Bila mendengar kata PSPS Pekanbaru, dada saya berdegup kencang, bulu kuduk berdiri. Apatah lagi, bila kata itu bersambung dengan kondisinya yang memprihatinkan. Seperti yang dilansir MetroTVNews.com dengan judul "PSPS Pekanbaru Bangkrut". Judul yang fantastis dibanding media lain. Berani menyimpulkan dari kondisi terkini PSPS, yang belum bisa membayar gaji pemainnya 5 sampai 6 bulan. Bahkan pelatih kepalanya, Mundari Karya mengaku tak bergaji sejak musim kompetisi tahun lalu. Lalu ketika tur ke Papua, hanya membawa 11 pemain, dua diantaranya kiper. Sehingga salah satu kiper pun dipaksa menjadi bek kanan. "Diambil alih" pun oleh Bupati Kampar, Jefry Noer, ternyata tidak membuat membaik. Gaji pemain tetap juga belum terselamatkan. Mundari pun kecewa, karena Jefry hanya mau membayar gaji, jika menang saja. Maka, jadilah PSPS hanya sekedar diselamatkan untuk berpindah markas tanding saja dari Pekanbaru ke Bangkinang, Kampar. Bukan diselamatkan secara keseluruhan. Memori saya pun kembali ke zaman tahun 90-an. Persisnya diawal tahun 1992. Saat bersama Mohd Saleh AS (almarhum) mengangkat meja panitia kompetisi antarklub internal PSPS Pekanbaru. Kami berdua duluan datang ke Stadion Hang Tuah. Belum ada pemain, wasit apalagi pemain yang akan bertanding datang. Masa itu, PSPS masih divisi 2, yang selalu saya istilahkan di setiap pemberitaan Riau Pos, divisi kampung. Tak banyak yang "melirik" PSPS saat itu. Pak Saleh AS, yang semua "merangkap" meski jabatan sebenarnya Sekretaris Umum PSPS, harus bolak-balik ke sana kemari dengan sepeda tuanya, menemui petinggi PSPS. Ada masa petingginya Komandan Kodim, ada masa juga Wali Kota. Jika sepeda Pak Saleh parkir di kedua instansi tersebut, itu tanda beliau lagi mati-matian mengurus dana. Tapi beliau pandai menutup masalah, ketika saya konfirmasi. Namun saya tahu mengakali pemberitaannya. Tak menyebutkan, beliau sumbernya. Jadilah judulnya cara aman, "PSPS belum pastikan ikut kongres PSSI" atau "PSPS masih nunggu jadwal PSSI". Padahal, fax jadwal pertandingan telah saya lihat sendiri. Cuma, Pak Saleh belum bisa pastikan ikut atau tidak, karena dana belum ada. Jika "hasil" pemberitaan itu "berbuah", maka sehari sebelum berangkat, dihubunginyalah saya. Senang hati, dapat berita, yang berarti produktifitas saya sebagai reporter junior ada terus setiap hari untuk berita olahraga lokal Pekanbaru dan Riau. Dan jika beliau pulang dari kongres PSSI, tak lupa selembar kaos cendera mata saya dapatkan. Saking tak ada dananya PSPS, saya tahu diri untuk tak ikut tim ketika bertanding. Lagi pula, saya pun terbentur jadwal kuliah. Namun saat tim bermain di Muara Bungo, Jambi, saya memohon ikut. Alasannya, ingin sekalian melihat nenek yang berada di Kota Jambi. Terasa saat itu, cara menghemat dananya gaya tur PSPS. Bukan hanya berangkatnya menggunakan bus, makan pun pakai nasi bungkus. Tapi saya bangga. Betapa tidak, itulah momen bisa makan bersama pemain idola yang juga dosen saya sendiri, Irmaidi. Jika di kampus saya panggil bapak, di luar saya panggil abang. Masa itu, saya tahu bedanya ikut tim PSPS dan PS Minas di kompetisi Divisi 2 tahun 1992. Saat lebih hampir dua minggu mengikuti PS Minas bermain di Cimahi. Menikmati sarapan, makan siang dan malam prasmanan di hotel. Bukan nasi bungkus. Karena pernah merasakan petualangan mengikuti kedua tim yang di zaman 90-an selalu bersaing merebut juara Riau itu, saya punya impian berkeliling Indonesia bersama PSPS. Pasti dahsyat, sampai ke Irian Jaya (saat itu belum disebut Papua). Berapa kali naik pesawatnya tu, pikir saya. Impian yang mendekati kenyataan di era 1995. Saat Iskandar Hoesin, orang gila bola asal Aceh ditugaskan jadi Kakanwil Transmigrasi Riau. Mulailah PSPS menapak Divisi 1. Tapi sayang, saat mulai terbuka peluang besar keliling Indonesia itu, saya sudah jadi orang di belakang meja. Tak jadi reporter di lapangan lagi. Jadi harus tahu diri. ### "Sporter jln terakhir utk menyelamatkan tim ini tp hrs mencontoh AREMANIA yg malu nonton gratis&minta hrg tiket dinaikan saat Arema krisis". Itu status twitter Tharjaki Lubis, @TharjakiLubis pada 8 April 2013. Dia mantan kiper PSPS di era berjuang di Divisi 1. Asli anak Pekanbaru. Yang terus mentradisikan bahwa kiper PSPS mulai dari Irmaidi, Indra Surya hingga dirinya adalah kiper lokal. Kini Tharjaki Lubis, asisten pelatih kiper PSPS. "Spt jack mania, minta dukungan ke penguasa negeri/perusahaan di riau agr turut peduli secara langsung,no anarkis,mrk diam jk kita diam." Begitu lanjutan statusnya di hari yang sama. Sebuah keprihatinan, dari melihat tak ada satu pun pemimpin di Pekanbaru peduli lagi pada kondisi PSPS. Termasuk wali kotanya Firdaus MT. Jadi, harapan itu hanya pada suporter. Hmm, meski sekarang dana APBD tak boleh dikucurkan untuk klub profesional, seorang walikota memang selayaknya memperhatikan tim sepak bola yang telah mampu merekatkan berbagai budaya di Pekanbaru, untuk satu dukungan ke PSPS. Meski juga sekarang, PSPS telah berbentuk sebuah Perseroan Terbatas (PT), rasanya, tetap harus ada kepedulian. Apalagi, Firdaus pernah terucap janji politiknya untuk membangkitkan PSPS saat dia mencalonkan diri jadi wali kota. Selayaknya, Firdaus "memanfaatkan" PSPS untuk mendongkrak dan memelihara terus kebanggaan atas produk kotanya. Jangan lagi kembali seperti era PSPS belum ada apa-apanya. Apalagi ketika bertanding dengan tim Sumatera Barat, suporter lebih banyak dari pihak lawan, malah tim PSPS disoraki sendiri oleh warga Pekanbaru. Coba lihat kini, siapapun lawannya, dan apapun kondisi PSPS, pendudukung tetap setia. Bahkan, terbentuk banyak perkumpulan suporter. Tak selayaknya pula, saya mengajari Firdaus untuk "menyiasati" penyelamatan PSPS dengan kebijakannya. Tentu sebagai seorang pemimpin pemerintahan, dia tahu apa yang bisa dimanfaatkan dari potensi ekonomi daerahnya. Dan tahu juga, apa isi hati masyarakat Pekanbaru, baik yang suka dengan PSPS atau pun yang tak suka. Mereka semuanya prihatin dengan keadaan PSPS. Bagaimanapun, karena PSPS bisa menembus level tertinggi sepak bola nasional-lah, maka perkembangan olahraga secara umum di Riau makin semarak. Sehingga ada juga klub basket yang disponsori, hingga puncaknya berani menjadi tuan rumah PON 2012, yang sekaligus membangkitkan semua cabang olahraga. PSPS sebagai salah satu tim perserikatan yang berada di Liga Super Indonesia (LSI), adalah salah satu tim yang konsisten melahirkan pemain bintang yang berasal dari Riau sendiri. Untuk posisi kiper, sebelum Tarjaki ada Indra Surya. Sesudah Tarjaki muncul, Fance Haryanto. Belum habis era Fance, telah muncul pula Susanto, yang ternyata juga bisa jadi bek kanan itu. Lalu ada nama Ambrizal yang sekarang kapten, yang meneruskan tradisi abang sekampungnya, Miskardi. Lalu ada Isnaini, yang mampu bersaing dengan striker asing. Bandingkanlah dengan satu tim Sumatera lainnya yang juga bermain di LSI, Sriwijaya FC. Memang tim penuh juara. Tapi tak ada melahirkan pemain lokal asli Sumatera Selatan. Melihat tradisi seperti itulah, ribuan anak-anak SSB di Riau termasuk di Kepri, berharap juga bisa masuk PSPS. Tentulah akan tumpah tangisan mereka, bila PSPS akhirnya makin pindah jauh dari Riau karena bertukar kepemilikannya. Ayo suporter, jalankan harapan terakhir menyelamatkan PSPS! ***