CATATAN HARY B KORIUN

Jangan Ada Dendam di Antara Kita

Olahraga | Jumat, 14 September 2012 - 08:37 WIB

Dengan semangat persaudaraan dan “mempersatukan bangsa” —menurut istilah Presiden SBY saat membuka PON 2012 dan sebenarnya juga menjadi esensi dasar PON sejak awal di Solo tahun 1948— mestinya semua orang sepakat bahwa kejujuran dan fair play adalah yang utama.

Tetapi, nampaknya, persaudaraan dan “mempersatukan bangsa” tersebut belum menjadi semangat yang sama-sama dipahami. Masih tersimpan dendam di antara kita.

Baca Juga :Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Nelayan yang Sedang Melaut

Kekisruhan terjadi di beberapa cabang akibat ketidakpuasan para peserta. Cabang sepakbola menjadi cabang yang paling mengemuka karena sejak awal penyelenggaraan hingga saat ini, masih menyisakan persoalan yang susah dicari jalan keluarnya.

Pertikaian di luar arena PON, terbawa sampai ke sini. Yakni rivalitas yang belum berakhir antara PSSI pimpinan Djohar Arifin Husin yang merupakan federasi legal yang diakui AFC dan FIFA, dengan “PSSI” versi KPSI pimpinan La Nyala Mataliti.

Sebagai federasi legal, PSSI sudah sepantasnya menjadi “penyelenggara” cabang tersebut, juga futsal, dan menjadi mitra PB PON maupun KONI yang menjadi penanggung jawab multiiven ini.

Namun, kisruh tak bisa diurai karena dari awal PB PON sudah mengeluarkan SK penyelenggara kepada Pengprov PSSI Riau  pimpinan Indra Muchlis Adnan yang kemudian menjadi pendukung “PSSI-KPSI”, dan kemudian dibekukan oleh Djohar Arifin karena tak patuh.

Yang terjadi, Pengprov PSSI baru pimpinan dr Chaidir tak bisa masuk sebagai panitia penyelenggara karena SK tak bisa dicabut lagi.

Kondisi ini berpengaruh pada masalah yang terus muncul jauh-jauh hari ketika tim-tim yang lolos mau melakukan regristrasi.

Banyak daerah yang mengeluh, dan rata-rata mereka merasakan dampak kekisruhan rivalitas PSSI dengan KPSI tersebut.

Sebab, iven yang mestinya ditangani oleh panitia dari PSSI yang legitimate, ternyata panitia berasal dari KPSI. Ofisial Sumbar, misalnya, sejak awal sudah mengeluhkan ini saat mau registrasi pemain untuk sepakbola dan futsal.

Masalah kemudian tak bisa dihentikan dan terus bergulir. Keputusan Badan Arbitrase Olahraga Indonesia (BAOR) yang mengharuskan Kaltim dan Kalsel melakukan play-off untuk menentukan wakil Kalimantan, berujung blunder karena Kalsel bersikukuh bahwa keputusan PSSI yang memenangkan mereka karena Kaltim terbukti memainkan dua pemain yang diturunkan Persisam Samarinda di Liga Super, kompetisi di bawah KPSI.

Aturan jelas, pemain PON tak boleh berasal dari klub profesional. Ketika Kalsel tak mau datang saat play-off, panitia memutuskan Kaltim yang lolos, padahal di handbooks jelas-jelas Kalsel sebagai peserta sah.

Keputusan yang sepertinya memihak ke KPSI juga terjadi ketika panitia memutuskan tim Jambi yang diusung Pengprov PSSI Jambi yang telah dibekukan PSSI, yang berhak ikut PON.

Sementara tim yang diusung Pengprov PSSI legal di bawah Djohar Arifin, justru ditepikan.

Tim sepakbola Jabar juga terbelah, namun akhirnya tim yang dibentuk oleh Pengprov pimpinan Bambang Sukowiyono yang juga diakui KONI Jabar yang diloloskan, setelah terjadi perang argumentasi yang sangat panas.

Namun, kabar terakhir, tim Jabar juga nyaris didiskualifikasi oleh panitia dengan alasan tak menyertakan Tony Apriliani (Ketua Pengprov PSSI Jabar yang

berafiliasi dengan KPSI) sebagai manajer. Tetapi di saat-saat akhir, Jabar tetap diloloskan yang membuat juara bertahan Jawa Timur harus gigit jari.

Rivalitas PSSI dan KPSI kemudian benar-benar terlihat di lapangan yang membuat cabang sepakbola dan futsal hampir selalu memunculkan kekisruhan.

PSSI kemudian mengambil keputusan yang mengejutkan ketika menarik semua wasit dan inspektur pertandingan karena melihat gelagat tak sehat akibat keputusan-keputusan PB PON dan KONI yang seolah tak menganggap mereka sebagai federasi yang sah.

Dan, kemudian menjadi jelas ketika panpel sepakbola dan futsal meminta KPSI-nya La Nyala untuk mengirim wasit dengan alasan menyelamatkan sepakbola dan futsal di PON ini.

Kasus tak lolosnya tim sepakbola Riau juga menjadi tanda tanya besar. Bersama Kaltim, Riau memiliki nilai sama, yakni 4, namun Riau kalah selisih gol.

Dalam peraturan FIFA terbaru, opsi pertama yang diambil jika kondisi seperti ini adalah head to head dua tim. Jika sama juga, baru opsi selisih gol dipakai.

Pada kenyataannya, dalam pertandingan terakhir, Riau menang 2-1 atas Kaltim, dan jika opsi pertama diambil, maka Riau yang lolos sebagai runner-up mendampingi Jateng.

Namun, panitia ternyata tidak memakai opsi pertama sebagai acuan, mereka tetap memakai aturan selisih gol sebagai opsi pertama. Ini menjadi aneh, karena FIFA dan konfederasi di bawahnya, sudah lama memakai aturan dengan opsi head to head dua tim yang menjadi opsi pertama, baik untuk Piala Dunia, Olimpiade, Piala Eropa, dan yang lainnya.

Padahal, dalam manual pertandingan disebutkan bahwa peraturan mengacu pada peraturan FIFA. Selentingan yang muncul, panitia sengaja mengambil aturan selisih gol sebagai opsi pertama karena ingin meloloskan Kaltim yang notabene mereka adalah pendukung setia “PSSI”-nya KPSI. Benar atau tidak hal ini, waktu yang akan menjelaskan nanti.

Kondisi di cabang sepakbola dan futsal ini sangat mencederai nilai-nilai luhur dari penyelenggaraan PON ini.

Mestinya, kisruh, rivalitas atau apapun namanya antara PSSI Djohar Arifin yang legal dan sah, dengan KPSI La Nyala yang terus melakukan manuver-manuver untuk menjatuhkan kepemimpinan Djohar yang dianggapnya tak dapat dukungan dari masyarakat sepakbola Indonesia, tidak dibawa-bawa ke arena PON.

PB PON dan KONI mestinya juga menjadi penengah dan bukan malah seakan membela satu kelompok. Dan yang mesti diingat, KONI juga harusnya paham bahwa FIFA sebagai federasi satu-satunya sepakbola di dunia, masih menganggap PSSI Djohar-lah yang diakui, tak ada PSSI lain.

Jika kemudian ada kesepakatan kompetisi ISL diakui, itu hanyalah ISL-nya, bukan KPSI sebagai regulatornya.

Ini bukan pembelaan membabi-buta. Tapi, kalau KONI sendiri tak menganggap ada federasi yang legal, mau dibawa ke mana sepakbola kita?

Masyarakat sudah muak dengan dualisme yang terjadi di sepakbola kita karena berdampak benar-benar buruk bagi prestasi kita. Ini terlihat di rangking terakhir FIFA, di mana Indonesia berada di peringkat 159, bahkan di bawah negara kecil antah-berantah seperti Vanuatu.

Pembentukan timnas versi KPSI yang disiapkan untuk Piala AFF semakin memperlihatkan bahwa tak ada niat baik dari KPSI untuk menyelesaikan persoalan sepakbola kita, padahal sudah pasti AFF maupun AFC tak akan menerima tim itu untuk ikut Piala AFF karena masalah legalitas.

Kita terbiasa menjadi orang yang berasa paling benar dan paling pintar sehingga menganggap orang lain tak lebih pintar dari kita.

Marilah kembali ke kitah kita sebagai orang olahraga yang menjunjung sportivitas: mengacungkan jempol untuk kemenangan orang lain, dan menghormati lawan yang kita kalahkan.

Jika esensi ini dipahami, maka kita akan menjadi orang yang benar-benar bermental pemenang, bermental juara. Mental seperti ini kita yang tak punya.

Semoga, tak ada dendam di antara kita, mari bersatu untuk sepakbola Indonesia dengan membawa semangat PON: untuk persaudaraan dan “pemersatu bangsa”.***









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook