah kontraktor umum. Kejaksaan Agung memperkirakan kerugian negara akibat proyek fiktif ini sekitar USD 23,36 juta.
Pada Maret 2012, Kejaksaan Agung menetapkan tujuh orang tersangka. Lima di antaranya penanggung jawab proyek dan manajer dari PT Chevron. Mereka adalah Endah Rumbiyanti, Widodo, Kukuh, Alexiat Tirtawidjaja, dan Bachtiar Abdul Fatah. Dua orang lainnya adalah direktur dari perusahaan rekanan, Herlan, direktur pada Perusahaan Kontraktor PT Sumigata Jaya, dan Direktur PT Green Planet Indonesia Ricksy Prematuri. (boy/jpnn)