CATATAN OLAHRAGA

Siapa Boneka Siapa? Oleh Hary B Kori'un

Olahraga | Jumat, 23 Maret 2012 - 07:20 WIB

Jika Anda orang Indonesia dan pecinta sepakbola Indonesia —terserah dari golongan dan kelompok mana—  apakah Anda setuju dengan Manifesto PSSI-Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) pimpinan La Nyala Matallitti ini? Di Poin 7 disebutkan:

 “Daripada menyerah dan melakukan rekonsiliasi, lebih baik menerima sanksi FIFA dengan alasan yang menerima sanksi bukan hanya klub pendukung KPSI, tapi juga seluruh anggota PSSI”.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Mulanya saya tak percaya ada manifesto semacam ini dari sebuah lembaga yang ingin menyelamatkan sepakbola Indonesia.

Tetapi, ketika hal ini ditulis di hampir semua koran mainstream nasional,  termasuk koran-koran yang selama ini membela KPSI maupun yang membela PSSI pimpinan Djohar Arifin, mau tak mau kita harus percaya.

Meski akhirnya KPSI meralat itu bukan manifesto mereka dan menuduh sengaja disebarkan oleh orang-orang yang selama ini tidak suka dengan KPSI, masyarakat sudah terlanjur tersakiti.

Jika dibuat orang-orang yang tak suka dengan KPSI, mengapa di koran-koran pendukung KPSI yang kredibilitas media dan wartawannya selama ini relatif baik, juga dimuat?

Sepakbola Indonesia kini telah menjadi komoditas politik dan alat untuk mendapatkan keuntungan yang tak ada hubungannya dengan sepakbola itu sendiri. Dulu, K-78 bekerja keras menjatuhkan rezim Nurdin Halid karena selama kepemimpinannya sepakbola Indonesia tak beranjak dari “dasar klasemen FIFA” alias selalu berperingkat buncit dan dia menjadikan PSSI sebagai kendaraan politik, kini K-78 terpecah.

Orang-orang seperti La Nyala, Tony Apriliani, Roberto Row, Harbiansyah Hanafiah dan yang lainnya, tidak puas dengan kinerja Djohar yang dianggap sudah tak taat statuta dan terlalu taat kepada pengusaha Arifin Panigoro.

Salah satu yang disesalkan adalah penambahan jumlah klub kompetisi kasta tertinggi dan mengubah operator kompetisi dari Badan Liga Indonesia (BLI) yang menggulirkan Indonesia Super League (ISL)  ke PT Liga Prima Sportindo (LPIS) yang menggulirkan Indonesia Premier League (IPL). Dua hal itu dianggap kesalahan fatal dan tak bisa dimaafkan.

Dan yang terjadi kemudian,  mereka tetap menggulirkan ISL dengan menarik klub-klub yang mendukung. Banyak klub dan pemain terbaik Indonesia akhirnya ikut ISL, dan dualisme kompetisi kembali terjadi. Kemudian, sebagai induk organisasi yang legal dan formal baik dari AFC dan FIFA maupun pemerintah, PSSI —setelah berkonsultasi dengan FIFA dan berdasarkan statuta FIFA— tidak mengizinkan pemain-pemain yang berkompetisi di luar PSSI, tak bisa membela tim nasional.

Keputusan PSSI ini mendapat banyak kecaman karena yang terjadi kemudian timnas kita dicabik-cabik Bahrain 10-0 dalam pertandingan terakhir Pra Piala Dunia 2014 Zona Asia.

Sebenarnya, FIFA masih melonggarkan: sebelum ada keputusan resmi, para pemain yang bermain di kompetisi di luar federasi masih bisa membela timnas. Malaysia masih membolehkan Safee Sali yang bermain di Pelita Jaya memperkuat negaranya.

Begitu juga beberapa pemain Singapura. Masalahnya adalah, friksi antara PSSI dan kelompok yang kemudian membentuk KPSI sudah semakin tajam, dan PSSI kukuh tak mau melunak dengan alasan takut sanksi FIFA.

Yang terjadi kemudian, ketika PSSI melakukan kongres tahunan di Palangkaraya, KPSI juga melakukan Konggres Luar Biasa (KLB) di Ancol. Di sana, La Nyala Mattalitti yang selama ini selalu bersuara keras sebagai simbol perlawanan, diangkat menjadi Ketua PSSI versi KPSI, dan muncullah 7 manifesto mereka yang salah satunya saya kutip di atas, meski kemudian mereka mengatakan itu tak benar dan mereka mengeluarkan manifesto yang sebenarnya.

Yang menarik adalah, dalam beberapa kesempatan La Nyala mengatakan bahwa perjuangannya melawan PSSI murni dari hati nurani. Ini menjawab tudingan banyak orang bahwa Nirwan D Bakrie berada di belakang dirinya, termasuk yang membiayai klub-klub ISL saat ini. “Demi Allah, saya tak kenal Nirwan D Bakrie saat melawan PSSI,” kata La Nyala seperti dikutip banyak koran dan televisi.

Namun, sebelum pemilihan Ketua PSSI-KPSI, dia mengatakan:

 “Saya mau dicalonkan sebagai ketua kalau digandengkan dengan Rahim Soekasah karena dia dekat dan yang paling mengerti pemikiran Nirwan  Bakrie...” Jadi? Anda bisa menilai sendiri.

Selama ini, Djohar Arifin Husein dianggap sebagai bonekanya Arifin Panigoro, pengusaha minyak yang membiayai LPI (saat melawan Nurdin Halid)  hingga PSSI hari ini setelah dana dari pemerintah dibekukan.

Dan bagian lain, KPSI selalu mengatakan bahwa mereka tak punya hubungan apa-apa dengan Nirwan Bakrie, karena tujuannya tulus untuk menyelamatkan sepakbola Indonesia. Kini, semua orang tahu dan bisa menilai sendiri, siapa yang menjadi boneka siapa...

Sebagai pecinta sepakbola Indonesia, saya tak rela orang-orang oportunis atau Brutus, baik yang di PSSI atau di KPSI, menghancurkan sepakbola kita.

Semuanya sudah cukup, rakyat Indonesia sudah bosan dengan retorika atau dialektika yang diucapkan orang-orang yang mengaku mengerti sepakbola Indonesia.  

Bayangkanlah, jika Arifin Panigoro dan Nirwan Bakrie disatukan untuk membangun sepakbola Indonesia yang terbebas dari rasa dendam dan sakit hati di masa lalu, pasti sepakbola Indonesia akan lebih baik lagi.

Masalahnya, apakah ego masing-masing bisa dibuang demi membangun Indonesia yang kita cintai ini? Semoga bisa.***

hary.bk@gmail.com









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook