"Kami menerapkan rolling submition, di mana data yang dimiliki industri disampaikan secara bertahap. Sudah dilakukan sejak Oktober dan dilakukan evaluasi secara bertahap juga sejak Oktober," kata Penny.
Dia menjamin apa yang dilakukan BPOM akan independen, hati-hati, dan transparan. Nantinya industri farmasi yang sudah memegang EUA harus melaporkan secara berkala kepada BPOM. Termasuk ketika sudah dilakukan penyuntikan kepada masyarakat. BPOM sendiri juga melakukan pendampingan dan pemantauan hingga pascavaksinasi. Balai POM yang berada di seluruh Indonesia akan terus melakukan pendampingan kepada dinas kesehatan.
Lalu apa tanggapan BPOM terkait distribusi vaksin dari Sinovac padahal belum ada EUA? Penny menyatakan hal itu tidak apa-apa asal vaksinasi tetap dilakukan setelah ada EUA. Dia bisa memahami alasan pendistribusian dilakukan lebih cepat. Pemerintah memerlukan waktu untuk mendistribusikan dengan cara yang baik dan benar.
Untuk kejadian ikutanpasca imunisasi (KIPI), BPOM berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan komisi penanganan KIPI. Dalam hal ini, tenaga kesehatan diharapkan aktif melaporkan ketika ada kejadian pascaimunisasi. "Masyarakat bisa melapor ke nakes yang berada di lokasi vaksinasi, nakes laporkan secara berjenjang," katanya.
Ke depan, vaksin lain yang akan diberikan di Indonesia juga harus melalui proses yang sama. BPOM harus menilai keamanan vaksin tersebut. Namun penilaian tidak selalu dengan dilakukan uji klinik di Tanah Air. Vaksin yang sudah punya EUA dari negara lain bisa diberikan EUA lebih cepat dari BPOM. Caranya dengan memberikan data yang sudah dipunyai untuk mengajukan EUA.
Selain memastikan keamanan dan efektivitas vaksin, pemerintah juga telah mempersiapkan mekanisme untuk mengantisipasi KIPI. Juru Bicara Vaksin Covid-19 dari Kemenkes Siti Nadia Tarmidzi mengatakan Kemenkes dengan Komnas KIPI telah menyiapkan langkah antisipatif bila terjadi efek samping pada penerima vaksin. "Saya juga pastikan bahwa pemerintah tidak akan melakukan vaksinasi sebelum ada persetujuan penggunaan darurat dari BPOM," ungkapnya.
Ketua Komnas Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Prof dr Hindra Irawan Satari, SpA(K) mengatakan kandungan vaksin yang dipilih dan dipergunakan oleh pemerintah dipastikan tidak berbahaya karena sudah dipantau keamanannya sejak uji pra klinik. "Namun perlu diingat bahwa vaksin adalah produk biologis sehingga bisa menimbulkan reaksi alamiah seperti nyeri, kemerahan, dan pembengkakan di daerah suntikan," katanya.
Lebih lanjut Hindra menyatakan pasien yang mengalami gangguan kesehatan yang diduga akibat KIPI akan menerima pengobatan dan perawatan yang ditanggung pemerintah. Termasuk pada selama proses investigasi dan pengkajian kausalitas KIPI berlangsung.
Sementara itu, pemerintah juga menyampaikan wacana adanya sanksi bagi masyarakat yang menolak divaksin. Menurut anggota DPR KOmisi IX Netty Prasetyani, sanksi itu sebenarnya tidak perlu diberlakukan. Sebab dia menilai penerapan sanksi malah akan membenturkan hak masyarakat dengan kekuatan pemerintah. Penerapan sanksi, menurut dia, baru ideal dilaksanakan ketika tahapan edukasi sudah tuntas. "Kalau itu belum, ya jangan harap masyarakat memiliki kepercayaan atau keberanian untuk divaksin," tegas Netty, Jumat (7/1).
Daripada menerapkan sanksi mulai awal, Netty menyarankan pemerintah memperbaiki pola komunikasi publik kepada masyarakat. Supaya informasi yang tersampaikan tentang vaksin tidak simpang siur dan mengarah ke hoaks. Apalagi tercatat masih ada sekitar 34 persen masyarakat yang belum bersedia divaksin.
"Masyarakat yang tidak mau divaksin inilah yang harus dikelola pemerintah, bagaimana melakukan policy marketing," lanjutnya.
Selain itu, perkara vaksin sebaiknya tidak membuat pemerintah disorientasi. Netty menegaskan agar pemerintah juga memperhatikan kemampuan sistem kesehatan yang mulai menurun saat ini. Ditandai dengan penuhnya rumah sakit dan ICU sehingga tak cukup menampung pasien Covid-19. "Vaksin hanya bagian dari strategi melawan pandemi. Sementara strategi lainnya juga harus dilakukan," tegasnya.
Sementara itu, pemerintah mengklaim bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia sudah mau untuk divaksinasi. Hal ini merujuk pada survei yang dilakukan oleh WHO bersama Unicef dan Kementerian Kesehatan. Dari 115 ribu orang responden di 34 provinsi, diperoleh data bila 65 persen responden mau menerima vaksin.
"Bahkan 35 persennya bersedia untuk membayar vaksin," ujar Dirjen Informasi dan Komunikasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Widodo Muktiyo pada diskusi vaksinasi Covid-19, Perubahan Prilaku, dan Informasi public secara daring, Jumat (8/1).
Widodo tidak merinci hasil keseluruhan. Namun, dari data yang ditampilkan, turut disampaikan mengenai persentase responden yang tahu tentang vaksin dan telah mendengar lebih banyak informasi terkait vaksin. Di mana, masing-masing sebesar 74 persen dan 79 persen. Namun menurut dia, kata kunci dari vaksin ini ialah masyarakat harus diyakinkan terkait kualitas dari vaksin. Dalam hal ini, keamanan yang menjadi kuasa BPOM dan kehalalan vaksin dari MUI.
"Kita menunggu sehingga vaksinasi bisa dijalankan," ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, dr Ardito Widjono, dokter asal Indonesia yang bekerja di rumah sakit Barnet, London utara, menceritakan pengalamannya divaksin Covid-19 di sana. Ia mengaku tak ada efek samping berat yang dialaminya.
"Alhamdulillah baik saja. Efek sampingnya hanya pegel beberapa jam, setelahnya sudah bisa kerja lagi," katanya.
Sementara itu, Pendiri Lapor Covid-19 Irma Handayani meminta pemerintah agar lebih terbuka soal data informasi. Baik itu soal kenaikan kasus maupun perkembangan uji klinis vaksin Sinovac di Bandung. Pasalnya, hingga saat ini, hal itu jauh dari harapan. Ia juga mengkritik pola komunikasi pemerintah atas penyampaikan kedua data tersebut. Vaksin misalnya. menurutnya, pemerintah tidak boleh mengagungkan vaksin, karena nyatanya vaksin bukan hal tunggal yang bisa menyelesaikan pandemic ini.
"Protokol kesehatan tetap harus dijalankan. Bukan hanya vaksinasi saja," tegasnya.
Selain itu, ia juga meminta pemerintah mulai memprioritaskan bidang kesehatan, terutama penanganan pandemic di tahun ini. Pasalnya, ketika tahun lalu, kesehatan dan ekonomi dijalankan bersama, nyatanya belum ada hasil nyata dalam upaya penanganan pandemic Covid-19.(lyn/wan/deb/mia/ted)