JAKARTA (RP) - Penampilan tim nasional (timnas) U-19 Indonesia menyemaikan kembali harapan bahwa sepak bola Indonesia bisa menjejak pentas dunia.
Menengok sejarah, fenomena ini bukan yang pertama. Sebelumnya perjalanan timnas selalu diwarnai tunas harapan yang tumbuh, mekar, sayangnya kemudian layu sebelum berkembang. Bagaimana caranya agar siklus kelam itu tidak terulang
Persepakbolaan Indonesia pernah melakukan terobosan besar dalam pembinaan dengan program PSSI Primavera. Dengan harapan lolos ke pentas Olimpiade 1996, program yang dimulai pada 1993-1994 hingga 1995-1996 itu berakhir dengan tangan hampa.
Ketika itu pemain-pemain pilihan di bawah usia 19 tahun dikirim ke Italia untuk mengikuti kompetisi level junior yang bernama Primavera.
Namun, tidak ada satu pun di antara tiga program PSSI, mulai Primavera, Primavera Baretti, dan Baretti, yang bisa meraih prestasi, minimal di level Asia Tenggara.
Emas di SEA Games 1991 Manila tidak mampu diulangi dan sampai akhir program tersebut, belum ada prestasi sepakbola Indonesia yang bisa dibanggakan. Di ajang Piala Asia U-19 pun mereka hanya mampu berjuang sampai babak penyisihan grup di edisi 1994.
Primavera kemudian menjadi penyuplai tetap para penggawa Timnas pada tahun-tahun berikutnya. Nama-nama tenar seperti Kurniawan Dwi Julianto, Kurnia Sandy, Bima Sakti, Uston Nawawi, Charis Julianto, Elie Aiboy, dan Nova Arianto menjadi bukti alumnus program yang dijalankan saat PSSI berada di bawah komando Azwar Anas itu.
Bima Sakti Tukiman, salah seorang mantan pemain Timnas Primavera sekaligus kapten tim, mengakui bahwa generasi Evan Dimas Darmono saat ini lebih baik ketimbang generasi Primavera di eranya dahulu.
“Kalau dibandingkan dengan era Primavera, mereka jelas lebih bagus dari sisi prestasi,” ujar Bima kepada JPNN.
Menurut pemegang ban kapten timnas Garuda sepanjang satu dekade tersebut, untuk terus menjaga prestasi puncak timnas U-19, pembinaan harus dilakukan bukan hanya dari sisi teknis. Tempaan mental juga perlu diperhatikan.
“Tidak ada salahnya jika mencoba kembali proyek seperti Primavera dengan mengirim pemain-pemain itu ke Italia atau negara-negara luar lainnya,” tutur mantan pemain PSPS ini.
Entah sekadar mengikuti pertandingan atau kompetisi di sana. Atau bahkan melakukan training camp. Menurut Bima, itu menjadi bagian dari penambahan jam terbang dan pematangan mental para pemain Timnas U-19 tersebut.
“Yang jelas, mereka memerlukan kompetisi reguler sehingga berikutnya bisa lebih matang,” terangnya.
Gelandang bertahan yang kali terakhir memperkuat klub Persepar Palangkaraya itu mengatakan, dirinya mujur pernah merasakan bagaimana ketatnya kompetisi level Primavera atau di bawah umur 19 tahun di klub Sampdoria (Italia). Secara iklim kompetisi, ungkap dia, liga di luar negeri jelas berbeda dengan di dalam negeri.
Tapi, itu dulu, saat sepakbola Indonesia tidak seramai sekarang. Saat ini banyak kompetisi di kelompok usia yang diselenggarakan secara rutin tiap tahunnya.
“Yang penting, mereka jangan sampai dipisahkan. Biarkan kekompakan mereka tetap terbangun sampai pada level senior,” imbuhnya.
Jika Bima Sakti lebih menyoroti pentingnya pembinaan mental, mantan pemain Primavera edisi pertama Irwan Fahrezie justru mengingatkan bintang muda timnas agar berhati-hati terhadap banyaknya tawaran bergabung, terutama dari klub-klub sepakbola.
“Dari sisi komersial, tentu itu tawaran yang menggiurkan bagi pemain-pemain muda tersebut,” ungkap Irwan.
Memang tawaran itu menjanjikan gaji besar di depan mata. Hanya, gaji tersebut hendaknya tidak mereka jadikan standar untuk menentukan pilihan.
“Yang lebih penting tentu level kompetisi yang sesuai dan menantang kemampuan mereka. Dengan bermain di bukan levelnya, bukan tidak mungkin celaka yang akan mereka dapatkan,” ujar Irwan.
Peringatan Irwan ini berkaca pada pengalamannya sendiri. Di usia yang masih sebaya penggawa Timnas U-19, Irwan sudah membela klub Galatama Mataram Indocement.
Maklum, kala itu penampilan Irwan muda mampu menarik perhatian klub-klub Galatama. Di sisi lain, kebanggaan baginya bisa bermain di Galatama.
Tapi, belum satu musim bermain, Irwan mengalami insiden ketika menghadapi Mitra Surabaya di Stadion Gelora 10 November, Tambaksari, Surabaya.
Kakinya ditebas dengan keras oleh salah seorang pemain lawan. Alhasil, cedera ligamen parah membuatnya harus naik meja operasi.
“Sebenarnya, seusai operasi itu, saya masih bisa bermain lagi. Tetapi, ada sedikit rasa trauma bagi saya setelah cedera itu. Trauma bukan karena cederanya, melainkan karena melihat rendahnya perhatian klub saat saya cedera. Bayangkan, saya harus membiayai sendiri perawatan cedera saya itu,” bebernya.
Nah, selepas tidak menjadi pemain sepakbola, Irwan kembali ke bangku kuliah di salah satu PTS di Jakarta. Pemain yang biasa menjadi pengganti Bima Sakti di lini tengah itu pun banting setir ke dunia televisi sebagai kamerawan.(ren/c9/kim/das)