JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Selain banjir sorotan dan kritikan dari kalangan DPR, proyek kartu Prakerja juga dikomenatari para pakar hukum. Pasalnya, dari perspektif hukum yang ada, banyak aturan yang ditabrak.
Salah satunya Pengamat hukum Andri W Kusuma. Menuurtnya, kartu prakerja sebetulnya merupakan program dan niat yang sangat baik dari pemerintah, Namun, apabila dilihat dari pelaksanaanya dan perspektif hukum sebaiknya dihentikan.
“Kenapa harus dihentikan, karena banyak aturan yang dilanggar,” ujar Andri dalam keteranganya, Kamis (30/4).
Meskipun pemerintah telah menerbitkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 yang saat ini sedang dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun, salah satu potensi yang dilanggar di antaranya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
“Bukan saja uang prakerja yang hilang tapi paket data (uang) pun milik para pencari kerja dan korban PHK pasti terpotong, sementara kita tidak pernah bisa tau berapa data kita yang terpotong. Kita beli paket data 2 GB saja kita tidak pernah tahu apa benar isinya 2 GB, karena tidak bisa atau susah diaudit,” kata Andri kepada wartawan, Kamis (30/4).
Andri mengatakan, untuk mengakses video di paket yang disediakan program kartukerja, paket data milik masyarakat yang lolos program itu juga berpotensi tersedot. Dalam keadaan sedang susah seperti ini justru mereka berpotensi kehilangan paket datanya (uang pribadinya).
“Karena mereka tidak punya pilihan, dan parahnya mereka tidak tahu berapa paket datanya yang terpotong. Ini juga melanggar UU perlindungan Konsumen,” kata Andri.
Tercatat sebanyak 8 juta orang lebih mendaftar program prakerja sejak gelombang awal dibuka hingga Senin (27/4). Setiap peserta yang lolos akan mendapatkan biaya pelatihan sebesar Rp 3,55 juta ketika diumumkan lolos sebagai peserta kartu prakerja. Namun, peserta hanya bisa menggunakan dana sebesar Rp 1 juta terlebih dahulu untuk mengikuti pelatihan.
“Ada celah hukum di kartu prakerja ini, termasuk dugaan unsur tindak pidana korupsi. Hanya saja saat ini ada Perpu yang ‘luar biasa’ itu yang membuat tidak bisa diperiksa secara hukum. Karena itu sebagai praktisi hukum, saya tidak pernah setuju ada aturan apalagi UU yang memberikan kekebalan atau impunitas, rawan abuse of power,” katanya.
Menurtnya, dalam rezim hukum manapun doktrin impunitas sudah lama ditinggalkan. “Power tends to corrupt absolut power tends to corrupt absolutely,” katanya.
Perppu tersebut, kata dia, menegasikan beberapa aturan main yang digariskan secara tegas oleh Konstitusi antara lain peran DPR dalam hal legislasi dan pengawasan, kemudian juga menghilangkan peran BPK sebagai satu-satunya lembaga yang diamanatkan oleh UUD sebagai lembaga yang dapat menentukam ada atau tidaknya kerugian negara.
“Kemudian menghilangkan kewenangan lembaga peradilan sebagai lembaga yang secara konstitusi adalah yang dapat menentukan ada atau tidaknya perbuatan atau tindak pidana. Sekali lagi Perpu ini harus dibatalkan atau siap-siap Rp5,6 Triliun uang negara yang didapat dari hutang yang harus rakyat bayar bisa lenyap,” katanya.
Dia juga menyarankan, sebaiknya proyek kartu prakerja melibatkan Kementerianan Tenaga Kerja, karena memiliki data valid, paling tidak untuk data tenagakerja korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Selain itu, Kemenaker juga memiliki dinas-dinas di kabupaten/kota, sehingga harusnya tidak perlu sebuah content provider yang tidak jelas pengalaman dan legitimasinya, kemudian ditunjuk sebagai pihak yang bermain di tengah.
Belum lagi, lanjutnya, content provider tersebut sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sertifikasi atau ijazah dan sebagianya.
“Saya tidak masalah jika ada perusahaan (content provider) yang memperoleh untung dalam kegiatan bisnisnya, yang jadi masalah untung besar itu didapat dari uang negara dalam kondisi yang sangat susah. Ini yang tidak bisa ditolerir,“ tegasnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman