JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Kisruh tengah melanda internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Musababnya berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) dan penetapan tersangka jenderal bintang tiga dan perwira menengah TNI. Langkah itu dianggap melanggar undang-undang.
Lantas, mantan Juru Bicara KPK Febri Diansyah pun ikut bersuara. Dia bercerita soal tujuh tahapan utama dalam kegiatan OTT di KPK. Pertama, bersifat rahasia. Seorang juru bicara pun tidak mengetahui adanya operasi tersebut.
"Pimpinan tahu nggak? Sampai saya pamit dari KPK, selalu ada pimpinan yang mengetahui peristiwa OTT. Apalagi jika sudah ada orang yang dibawa ke gedung KPK atau kantor lain terdekat," kata Febri melalui akun Twitternya, Sabtu (29/7).
Febri menjelaskan, OTT terjadi pada tahap penyelidikan kasus. Dalam proses ini sudah dilakukan koordinasi dengan penyidik, bahkan penuntut umum. Sehingga dimungkinkan dilakukan pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat atau mengetahui kasus yang tengah dikerjakan.
Hasil pemeriksaan tersebut lalu dilaporkan ke pimpinan dan dievaluasi, untuk memastikan sangkaan awal ada atau tidaknya dugaan korupsi. "Dan juga apakah pelakunya Penyelenggara Negara atau Penegak Hukum yang jadi kewenangan KPK atau tidak," imbuh Febri.
KPK kemudian memiliki batas waktu 24 jam sejak seseorang dibawa dan diperiksa. Dalam periode itulah segalanya bisa terjadi. Penyelidik benar-benar harus bekerja cepat dan benar. Jika salah tangkap maka harus segera dikoreksi. Jika benar secara materil dan formil, maka masuk tahap berikutnya.
Kedua, mengkonfirmasi ke publik bahwa ada tim KPK yang sedang bekerja. Tahap ini awalnya menjadi perdebatan internal KPK. Namun, karena ada orang yang dibawa penyelidik ke kantor KPK atau aparat penegak hukum (APH) lain, apalagi bisa lewat tengah malam, maka untuk meminimalisir pihak-pihak tidak bertanggung jawab muncul, maka diputuskan informasi awal disampaikan ke publik, tanpa menyebut nama pihak berperkara.
Ketiga, masuk gelar perkara. Meskipun tim penyelidik sudah berhari-hari di lapangan, kemudian melakukan pemeriksaan dalam waktu maksimal 24 jam, ada kewajiban untuk segera menentukan status pihak yang dibawa atau diperiksa. Oleh karena itu dilakukan ekspos atau gelar perkara.
"Siapa saja yang hadir di ekspos tersebut. Pihak yang hadir di ekspos itu lengkap. Mulai dari penyelidik, penyidik, JPU, pimpinan dan tentu ada tim Humas atau Jubir," ucap Febri.
Pada tahap ini penyelidik akan memaparkan temuan, bukti, analisis dan rekomendasi pada pimpinan serta peserta. Kemudian penyidik dan JPU menanggapi. Bisa saling terjadi tanya jawab untuk menguji bukti-bukti yang diperoleh.
Dalam ekspos tersebut, bukti dan dugaan keterlibatan seseorang bisa dipertanyakan dan dikuliti. Kadang bahkan bisa terjadi perbedaan pendapat dan sikap antar peserta ekspos. Sebagai atasan tertinggi, maka pimpinan yang memutuskan apakah perkara naik penyidikan dan siapa saja tersangkanya.
"Tahap 4, Pimpinan KPK memutuskan apakah perkara OTT naik ke tingkat penyidikan dan siapa saja tersangkanya. Yang memutuskan pasti pimpinan, bukan deputi, direktur apalagi penyelidik," jelas Febri.
Tahap 5 dilakukan penerbitan Sprindik dan Sprinham. Dilanjut pemeriksaan tersangka dan saksi-saksi di tahap penyidikan. Tahap 6 yakni konferensi pers hasil OTT. Tahapan ini dilakukan sebagai pemenuhan hak publik sekaligus kewajiban KPK pada masyarakat. Pengumuman dilakukan oleh pimpinan KPK didampingi pejabat terkait.
Kemudian tahap 7 atau terakhir yakni penahanan tersangka dan pengembalian saksi-saksi yang diperiksa sebelumnya. Febri cukup meyakini pada tahap 1 sampau 7, pimpinan KPK mengetahui dan bahkan wajib mengambil keputusan.
Meski begitu, Febri enggak menilai keputusan KPK itu salah atau benar dalam proses OTT kasus dugaan suap di Basarnas. Pasalnya apapun keputusan tersebut adalah sikap hukum dari KPK yang memiliki risiko dan potensi dampak yang mestinya bisa dihitung sejak awal.
"Yang lebih menimbulkan tanda tanya adalah, siapa yang seharusnya atau berani bertanggungjawab?" pungkas Febri.
Sebelumnya, KPK menetapkan Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi sebagai tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas tahun anggaran 2021-2023. Penetapan tersangka ini, setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Jakarta dan Bekasi, pada Selasa (25/7) kemarin.
Selain Kabasarnas Henri Alfiandi, KPK juga turut menetapkan Koorsmin Kabasarnas RI, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto; Komisaris Utama PT Multi Gtafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya; Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil.
"Atas dasar adanya laporan masyarakat ke KPK, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pengumpulan berbagai informasi dan bahan keterangan terkait dugaan tindak pidana korupsi dimaksud, berlanjut pada tahap penyelidikan sebagai langkah menemukan adanya peristiwa pidana sehingga ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup. KPK kemudian menaikkan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan dan mengumumkan tersangka," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (26/7).
Alex menjelaskan, keempat pihak yang ditetapkan sebagai tersangka diawali dengan diterimanya informasi dari masyakarat mengenai dugaan adanya penyerahan sejumlah uang, pada penyelenggara negara atau yang mewakilinya terkait pengondisian pemenang tender proyek di Basarnas.
Dalam operasi senyap itu, KPK seluruhnya mengamankan 11 orang. Bahkan, KPK juga turut mengamankan uang tunai senilai Rp 999,7 juta.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi