JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Komisi III DPR akan mengkaji secara mendalam kemungkinan masuknya ganja medis dalam revisi Undang-Undang tentang Narkotika. Komisi yang membidangi masalah hukum itu juga akan mengundang para ahli.
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, semangat fraksi di komisi III sama dalam memandang legalisasi ganja untuk keperluan medis.
"Pertama, kami akan melihat dari sisi manfaat dan mudaratnya kalau dalam bahasa agamanya," terang dia saat ditemui di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/6).
Dalam melihat sisi manfaat dan mudarat, kata Arsul, komisi III bukan ahlinya. Karena itu, pihaknya akan mengkaji secara mendalam pemanfaatan ganja untuk medis. Yaitu, mengundang para ahli kesehatan, dokter, dan farmakolog.
Wakil ketua DPP PPP itu menyatakan, jika nanti ada relaksasi aturan yang masuk revisi UU Narkotika, keputusan tersebut diambil berbasis empiris. Menurut dia, relaksasi aturan itu berupa perubahan Pasal 8 ayat 1 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 8 ayat 1 itu menyebutkan bahwa narkotika golongan I dilarang untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
Jika para ahli kesehatan menyampaikan manfaat ganja untuk medis berbasis penelitian dan komisi III menyepakatinya untuk masuk revisi UU Narkotika, pasal 8 ayat 1 perlu diubah. Nanti narkotika golongan I dapat digunakan untuk pelayanan kesehatan dan pengobatan. "Dengan syarat-syarat yang ketat sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan," ungkapnya.
Legalisasi ganja medis di dalam UU Narkotika akan diatur lebih lanjut dalam peraturan turunan, bisa diatur dalam peraturan pemerintah, peraturan presiden, atau peraturan menteri kesehatan. "Artinya, kita melakukan sedikit pergeseran relaksasi politik hukum kita terkait dengan ganja," urainya.
Namun, lanjut Arsul, yang perlu diperhatikan dan menjadi pegangan adalah tidak boleh membuka ganja untuk kesenangan. Jadi, pembahasan tentang ganja semata-mata untuk medis. Itu pun ada syarat-syarat yang ketat agar tidak disalahgunakan.
Arsul menambahkan, persoalan legalisasi ganja untuk medis belum dibahas secara resmi di rapat kerja komisi III. Begitu juga pembahasan revisi UU Narkotika. Saat ini komisinya baru membentuk tim pembahasan dan mendengarkan masukan secara tertulis dari sejumlah pihak, khususnya masyarakat sipil.
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa mengatakan, hari ini pihaknya melakukan rapat dengar pendapat untuk mendengar masukan dari masyarakat terkait dengan usulan legalisasi ganja untuk medis. Terutama, kata dia, masukan dan pendapat dari pakar serta ahli kesehatan. Pandangan mereka sangat ditunggu untuk mengetahui sisi manfaat dan mudarat penggunaan ganja buat kesehatan. Komisi III, kata dia, sangat serius merespons isu penting tersebut.
Sementara itu, Kepala Biro Humas dan Protokol Badan Narkotika Nasional Brigjen Sulistyo Pudjo Hartono menuturkan, ganja termasuk satu di antara tiga tanaman narkotika terbesar. Awalnya dalam The Single Convention Narcotics and Drugs dimasukkan kategori schedule IV. "Artinya, ganja ini sangat berbahaya tanpa manfaat medis," paparnya.
Kemudian, beberapa tahun lalu, Persatuan Bangsa-Bangsa menghapus ganja dalam schedule IV menjadi schedule I. Artinya, berbahaya dan memiliki risiko penyalahgunaan yang sangat besar. "Perlu pengawasan yang sangat ketat," jelasnya.
Hal itu juga disebabkan pengalaman dari berbagai negara yang melakukan relaksasi ganja. Di antaranya, Belanda dan Thailand. Dia menyatakan, memang aturan itu dibuat hanya untuk tujuan medis.
Tapi, faktanya, ganja justru digunakan untuk rekreasi. "Ini pengalaman dari negara yang telah mengendurkan aturan ganja untuk medis. Penyelewengan terjadi," ungkapnya.
Ibu yang meminta ganja untuk tujuan medis, lanjut dia, sebaiknya menemui dokter guna mendapatkan obat dan terapi kesehatan yang dibutuhkan sang anak. Ada berbagai obat legal yang bisa digunakan untuk menyembuhkan. "Kalau ada yang legal, kenapa mesti yang ilegal," tuturnya.
Terpisah, ahli penyakit dalam Prof dr Zubairi Djoerban SpPD membeberkan beberapa hal terkait dengan ganja untuk medis. Badan POM Amerika atau Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui satu obat ganja nabati atau Epidiolex. "Epidiolex mengandung kanabidiol (CBD) murni dari tanaman ganja," tutur Zubairi.
Obat itu digunakan untuk mengobati kejang serta kelainan genetik langka. Selain itu, FDA menyetujui dua obat sintetis dari tetrahidrokanabinol (THC).
Obat tersebut digunakan untuk mengobati mual pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Ahli AIDS itu juga menjelaskan bahwa THC digunakan untuk meningkatkan nafsu makan pada pasien HIV/AIDS.
Dari sisi keamanan, dia menyatakan tidak sepenuhnya aman. Meski ganja sudah legal di beberapa negara. "Jika penggunaan tidak ketat, bisa terjadi penyalahgunaan yang menyebabkan konsekuensi kesehatan bagi penggunanya," ucapnya.
Hingga sekarang, Zubairi menjelaskan, belum ada bukti obat berbahan baku ganja lebih baik. Dalam hal ini untuk sakit kanker dan epilepsi. "Belum ada penyakit yang obat primernya adalah ganja," tuturnya.
Dia menyatakan, banyak studi terkait dengan ganja. Hasilnya, beberapa menyatakan bahwa ganja bisa menjadi obat. "Namun, banyak juga yang belum diketahui tentang tanaman ini," tuturnya.(lum/idr/lyn/wan/c19/ttg/jpg)