Indonesia Lawan Diskriminasi Sawit

Nasional | Senin, 29 April 2019 - 15:20 WIB

Indonesia Lawan Diskriminasi Sawit
HADIRI: Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla saat menghadiri pertemuan puncak Roundtable Belt and Road Forum (BRF) edisi II di Ji Xian Hall, International Convention Center, Beijing, Cina, Ahad (28/4/2019). (ALEKSEY NIKOLSKYI/SPUTNIK/AFP)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya untuk melawan kebijakan Uni-Eropa mendiskriminasi produk kelapa sawit (Crude Palm Oil). Komitmen tersebut bahkan ditegaskan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pertemuan Roundtable Belt and Road Forum (BRF) edisi II di Ji Xian Hall, International Convention Center, Beijing, Cina.

 JK mengatakan, Indonesia merupakan salah satu produsen sawit terbesar di dunia. Di mana ada sekitar 16 juta orang yang terlibat dan menggantungkan hidupnya dalam perkebunan dan industri sawit.

Baca Juga :Harga Kelapa Sawit Naik Pekan Ini, Jadi Rp2.549 per Kg

Namun sayangnya, sektor ini terus menghadapi perlakuan diskriminatif dari sejumlah negara, terutama negara Eropa. “Perlakuan diskriminatif ini diterapkan dengan mengatasnamakan isu keberlanjutan (sustainable palm oil),” ujarnya dalam keterangan tertulis, kemarin (28/4).

JK menjelaskan sawit memiliki kontribusi signifikan dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) di Indonesia. Pada saat yang sama, isu ini telah menjadi perhatian dari negara produsen sejak lama, yang diperkuat dengan dukungan data.

Sayangnya, kata Wapres, semua data tersebut tidak didengarkan. “Diskriminasi terus dijalankan dan tentunya akan berpengaruh terhadap pencapaian SDGs Indonesia, Oleh karena itu, diskriminasi ini harus dilawan,” tegasnya.

Untuk mencapai SDGs, menurut Wapres, tidak ada satupun negara yang dapat melakukannya sendiri. Oleh karena itu, diperlukan sinergi dan kerja sama seperti pentingnya ownership dalam setiap kerja sama. “Kerja sama ini harus bersifat national-driven bukan donor atau loan-giver driven,” ujarnya.

Kemudian yang kedua, lanjutnya, kerja sama juga harus mempertimbangkan isu inklusifitas. Dengan inklusifitas maka kerja sama Belt and Road, seharusnya meningkatkan penyerapan tenaga kerja lokal semaksimal mungkin. “Angka pengangguran dapat ditekan, bukan justru meningkat,” terangnya.

Faktor lingkungan yang kerap menjadi topik utama pembahasan terkait industri sawit, juga sedikit disinggung JK. Ia menilai faktor lingkungan perlu terus dipertimbangkan dalam SDGs. “Karena isu memelihara lingkungan merupakan bagian integral dari pencapaian SDGs,” kata JK.(far/jpg)

Editor: Eko Faizin









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook