Wawancara Pemain Timnas Voli Farhan Halim: Jari Putus Justru Menguntungkan

Olahraga | Rabu, 16 November 2022 - 04:00 WIB

Wawancara Pemain Timnas Voli Farhan Halim: Jari Putus Justru Menguntungkan
Pemain Timnas Indonesia dari klub Pasundan, Farhan Halim. (ANGGER BONDAN/JAWA POS)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Karier Farhan Halim terus menanjak. Pemain bola voli asal klub Pasundan tersebut sempat bermain di klub Uni Emirat Arab, Hatta Club Dubai.

Sebelumnya, dia ikut berkontribusi atas kesuksesan Jawa Barat meraih emas voli PON XX Papua. Farhan juga menjadi bagian penting Tim Nasional Indonesia saat meraih emas SEA Games 2021.


Atas kualitas servisnya, pemain 21 tahun itu juga terpilih sebagai best server Proliga 2022. Apa obsesinya pasca-Livoli Divisi Utama? Berikut wawancara Farhan dengan wartawan Jawa Pos Rizka Perdana Putra.

 

Awal main voli dulu seperti apa ceritanya?

Dari TK sebenarnya aku nggak main voli, tapi badminton, delapan tahunan sampai kelas 2 SMP. Tapi karena sudah malas main badminton dan terkendala prestasi juga, akhirnya ikut sama bapak. Kebetulan ibu bapak juga main voli dan di dekat rumah bikin lapangan voli. Dari situ awal sukanya.

 

Dulu sempat kecelakaan hingga kelingking dan jari manis kiri putus?

Iya, SD kelas 4.

 

Jari putus itu sempat jadi gangguan nggak ketika awal bermain voli?

Nggak sih, dari awal pas kejadian juga nggak. Jadi dulu langsung dibawa ke rumah sakit. Ibu inginnya disambung, sedangkan aku dengar kemungkinannya fifty-fifty, terus biayanya mahal, satu jari bisa Rp114 juta. Lha aku kan dua jari, berarti kali dua.

Lalu saya bilang ke ibu, nggak apa-apa gini saja. Ibu bilang ‘Ntar adek malu’. Ah nggak memang sudah dari sananya, sudah takdirnya, gini aja nggak apa-apa. Akhirnya nggak jadi operasi buat disambung, cuma dirapihin aja. Sampai sekarang nggak keganggu kok, malah menguntungkan.

 

Kok bisa menguntungkan?

Kalau misal mau blok ada jarinya malah touch ball kan, sedangkan aku lewat ha..ha..ha. Ini bener, sering kayak gitu, jadinya bola out. Bukannya menghibur diri sendiri, cuma ya sudahlah, aku juga nggak malu, ya sudah biasa saja.

 

Lalu, kapan gabung klub Pasundan?

Kelas 3 SMP, setelah setahun latihan di rumah sama bapak. Di dekat rumah juga ada pelatih, kenal sama libero M Ridwan. Dia sempat satu kuliah juga sama M Ridwan. Dia nawari ayo coba aja di klub siapa tahu suka. Pas coba eh kok beda ya di sini (Pasundan, red), welcome senior-seniornya.

 

Saat itu langsung masuk asrama dan dapat beasiswa?

Iya langsung (dapat keringanan). Malah pas SMP full nggak bayar. Masuk nggak bayar, seragam nggak bayar, pas SMA cuma bayar buat baju doang. Baju olahraga, batik, sejutaan, sudah. Sampai beres, bayar SPP juga cuma Rp100 ribu, kalau normal sekitar Rp500 ribu.

Sekarang kuliah nggak mikir buat semesternya, cuma buat bayar bangunan sama lab, itu doang. Nanti sampai wisuda sudah nggak usah bayar lagi.

 

Bersama Pasundan juara Livoli Divisi 1 2019, seperti apa ketika itu?

Itu aku main final doang. Aku sakit tipes, sudah suntik dua kali nggak mempan, infus nggak mempan. Akhirnya mempan pakai obat cacing, memang biasa orang kampung kali ya ha..ha..ha. Pakai madu, sama telor ayam kampung pakai susu beruang, habis itu sembuh, final aku main. Itu pertama kali Pasundan juara (Livoli Divisi Satu), akhirnya sekarang bisa main di sini (Divisi Utama, red).

 

Pertama kali ikut Proliga tahun 2019, perjuangan masuk tim inti saat itu bagaimana?

Awalnya masuk Jakarta Pertamina juga nggak langsung, seleksi dulu, aku diajak libero M Ridwan. Setelah masuk jadi tahu persaingan di tim Proliga, dari awalnya di luar, terus masuk cadangan, lumayan berat lah buat saya.

Saat itu asingnya ada (Vugar) Bayramov, (Alexander) Minic. Lokalnya ada mas Doni (Haryono), Mas Agung Seganti, Oky Setia (Primadi), Ryno (Viagustama). Senior-senior kan, aku paling muda, makanya susah banget.

Cuma aku mikirnya kalau sudah di lapangan sama saja. Bukan nggak nganggap senior dan junior, saya tetap sopan, cuma dengan pemikiran seperti itu, jadi lumayan bisa lepas.

 

Ada sesuatu yang diambil dari pemain senior?

Pasti. Setiap latihan saya lihat cara mereka bermain. Kalau bola gini, caranya passing seperti ini, ngebloknya seperti ini. Setiap apa yang mereka lakuin ya saya liatin, kadang saya tiru juga, atau aku modifikasi.

Tapi, sebenarnya ke semua pemain juga gitu, termasuk yang usianya di bawah aku juga. Aku serap, aku amati, jadi belajar ke siapapun.

 

Di antara pemain senior Jakarta Pertamina, kamu paling dekat kepada siapa?

Jarang ada yang dekat sih. Kalau waktu itu aku malu-malu. Aku orangnya pemalu sih sebenarnya ha..ha..ha… Jadi belajar berdasar pengamatan, kalau cocok dipakai terus, kalau emang nggak cocok di aku ya sudah nggak usah dipakai.

 

Soal serve, awalnya nemu gerakan serve unik itu bagaimana?

Awalnya aku lempar tinggi kayak Cep (Indra), mas Rivan (Nurmulki), mas Doni, seperti jump serve biasanya. Cuma waktu itu tahun 2018 ada pelatih Porprov, Om Agus Bruno bilang, ‘Han, coba lempar pendek aja.’

Awalnya susah, out, nyangkut, out, nyangkut, nggak pernah pas ke tangan. Dari situ nyoba-nyoba terus, nggak diubah, akhirnya nemu. Cuma sekarang belum full enak juga sih, masih cari-cari, tapi awalnya dari 2018-an.

 

Masuk timnas pertama kali di SEA Games Hanoi Vietnam, bagaimana ketika itu?

Pas beres Proliga, selang beberapa hari langsung ada panggilan. Saya langsung dimasukin ke grup. Apa nih? Ternyata timnas. Kaget juga, karena awalnya ada kabar seleksi dulu, tapi pas dilihat (grup WhatsApp) pemainnya kok 14, wah ini langsung nih. Kaget tapi bangga juga masuk timnas. Siapa juga sih yang nggak mau.

Pas sudah berangkat eh kok aku langsung main. Alhamdulillah nggak harus nunggu cadangan dulu. Tapi senior-seniornya baik-baik sih, support banget.

 

Sebelum itu main di Dubai, Uni Emirat Arab? Dari agen Wibi Anhari ya?

Iya mas Wibi. Dulu pas Proliga vakum bingung kan, latihan di rumah sendirian malas. Terus awalnya kalau nggak salah Mas Doni DM Instagram, ‘Han ada yang butuh pemain’. Kirain tarkam. Main di mana Mas? ‘Di Dubai’. Wah jauh banget, asli Mas? ‘Asli.’

 

Terus selang beberapa hari Mas Wibi telepon, ‘Mau nggak main di sana (UEA)?’ ‘Ini Wibi manajernya Rivan’. Oiya mas, aku izin dulu ke orang tua. Terus pas covid sudah agak reda, Proliga nggak jadi, ya sudah berangkat aja ke sana.

 

Di kompetisi tertinggi?

Awalnya main di junior, sekitar dua bulanan, jadwalnya junior main hari Kamis, senior main hari Jumat. Terus satu waktu dikabari kalau aku Jumat main. Akhirnya ikut senior juga, double job. Di junior main di senior juga main.

 

Kontrak awal di junior?

Iya, awalnya di sana. Terus aku main di senior juga, double job, gaji masih sama. Tapi, ya sudahlah ini buat diri sendiri juga. Di sini mau pulang juga jauh, bahasa Inggris juga belum lancar-lancar banget, ya sudah jalani saja.

 

Kontrak empat bulan?

Iya, empat bulan, karena aku datangnya pas tengah musim, kalau di luar kan biasanya delapan bulan, pas aku datang sudah empat bulan.

 

Seberat apa lawan-lawan di sana?

Kalau sama Indonesia masih berat Indonesia, karena kalau di sana seperti hobi. Kalau di sini bisa jadi mata pencaharian, kalau di sana yaudah biar sehat aja. Memang ada beberapa klub yang membina, cuma kebanyakan aku melihat sekadar hobi aja.

 

Jadi pengalaman apa yang diambil selama di Dubai?

Lihat pemain dari luar, nambah teman juga, sering dikasih tahu, sering ngobrol. Terus hidup sendiri. Di Indonesia kalau pulang latihan kita tinggal makan pergi ke tempat makan, di hotel juga bisa makan.

Kalau di sana pulang latihan kita yang masak sendiri, laundry cuci baju sendiri. Itu pengalaman lumayan berharga. Di luar negeri, ada keterbatasan bahasa juga.

 

Nah, bagaimana mengatasi kendala bahasa?

Kadang aku kalau ngobrol sambil pegang hape. Apa yang mau diobrolin diketik dulu, di-translate, nah baru ngomong ke dia. Kalau baca lumayan bisa, cuman kalau kosakata yang dihafal baru sedikit.

 

Siapa pemain idolamu?

Earvin N’Gapeth, pemain Prancis nomor 9, karena mainnya gila. Makanya aku pakai nomor 9.

 

Oh jadi nomor 9 dari situ?

Karena kebanyakan kalau aku lihat pemain dunia, nomor 9 bagus-bagus. Makanya coba ah nomor 9. Terus pas Proliga pertama, yang kosong nomor 9, jadi pas. Ya sudahlah 9 aja. Tapi ya nggak matok harus 9 terus sih, nggak, bebas aja.

 

Harapan ke Pasundan dan diri sendiri?

Pasundan tahun ini pertama kali stay di Livoli, setelah sebelumnya keluar, masuk, keluar, masuk (promosi degradasi). Harapannya tetap kompak, tetap saling jaga komunikasi apapun yang terjadi. Kalau buat sekarang ingin juara, terus ya lebih baik lagi lah ke depannya.

Kalau buat saya pribadi jangan pernah merasa puas. Sering ingetin diri sendiri, jauh-jauhin lah sama sombong, iri pada orang lain, karena sudah ada porsinya masing-masing, jauh-jauhin dari itu. Harapannya bisa main di luar, kalau bisa sampai ke Eropa, ke Italia, biar beli vespa murah ha..ha..ha…

Saya lumayan suka Vespa. Di sana mungkin murah, jadi bisa bawa pulang banyak ha…ha..ha. Itu sih harapannya, dan tentu juga berharap bisa banggain orang tua.

 

Sumber: Jawapos.com

Editor: Edwar Yaman

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook