DIKENAL tidak sekadar sebagai tokoh militer, Agum Gumelar juga diakui sebagai salah satu tokoh persepakbolaan nasional. Saat kisruh panas melanda tubuh PSSI pada 2011, Agum ditunjuk sebagai Ketua Komite Normalisasi.
Kini, hawa panas kembali melingkupi persebakbolaan Indonesia. Dua kubu berseteru, saling ngotot, dan sulit didamaikan. Bagaimana tanggapan Agum Gumela? Berikut wawancara dengan Agum:
Apa tanggapan Anda soal perseteruan PSSI-KPSI yang tak kunjung selesai?
Sampai hari ini tidak bisa bersatu, ya apa boleh buat. Kita harus bersiap untuk kemungkinan terjelek, bersiap menerima suspend. Skenario yang bisa diambil atau harus disiapkan adalah bagaimana kalau kita kena suspend. Itu.
Berdasarkan pengalaman Anda, bagaimana menyelesaikan permasalahannya saat itu?
Semua pihak harus kita giring supaya melepaskan egonya masing-masing. Jangan ada yang merasa paling benar sendiri. Semua pihak harus tinggalkan itu. Semua pihak harus berpandangan demi dan untuk bangsa, untuk negara, demi sepakbola. Baru bisa. Ini semua harus digiring.
Kenapa kali ini sampai gagal, kan pernah mengalami hal sama?
Saya sering mengatakan bahwa yang harus dicegah dalam berhadapan dengan FIFA adalah jangan sampai kita kena suspend, kena sanksi. Itu yang selalu ada di dada, di hati saya.
Waktu itu sanksi sudah di depan mata ya Pak?
Ketika saya menjadi Ketua Komite Normalisasi (KN), ketika gagal Kongres pertama di Jakarta, saat itu sanksi sudah di hadapan mata. Akan tetapi saya melakukan lobi ke FIFA. Saya datang ke Zurich (Markas FIFA), saya bicara sama Sep Blatter (Ketua FIFA) langsung, tolong kita jangan dikenakan sanksi. Karena kalau kita dikenakan sanksi yang menderita adalah masyarakat dan insan olahraga di Indonesia. Itu saya lobi dan akhirnya diberi kesempatan untuk menggelar Kongres Luar Biasa (KLB). Dengan catatan, apabila gagal lagi, otomatis sanksi akan keluar. Alhamdulillah KLB berhasil.
Sekarang dihadapkan pada posisi yang sama Pak?
Batas waktu hari ini (kemarin). Hari ini (kemarn) batas waktu yang dikasih FIFA ke Kemenpora. Deadline tanggal 10 November. Waktu itu (datangnya surat) tanggal 4, masih ada waktu enam hari. Jadi untuk diketahui pemerintah, kalau sampai tanggal 10 tidak selesai, maka sanksi akan dikeluarkan pada 14 November.
Apa saja masukan yang Anda sampaikan ke pemerintah?
Saya sudah mengimbau, menyarankan kepada pemerintah. Waktu itu Menpora Andi Mallarangeng, coba lobi semua yang berseteru itu. Ajak mereka untuk berpikir demi kepentingan lebih besar. Hilangkan ego masing-masing pihak. Waktu itu, ketika dipanggil dan dikumpulkan Menpora, dicapai semua kesepakatan. Tapi besoknya mentah lagi. Alasannya saat itu karena PSSI tidak berpedoman pada MoU (kesepakatan PSSI dan KPSI di Markas AFC Kuala Lumpur, tetapi berpedoman pada statute).
Ketidaksepakatan ini berlanjut sampai sekarang, satu di Jakarta, satu di Palangkaraya. Ini fakta yang menyebabkan FIFA segera mengeluarkan sanksi kepada PSSI.
Saya rasa kita akan mendapatkan dampak yang sangat tidak bagus bagi dunia sepakbola kita. Semua (sanksi) sudah mengarah ke sana.
Sanksi hampir pasti akan dijatuhkan. Apalagi yang bisa ditempuh Kemenpora?
Saya menyarankan kepada pemerintah, kepada Menkokesra (Plt Menpora) supaya siap-siap menghadapi kemungkinan terjelek, yaitu kena sanksi. Langkah yang bisa ditempuh adalah bagaimana supaya sanksi ini tidak berlangsung lama. Bagaimana mengupayakan sanksi itu dijatuhkan sesedikit mungkin waktunya.
Caranya?
Harus ada tekad semua bersatu. Ini situasi yang ada dan kita harus siap kemungkinan terjelek. Itu yang bisa diupayakan, karena kalau sampai sanksi dijatuhkan sampai bertahun-tahun habislah kita.
Ada usulan PSSI-KPSI dibubarkan dan membentuk yang baru?
Memang ada saran dari pemerintah, bagaimana kalau dibubarkan semua dan membentuk yang baru. Saya rasa itu pemikiran yang perlu didiskusikan bersama. Masyarakat diajak pula bicara.
Sanksi dijatuhkan, apa kerugian yang diterima PSSI?
Kita tidak bisa berkomunikasi dengan dunia luar dalam masalah sepakbola. Kita tidak bisa ikut Sea Games, Asean Games, kejuaraan AFF kemarin. Sepakbola luar juga tidak bisa ke Indonesia, siapa yang berani ke Indonesia dalam posisi kita kena sanksi. Kalau berani, mereka malah kena sanksi juga. Itulah sanksi FIFA, kerugiannya besar. (tro/jpnn)