JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Jurnalisme berkualitas perlu didukung lingkungan bisnis yang sehat dan berkelanjutan. Tidak dapat dipungkiri disrupsi digital dan pandemi COVID-19 berdampak besar pada model bisnis media. Sehingga perlu bagi media online di tingkat nasional atau lokal yang terus mengembangkan bisnis model yang tepat menyikapi kondisi tersebut.
Karena itu Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) meluncurkan Riset Lanskap Media Digital di Indonesia: Menyambut Tantangan dan Peluang Digital untuk Media Online Lokal secara daring (virtual) pada Kamis (29/7/2021).
Wahyu Dhyatmika, Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) saat memberikan sambutan mengatakan memahami potret atau lanskap media online Indonesia diperlukan sebagai data awal (baseline) untuk menyusun langkah strategis membangun ekosistem digital yang mendukung pengembangan media online di Indonesia.
“Riset ini adalah riset komprehensif pertama yang memotret kondisi media digital Indonesia dan penting untuk merumuskan program-program peningkatan kapasitas pengelola media digital,” kata Wahyu Dhyatmika di Jakarta.
Ia menambahkan transisi pengelolaan media konvensional menuju media digital tidak dapat terelakkan lagi. Sementara itu realitas di lapangan menunjukkan banyak problem yang dihadapi dalam pengelolaan media digital mulai dari kapasitas manajemen bisnis, pemahaman jurnalisme sampai eksekusi menghasilkan produk berkualitas.
“Karena itu diperlukan intervensi program yang tepat untuk mengatasi kesenjangan antara gagasan dan realitas. Langkah tersebut diperlukan sekaligus sebagai upaya untuk menyehatkan media digital, perbaikan kualitas jurnalisme dan penguatan civil society. Harapannya dengan media yang sehat percakapan di ruang publik akan lebih sehat,” katanya
Sedangkan Dondy Setya, Senior Rule of Law Government Relations Advisor USAID saat memberikan sambutan di acara yang sama mengatakan media memiliki peran penting untuk perbaikan kualitas demokrasi dan akuntabilitas di Indonesia. Hanya saja saat ini media menghadapi kondisi yang cukup berat karena kehadiran media sosial mendominasi pendapatan iklan (revenue), kehadiran influencer individu di platform media sosial, maraknya mis-disinformasi dan rendahnya literasi publik, yang mengancam kepercayaan masyarakat terhadap media.
“Peluncuran riset ini diharapkan dapat memberi wawasan terbaru untuk menjawab pertanyaan eksistensial peran kritikal media beberapa tahun ke depan, khususnya media di daerah. Ini bentuk Dukungan USAID agar media tetap dapat menjalankan peran pentingnya,” ujarnya.
AMSI mendapat dukungan dari Internews dan USAID melalui program USAID MEDIA untuk menyelenggarakan riset ini yang melibatkan 100 media online anggota AMSI baik media online lokal sejumlah 82 persen dan online di Jakarta sejumlah 18 persen, sebagai responden utama.
Diskusi hasil riset ini juga mengundang Ignatius Haryanto (Periset Utama sekaligus Dosen Universitas Multimedia Nusantara), Citra Dyah Prastuti (Badan Pengawas dan Pertimbangan Organisasi dan Pemimpin Redaksi KBR.id, Jason Lambert (Senior Director-Media Business, Internews) dan Ronny W Sugiadha (Telkomsel) dengan moderator Maria Y. Benyamin (Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia). Kegiatan ini diselenggarakan dalam dua bahasa dan dihadiri 125 orang peserta dari kalangan media, organisasi masyarakat sipil dan lembaga pemerintah, melalui platform Zoom maupun live streaming Youtube Asosiasi Media Siber Indonesia.
Jason Lambert menjelaskan media menghadapi tantangan yang besar saat ini karena kondisi lingkungan yang kurang mendukung. Tantangan itu diantaranya terkait kemampuan inovasi, COVID-19, dan turunnya tingkat kepercayaan publik.
“Tingkat kepercayaan pada media turun pada beberapa tahun ini, karena naiknya dis dan mis-informasi. Masyarakat tidak tahu di mana menemukan berita yang dapat dipercaya. Khususnya berita COVID-19, terjadi blur informasi antara berita yang benar dan dis-informasi yang beredar, ini menjadi tantangan sendiri bagi media untuk mendapatkan kepercayaan publik,” ujarnya.
Ia menambahkan ekosistem yang kurang mendukung lainnya bagi media, pendapatan iklan digital naik signifikan secara global, tapi dinikmati oleh perusahaan teknologi besar. Jason Lambert mendorong media terus melakukan inovasi.
Sedangkan Ignatius Haryanto mengatakan riset ini menggambarkan sikap optimisme para pelaku media menjalankan bisnis media, hanya saja tidak ditunjang dengan kemampuan memadai untuk menghadapi perubahan bisnis media ke depan.
“Banyak yang masih menggunakan modal mandiri yang tidak besar, perangkat analitik yang sederhana, pemasukan yang tidak optimal, dan ketergantungan yang tinggi pada dengan iklan pemerintah, sehingga memunculkan pertanyaan pada independensi media ke depan,” ujarnya.
Tim riset menyusun laporan ini dengan membagi hasil survey berdasarkan responden Jakarta dan luar Jakarta dan analisis komparasi dari dua area tersebut. Ignatius menjelaskan pembagian tersebut dilakukan karena perbedaan kondisi antara media Jakarta dan luar Jakarta.
“Terdapat perbedaan situasi yang signifikan antara media di Jakarta dan di luar Jakarta, terdapat disparitas terkait kapasitas dan pemanfaatan teknologi, yang masih cukup tinggi,” ujarnya.
Temuan riset tersebut diantaranya terkait harapan pada kelangsungan (viability) dan keberlanjutan (sustainability) media di Indonesia, baik pada media di Jakarta dan di luar Jakarta menunjukkan para pengelola media Jakarta dan luar Jakarta masih memiliki harapan.
Pengelola media di Jakarta 88,2 persen merasa bahwa industri media masih memiliki harapan ke depan, sementara itu 79,7 persen pengelola media siber di luar Jakarta merasa bahwa industri media masih memiliki harapan, namun media harus melakukan inovasi, dan 19 persen yang lain merasa bahwa industri media masih memiliki masa depan yang cerah.
Terkait dengan inovasi yang bisa dikembangkan untuk menjadikan media siber lebih sukses, pengelola media siber di Jakarta mengaku mengembangkan interaktivitas media lewat media sosial (24,1 persen), kemudian 22,2 persen responden menggunakan teknologi baru untuk penyebarluasan berita, dan 20,4 persen responden membangun sistem berlangganan lewat dompet digital seperti GoPay, Ovo, dan DANA.
Sementara itu 28,3 persen pengelola media siber di luar Jakarta percaya bahwa mengembangkan interaktivitas media lewat media sosial bisa menjadi inovasinya, sementara 23 persen responden menyatakan bahwa inovasi bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi baru untuk penyebarluasan berita.
Sehubungan dengan jumlah karyawan yang melek teknologi, pengelola media siber di Jakarta (sebanyak 25,0 persen responden) menyebut persentase karyawan yang punya kemampuan teknologi hanya 50 persen dari total karyawan. Ada 25,0 persen responden lainnya yang mengaku persentase karyawan yang punya kemampuan teknologi dalam perusahaan sudah mencapai 100 persen. Sisanya, (16,7 persen responden) mengaku baru 40 persen saja dari total karyawan dalam redaksi yang melek teknologi.
Sedangkan kondisi ini untuk media di luar Jakarta, 20,8 persen pengelola mengaku bahwa 50 persen karyawannya melek dengan teknologi, dan hanya 15,1 persen yang mengaku 80 persen karyawannya melek teknologi.
Temuan terkait dengan pemodal media, sebanyak 42,1 persen pengelola media siber di Jakarta mengaku pemodal mereka adalah pengusaha nasional, sementara 26,3 persen responden mengaku pemodal media siber adalah mandiri. Kemudian 21,1 persen responden yang memiliki pemodal media siber dari pengusaha lokal. Sisanya ada 10,5 persen yang mengaku pemodalnya adalah lembaga donor. Kondisi sebaliknya pada media siber di luar Jakarta masih didominasi modal mandiri (66,2 persen). Sementara 21,5 persen mengaku pemodalnya adalah pengusaha lokal, dan 10,8 persen adalah pengusaha nasional.
Sebanyak 62,5 persen pengelola media siber di Jakarta mengaku sebagai bagian dari grup media tertentu, kemudian ada 37,5 persen responden yang mengaku bukan bagian dari grup media tertentu. Sedangkan di media siber luar Jakarta kondisinya 80,3 persen mengaku bukan bagian dari grup media tertentu. Hanya 18 persen yang mengaku merupakan bagian dari grup media tertentu.(rls)
Editor: Eka G Putra